Soliditas
(Semu) PDIP
Iding R Hasan ;
Dosen Komunikasi Politik FISIP, UIN Jakarta;
Deputi
Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 04 Maret 2014
|
Kasus
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma), yang telah menjadi pemberitaan
nasional secara besar-besaran, belakangan ini tampaknya mengusik Ketua Umum
PDIP Megawati Soekarnoputri untuk segera turun tangan.
Pasalnya,
pemberitaan yang cenderung memperlihatkan adanya riakriak internal di
lingkaran partai kepala banteng tersebut disinyalir banyak merugikan PDIP
yang notabene partai pengusung Risma. Pemberitaan tersebut terutama berkaitan
dengan rencana pengunduran Risma dari jabatannya. Hal ini antara lain dipicu
oleh pengangkatan Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota untuk mendampingi
Risma sebagai pengganti Cambang DH yang mundur karena mencalonkan diri
sebagai wakil gubernur Jatim.
Proses
pengangkatan tersebut dipandang Risma sebagai tidak prosedural karena tidak
melibatkan dirinya sama sekali. Sejak saat itulah, kasus Risma kemudian
bergulir bak bola liar sehingga menjadi pemberitaan besar-besaran. Risma yang
dipandang sebagai wali kota yang banyak menorehkan prestasi gemilang di kota
pahlawan itu menjelma menjadi sosok yang diharapkan publik Indonesia sebagai
calon pemimpin di masa depan.
Kini
Risma, seperti halnya Jokowi dulu yang hanya berkutat di daerah, telah
berhasil naik ke panggung politik nasional. Tidak heran kalau kemudian kasus
Risma terus menggelinding tanpa dapat dihentikan. Risma pun berubah menjadi
komoditas politik yang diperebutkan oleh partai- partai politik untuk
dipasangkan dengan calon-calon mereka. Realitas ini jelas sangat merugikan
PDIP karena kalau sampai Risma berhasil ditarik partai lain, PDIP-lah yang
paling dirugikan karena suaranya akan terbelah.
Soliditas (Semu)
Dalam
situasi yang semakin tidak menguntungkan PDIP itulah Mega kemudian turun
tangan. Bersama dengan sejumlah elite partai dan juga Gubernur DKI Joko
Widodo (Jokowi), Mega bertandang ke Surabaya. Dalam pertemuan dengan Risma,
Mega meminta sang wali kota untuk mengurungkan niatnya mengundurkan diri dan
tetap tegar melanjutkan kepemimpinannya di Surabaya tanpa harus memikirkan
yang lain-lain di luar itu.
Sebagai
sebuah langkah dalam mengelola konflik (conflict
management), apa yang dilakukan Mega di atas memang untuk sementara dapat
meredam riak-riak internal di PDIP. Setidaknya, para elite partai tersebut
bersepakat untuk segera mengakhiri kekisruhan yang terjadi khususnya terkait
pengangkatan Wisnu sebagai pendamping Risma. Pada saat yang sama, mereka
mengharapkan agar semua kalangan di internal partai untuk lebih memfokuskan
diri pada upaya konsolidasi partai guna menghadapi Pemilu 2014.
Namun,
menurut hemat penulis, kalau dicermati secara lebih mendalam, langkah Mega
tersebut tidak sertamerta akan membuat soliditas PDIP terutama di Surabaya
akan dengan mudah terbangun kembali. Secara permukaan mungkin saja tidak
terlihat riak seperti yang terlihat, tetapi bukan tidak mungkin di balik itu
masih tersimpan bibit konflik yang tidak mudah dipadamkan begitu saja atau
dalam waktu yang singkat.
Membaca
kasus Risma tidak bisa hanya dimulai dari masalah pengangkatan Wisnu sebagai
wakilnya, tetapi harus membacanya secara utuh dari proses-proses politik
sebelumnya. Selama menjabat sebagai wali kota Surabaya Risma sudah sering
mendapatkan tekanan-tekanan politik yang celakanya datang dari orang-orang
partai pengusungnya termasuk Wisnu sendiri.
Kasus
yang paling terkenal adalah saat Risma menolak dengan tegas rencana
pembangunan jalan tol di tengah Kota Surabaya dengan anggaran triliunan
rupiah. Risma yang tidak tergiur dengan iming-iming uang melimpah jika ia
menyetujui rencana tersebut, lebih memilih untuk bersikukuh mempertahankan
Kota Surabaya seperti sekarang. Sikap tegas Risma inilah yang kemudian
membuatnya kerap berseberangan dengan kalangan DPRD di mana Wisnu merupakan
wakil ketuanya.
Selain
masalah pembangunan jalan tol, banyak pula kebijakan lain yang dilakukan
Risma dan kemudian ditentang oleh kalangan DPRD Surabaya sehingga Risma
semakin merasa tertekan. Puncaknya saat Wisnu yang notabene orang sesama PDIP
yang kerap menentangnya diangkat menjadi wakilnya. Tentu saja keengganan
Risma untuk didampingi Wisnu bukan semata-mata masalah prosedural, namun
jelas karena riwayat konflik antar keduanya.
Oleh
karena itu, menilik riwayat konflik antara Risma-Wisnu selama ini tidak akan
mudah bagi keduanya, terutama bagi Risma untuk menghilangkan kesenjangan
psikologis dalam memimpin Kota Surabaya ke depan. Bukan tidak mungkin Risma
masih merasa curiga bahwa pengangkatan Wisnu dilakukan dalam rangka membuat dirinya
tidak leluasa lagi melakukan kebijakan-kebijakan seperti sebelumnya, karena
Wisnu mungkin saja akan berusaha merecokinya.
Dalam
hal ini, seharusnya Mega pada saat pertemuan
kemarin tidak hanya meminta Risma untuk membatalkan rencana pengunduran diri
dan terus melanjutkan pekerjaannya. Tetapi yang justru lebih penting adalah
meminta Wisnu untuk mendukung sepenuhnya program-program yang telah dan akan
dilakukan Risma. Termasuk dalam hal hubungan Risma dengan DPRD, Wisnu
seharusnya diminta untuk mampu ”mengendalikan” DPRD Surabaya.
Namun
sayangnya, Mega agaknya lebih melihat Risma sebagai fokus dari kekisruhan
yang menimpa Kota Surabaya belakangan ini, sehingga Mega kemudian lebih
banyak memberikan perintah pada Risma, tetapi tidak pada Wisnu. Padahal jelas
yang membuat Risma tertekan adalah ulah orang-orang PDIP yang notabene
”anak-anak” Mega sendiri.
Oleh
karena itu, bukan tidak mungkin bahwa ke depan akan terjadi kembali
gesekan-gesekan antara Risma-Wisnu dalam memimpin Kota Surabaya. Apalagi,
seperti yang dikatakan Komisi II bahwa kemelut di Kota Surabaya sepenuhnya
diserahkan pada kewenangan daerah untuk menanganinya.
Ini berarti bahwa orang-orang daerah, dalam hal ini kalangan DPRD
Surabaya akan lebih leluasa mengatasinya, termasuk dalam menghadapi Risma.
Jika ini yang terjadi, soliditas yang diperlihatkan PDIP dengan kedatangan
Mega di Surabaya boleh jadi hanyalah soliditas semu belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar