Akil
dan Nasib Sengketa Pilkada
Jamal Wiwoho ;
Guru Besar Fakultas Hukum
dan Pembantu
Rektor II Universitas Sebelas Maret Surakarta
|
KORAN
SINDO, 04 Maret 2014
|
Lima
bulan terakhir ini publik dan pemerhati hukum di Indonesia dikejutkan dengan
beberapa kejadian yang dilakukan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Lembaga
yang dibentuk berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 dan disempurnakan dengan UU No
8 Tahun 2011 ini, selama sepuluh tahun terakhir banyak memberikan putusan
yang membumi sebagai benteng konstitusi di Indonesia mendadak sontak
mengalami penurunan kredibilitas sampai pada titik nadir terendah. Setidaknya
ada tiga kejutan yang muncul sebagai akibat “ulah” mantan Ketua MK Akil
Mochtar selama beliau menjadi anggota dan ketua MK menggantikan ketua
sebelumnya, Mahfud MD.
Ketiga
kejutan tersebut antara lain: Pertama, peristiwa yang terjadi pada 2 Oktober
2013 di mana pada malam hari tanggal tersebut ketua Mahkamah Konstitusi
tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena beliau saat
itu hendak menerima suap. Peristiwa malam kelabu yang berakibat tertangkapnya
Akil tersebut telah mengguncang penegakan hukum di Indonesia sehingga mendapat
perhatian besar dari masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasional.
Peristiwa
penangkapan Akil menjadi peristiwa pertama kali bagi seorang ketua MK
Indonesia bahkan di dunia. Bisa dimaklumi setelah penangkapan Akil tersebut
kredibilitas lembaga yudikatif ini terjun bebas sampai pada tingkat
kepercayaan masyarakat yang paling rendah.
Penangkapan
terhadap mantan anggota DPR RI dari Fraksi Golongan Karya ini, juga merupakan
tsunami besar dalam penegakan hukum di Indonesia sehingga pemerintah perlu melakukan
konsep perubahan peraturan atas substansi dan materi Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, walau akhirnya perppu yang keluar dianulir MK.
Kedua,
tidak seberapa lama dari penangkapan Akil Mochtar, KPK melakukan penyitaan
terhadap harta Akil. Menurut juru bicara komisi anti rasuah Johan Budi, harta
yang disita itu meliputi tanah, dan bangunan, uang sebesar kurang lebih Rp200
miliar. Nilai aset yang disita tersebut juga mencengangkan khalayak di
seluruh Tanah Air yang rata-rata membenarkan bahwa pasti ada upaya “tidak
halal” dalam memperoleh. Kecurigaan datang jika membandingkan dengan hitungan
normal dari mendapatkan gaji sebagai anggota DPRRI dan dilanjutkan sebagai
anggota hakim MK sejak 2008 dan terpilih sebagai ketua MK pada April 2013.
Keterkejutan
ketiga adalah, saat jaksa KPK Pulung Rihandoro pada hari Kamis (20/2/ 14) pada
sidang tindak pidana korupsi (tipikor) di PN Jakarta Selatan membacakan
dakwaannya dengan enam dakwaan kumulatif yang terdiri atas empat dakwaan
kasus korupsi dan dua dakwaan kasus pencucian uang.
Secara
spesifik, JPU dalam dakwaan mengungkapkan bahwa Akil menerima suap dan janji
lebih dari Rp50 miliar dan USD500.000 dari pengurusan 15 sengketa pilkada.
Selain putusan sengketa Pilkada Lebak (Banten) dan Gunung Mas (Kalimantan
Tengah) itu ada 13 sengketa lagi, yaitu: Pilkada Lebak (mantan Wakil Bupati
Lebak Amir Hamzah); Kabupaten Empat Lawang (Sumatera Selatan), Kota Palembang
(Sumatera Selatan), Kabupaten Lampung Selatan (Lampung), Kabupaten Buton
(Sulawesi Tenggara), Kabupaten Pulau Morotai (Maluku Utara Rusli, Kabupaten
Tapanuli Tengah (Sumatera Utara), Provinsi Jawa Timur, Provinsi Papua,
Kabupaten Merauke (Papua), Kabupaten Asmat (Papua), Kabupaten Boven Digoel
(Papua), Kota Jayapura(Papua), Kabupaten Nduga (Papua), serta yang Provinsi
Banten.
Dengan
banyaknya dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam menangani sengketa soal
hasil pemilukada yang menjurus ke perbuatan untuk melakukan tindak pidana
korupsi dan gratifikasi
Dampak terhadap 13 Putusan Lainnya
Dakwaan
jaksa terhadap Akil Mochtar dengan banyaknya dugaan atas penyimpangan dalam
proses pemilukada di beberapa tempat memberikan beberapa implikasi. Antara
lain: Pertama, adanya hakim berlatar belakang politik sangat berbahaya dalam
penegakan hukum dan konflik kepentingan serta pendekatan praktis
transaksional semata. Ini merupakan pengalaman pahit yang telah mencoreng
muka dan martabat MK sebagai garda terdepan dalam penegakan konstitusi di
Indonesia.
Kedua,
dakwaan terhadap Akil juga menguatkan bahwa sejumlah masalah hasil sengketa
pemilukada masih menggelayut dan di persimpangan keabsahannya karena ada
dugaan penyimpangan dalam putusan2 tersebut. Hal ini tentu akan berakibat
baik langsung maupun tidak langsung terhadap beberapa hasil putusan MK yang
ditangani oleh Akil Mochtar selama di MK.
Ketiga,
dengan banyaknya “transaksi dan penyimpangan” oleh Akil dalam putusan
sengketa pemilukada, mestinya jaksa tidak hanya menuntut dengan 20 tahun
penjara, tetapi lebih dari itu yakni hukuman pidana seberat-beratnya.
Hukumannya
bisa saja hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Karena sebagai
seorang negarawan, ketua MK mestinya dapat berbuat adil dan memberi contoh
dalam penegakan hukum, bukan sebaliknya merobek-robek amanah dan
menjualbelikan keadilan dan kepastian serta menciderai kepatutan masyarakat.
Keempat,
dalam perkara suap mestinya antara pemberi suap dan penerima suap mestinya
samasama dapat dan layak dikembangkan serta dapat ditetapkan sebagai
tersangka. Dengan demikian, kalau mau mengungkap secara tuntas, tentu KPK
juga harus mengembangkan ke arah para pemberi suap, tidak adil rasanya kalau
hanya beberapa orang yang menerima suap.
Kita
semua menunggu KPK untuk dapat mengungkap siapa pelaku-pelaku dalam beberapa
kasus Akil tersebut, apakah berdiri sendiri-sendiri atau terkoordinir secara
rapi oleh kelompok tertentu?
Publik
tentu yakin KPK akan terus menuntaskan kasus-kasus tersebut Akil.
KPK harus segera memanggil pihak-pihak yang terkait dengan 15 pilkada
tersebut. Semoga KPK mampu menyibak dengan tuntas kasus-kasus Akil yang
nyata-nyata telah menciderai proses penegakan hukum di Indonesia tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar