Sutan
Bhatugana Memundurkan Pemilu?
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 01 Februari 2014
Judul
ini rada bombastis meskipun diakhiri dengan tanda tanya. Tapi, Sutan
Bhatugana memang sering bombastis, tampil cerdik, menarik, mengkritik, dan
dikritik. Jauh sebelum kasus suap di SKK Migas, nama dan wajahnya muncul di
media sosial dalam berbagai versi. Ada versi patung batu, versi orok
berkumis.
Kecerdikannya
bersilat lidah juga istimewa. Saat M Nazaruddin pergi ke Singapura—sebenarnya
bukan Singapura, dan dia ini menemui kalimatnya
adalah kesaksian: Nazaruddin kurus, sakit. Ketika dikonfrontir bahwa
tidak sekurus yang diberitakan, ia menjawab dengan tenang, ”Saya hanya diberi tahu.“ Ungkapan
yang dipopulerkan seperti “nyeri-nyeri
sedap”, dan “masuk tu barang”,
masih sering terngiang. Ketika namanya dihubungkan dengan kasus-kasus
korupsi, ia tetap ceria.
“Tak ada
itu cerita”. Bahkan, bagi ketua komisi VII ini., tentang kasus suap untuk
anggota DPR yang diketuai, ia masih garang menolak, namun tak lagi kocak.
Tentang hal ini, penjelasannya seperti biasa—antara masuk akal dan mengalihkan
perhatian, “saya sedang pakai kawat
gigi. Nggak bisa ngomong banyak.”
Sutan
pembicara yang pinter menyiasati suasana. Saya beberapa kali tampil
bersamanya dalam suatu forum. Pernah terjadi Sutan marah besar pada Sujiwo
Tejo, sambil meninggalkan kursi dan menghampiri, siap berantem. Tentu saja
dilerai. Teriakannya masih nyaring: ”Nggak
bisa begitu dong. Ibu Ani kan Ibu Negara.” Ketika saya singgung saat
istirahat. “Nggak gitu-gitulah Bang.”
Jawabnya kalem: ”Ini siaran live. Kayak
nggak tahu aja kau.” Tapi kini agak berbeda.
Seluruh
anggota Komisi VII DPR diungkap menerima suap tanpa kecuali. Ketua, wakil
ketua, sekretariat, dan anggota yang jumlahnya 43 orang, dan namanya muncul
di media sosial, lengkap dengan identitas dari partai mana. Kalaupun ada
bantahan, agaknya tak menguatkan alibi yang kuat. Semacam: “Saya tak pernah menerima” atau “saya tak mengenal pemberi.” Kadang
saya berpikir andai salah satu wakil rakyat ini memiliki nyali, dan nurani
dengan mengakui menerima—seperti wakil rakyat Agus Condro dari PDIP,
persoalannya bisa lebih sederhana.
Tapi,
agaknya semua ingin bertahan, sampai tak bisa dipertahankan lagi. Aneh juga,
dalam keadaan seperti ini, masih melupa yang digambarkan di depan sidang
pengadilan. Akan halnya Sutan, apakah dia bisa berkelit atau mencari tokoh
lain disertakan. Dengan posisi seperti itu, Partai Demokrat ragu mengajukan
sebagai caleg. Ini menambah runyamnya PD, karena di barisan lain masih ada
Anas Urbaningrum, atau petinggi lain yang sudah mulai diincar.
Dengan
kata lain, PD memang, dalam istilah bisnis, dying market. Sedang sekarat. Sekarat tidak selalu berarti pasti
meninggal, justru sebaliknya, bisa melejit dan tampil lagi. Dan kalau
Demokrat tidak siap, juga partai-partai lain masih belum jelas, bisa terjadi
pemilu diundur entah kapan.
Suasana chaos dibiarkan berlangsung. Tentu
bisa ditemukan berbagai alasan kenapa pemilu tak bisa dilaksanakan.
Pemerintah dan DPR bisa membuat persetujuan-persetujuan yang sama-sama
menguntungkan. Sutan sebagai figur menarik. Tapi kuasanya tidak sebenar itu.
Kecuali, masalah politik bisa terjadi apa saja.
Toh,
yang bisa memutuskan itu hanya beberapa gelintir orang, bukan rakyat
seluruhnya. Kalau ini terjadi, astaga, betapa ngeri negeri ini. Korupsi,
suap, telah menelantarkan rakyat, dan lebih dari itu merendahkan nilai
kemanusiaan sampai ke titik nadir. Bukan hanya soal harta— dalam dollar atau
rupiah, tapi juga dalam martabat kemanusiaan yang lebih luas—termasuk
penyelenggaraan pemilu.
Kadang saya ngeri membayangkan kemungkinan itu yang terjadi, seperti
ngeri melihat wajah-wajah santun politisi kita yang masih jemawa, tidak
mengakui salah, seolah manusia tanpa hati nurani. Tak mengenal Pancasila,
Undang-Undang Dasar 45. Mereka lebih mirip zombie, hantu yang selalu mencari
orang lain untuk di-zombie-kan— menjadi sesama zombie. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar