Jangan
Rebut Kursi Orang
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
|
KORAN
SINDO, 24 Maret 2014
Jamal D
Rahman menjadi komandan garis depan, sekaligus garis belakang dan penanggung
jawab urusan dapur, bagi terbitnya sebuah buku sastra, dengan judul yang
menggambarkan ungkapan positivistis, seperti cara para motivator memandang
dunia: 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh.
Di sana
tak dikatakan tapi terasa, dan tampak, pengaruh psikologis para motivator,
yang secara tersirat menggambarkan adanya gairah untuk bekerja sedikit, tapi
ingin memperoleh hasil sangat besar. Semangat itu bisa pula membuat hidup
manusia yang kompleks, bertakik-takik, mendalam sekali dan ruwetnya minta
ampun itu, berubah mendadak, dengan begitu mudahnya, hanya dengan kata-kata.
Latihan dasarnya seperti model komunikasi di taman kanak-kanak.
Kita
ditanya, seolah sambil lalu: apa kabar? Dan kita harus menjawab: luaaaar
biasa. Tapi di balik kata-kata itu sebetulnya terdapat suatu ambisi besar,
agar—seperti sudah disebutkan di atas—dalam hidup kita terjadi suatu
perubahan luar biasa, hanya dengan kata-kata belaka. Orang percaya—atau
diminta percaya—akan adanya mukjizat besar: kata-kata dinaikkan derajatnya
menjadi ”mantra”, dan kekuatan supranatural ”mantra” itu disucikan menjadi
”doa”, dan ”doa” diubah menjadi ”sabda” yang memiliki pengaruh, mendekati
kekuatan sabda langit: ”kun fa ya kun”.
Betapa
mudahnya hidup dalam cara pandang dan kerangka berpikir seperti itu. Dan
Jamal pun meneladani, dan mengambil oper segenap proses yang sederhana dan
mudah itu. Dalam pengantarnya, Jamal menyebutkan pemilihan 33 tokoh sastra
ini memiliki semangat membangun kebudayaan Indonesia yang lebih bermartabat.
Dia berusaha meyakinkan kita—dengan mengulang pernyataan di atas— bahwa
pemilihan 33 tokoh itu memiliki arti penting dalam usaha menempatkan sastra
dalam memperjuangkan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi.
Dalam
sepanjang lintasan sejarah hidupnya, belum pernah sastra Indonesia berani
memanggul— atau mau dibebani— misi suci seperti ini. Saya pun menjadi lega,
sebab selama ini saya tak tahu sama sekali, bagaimana akan jadinya nasib
kebudayaan Indonesia kalau buku ini tidak terbit. Segala puji bagi Tuhan,
karena buku ini muncul sebagai solusi bagi kusutnya persoalan besar
kebudayaan Indonesia. Kita pun mencatat, dengan tinta emas, bahwa kebudayaan
Indonesia betulbetul bersyukur, dan secara khusus berutang budi, pada tim 8,
di bawah komando Jamal D Rahman.
Meskipun
sudah sangat jelas, begitu besar jasa tim tersebut, kalau Jamal, atau Bung
Denny JA mengundang saya menjadi salah satu anggota tim tadi, niscaya saya
akan bersikap kerasmempersoalkan, mengapa hanya memilih 33 tokoh? Mengapa
tidak 99, atau cukup 11, supaya simbol keramatnya mengingatkan kita pada
struktur untaian biji-biji tasbih, yang dihubungkan dengan 99 asma Allah? Apa
karena jumlah 99 akan mengesankan panitia bersikap terlalu murah hati, dan
mengendurkan persyaratan, yang pasti sangat ketat, untuk menempatkan 33 tokoh
tadi?
Kalau 33
dianggap sudah ketat, mengapa tidak 11, yang jelas pasti lebih ketat lagi dan
lebih berorientasi pada kualitas, sehingga orang akan tahu, para tokoh itu
muncul melalui proses seleksi yang sangat ketat ? Bagi orang-orang serius
yang memilih 11, pilihan 33 itu tanggung. Dan kalau pada akhirnya mereka yang
sungguh-sungguh itu memandang bahwa memilih 11 tokoh ternyata masih kurang
serius, kurang ketat, maka mengapa tidak memilih hanya 1 tokoh, untuk
dijatuhkan pada Bung Denny JA?
Bukankah
konsultan politik ini sudah sukses besar dalam politik pemilihan pemimpin,
dan ingin tampil dalam dunia sastra? Dia sudah menulis satu buku, untuk
membuktikan kerja sedikit membawa hasil besar yang disebut di atas? Jamal,
sebagai komandan, telah berhasil mengomando tim 8, untuk menerapkan resep
mujarab dunia kaum motivator, yang ingin setiap detik ada perubahan luar
biasa. Sebanyak 32 tokoh sastra, yang hidup dan berjuang sejak abad ke-19
hingga abad ke-21 ini, sudah berjuang gigih membela kebudayaan, dan selama
itu tak ada yang menyadari kehadiran mereka selain tim 8 ini.
Misi tim
ini untuk mengumumkan pada dunia bahwa kehidupan dunia sastra Indonesia itu
demikian dinamis, progresif, dan sangat revolusioner, karena satu orang
pemula, yang hanya menulis sebuah buku, secara mendadak telah sama dan
sejajar dengan mereka, para leluhur, para pendahulu, para senior, yang sudah
wafat maupun yang masih hidup di tengah kita. Saya bergaul juga dengan para
sastrawan. Tidak ada informasi mengenai bagaimana sukacitanya, dan setinggi
apa kebanggaan 33 tokoh yang diposisikan sebagai ”paling berpengaruh” itu,
setelah nama dan karya mereka diabadikan di dalam buku suci kaum sastrawan
ini.
Saya
pernah menduga, mungkin banyak sastrawan yang ”ngiler’ untuk masuk ke dalam catatan sejarah prestasi yang
dahsyat ini. Tap saya kaget ketika mendengar ada sejumlah sastrawan lain yang
memuji syukur kepada Allah SWT karena nama mereka tak diutik-utik oleh tim 8,
sehingga mereka bebas dari beban menjadi yang ”terpilih”. Rupanya persoalan
ini berkembang menjadi ruwet. Ada yang tidak rela, bukan karena namanya tak
terpilih, melainkan karena rasa keadilan dan kepantasan terinjak-injak dengan
terbitnya buku ini.
Kualitas
sastrawan bukan hanya terletak di dalam karya-karyanya, melainlan juga di
dalam ”laku” hidupnya sehari-hari, yang ditempuh dengan penuh kegembiraan
karena pergulatannya yang intens, mendalam, dengan nilai-nilai, dengan tradisi,
dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kesetaraan, persaudaraan dan
perbedaan-perbedaan yang memperkaya kehidupan. Kualitas hidup seperti ini tak
bisa ditempuh dengan jalan pintas, dan dadakan.
Intensitas,
dan keberanian mereka untuk hidup seadanya, tak mungkin dicapai hanya dengan
menjeritkan ”mantra”: luaaarrbiasa tadi.
Rata-rata sastrawan itu humanis, dan dermawan kalau kebetulan punya duit.
Tapi sayang, mereka jarang punya. Tapi itu tak terlalu menjadi persoalan.
Buku ini menjadi masalah karena rasa keadilan dilanggar tadi. Penyelesaiannya
mungkin sederhana. Bung Denny JA, jadilah sastrawan beneran, bersikap
dermawan, dan biayai pencetakan buku baru, cetakan kedua, yang di dalamnya
nama Anda sudah tak ada lagi.
Kirimkan
buku-buku itu kesemua sekolah ditanah air, ke orang-orang terkemuka, ke
tokoh-tokoh, ke ormas-ormas sosial keagamaan, ke partaipartai politik, dan
perpustakaan perpustakaan yang jelas siap menerimanya. Sekali lagi, nama Anda
tak terdapat lagi di dalamnya, tapi tiap saat, anda menulis esai, puisi, atau
novel, naskah drama atau film, dan sesudah bertahun-tahun
Anda
bergulat di dunia sastra, niscaya Anda akan merasakan bahwa kebutuhan untuk
disebut ”tokoh sastra paling
berpengaruh” itu kelak akan terbukti tidak penting, tidak menarik, dan
tidak ada gunanya, karena pergulatan hidup Anda yang panjang, serius, dan
mendalam di bidang sastra itu kelak akan membisikkan pada Anda sendiri bahwa
bukan nama, bukan julukan, melainkan jasa dan kualitas serta ketulusannya
yang jauh lebih penting.
Biarkan
tim demi tim, jumlahnya 8 atau berapa, memilih nama-nama tokoh sastra, dan
memanggul-manggul mereka ke langit, Anda sebaiknya tak usah ikut, karena
bukankah pengabdian di bidang sastra atau kebudayaan tidak dimaksudkan untuk
memperoleh nama dan pujian? Bukankah dalam darma hidup yang ruwet dan banyak
godaannya itu, munculnya nama sering menjadi simbol pamrih-pamrih, yang
membikin hambar makna dan kualitas darma kita?
Nama dan
jasa boleh saja dimunculkan, tapi akan mulia bila kita menempuh kemunculan
”alamiah”, dan tak menggeser orang-orang lain dari posisi mereka. Kursi
kosong masih banyak. Jangan ”timpe”
kursi orang supaya kita tak merusak harmoni kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar