Prestasi
Belajar
Daniel
Moh Rosyid ; Penasihat
Dewan Pendidikan Jawa Timur
|
KOMPAS,
01 Maret 2014
SEBELUM kita disibukkan oleh gelombang
tahunan Ujian Nasional 2014, membaca laporan The Learning Curve 2013 yang
terbaru tentu menyesakkan dada banyak pemerhati pendidikan. Lagi-lagi kita
berada di papan paling bawah, dan Finlandia di papan paling atas. Sigi ini
mengukur capaian belajar anak-anak lulusan setara SMP.
Tulisan pendek ini mencoba mengupas apa
yang dimaksud dengan prestasi belajar anak terutama di jenjang pendidikan
dasar sembilan tahun, dan bagaimana peran orangtua dan sekolah dalam membantu
anak mencapai prestasi tersebut.
Secara formal, prestasi anak akan
diukur berdasarkan hasilan belajar (learning
outcomes) yang diharapkan dalam dokumen kurikulum di jenjang formal anak.
Jika anak mampu menunjukkan hasilan belajar yang diharapkan di akhir proses
belajarnya di jenjang itu, anak tersebut kemudian dikatakan berprestasi.
Pertanyannya kemudian adalah apakah
hasilan belajar yang penting untuk jenjang pendidikan dasar?
Apakah The Learning Curve memberi pelajaran penting? Apakah anak-anak
belajar sesuatu yang berharga di sekolah? Jangan-jangan mereka hanya
diarahkan untuk memuaskan ego guru dan orangtua serta demi statistik birokrat
pendidikan, tetapi tidak belajar apa pun yang benar-benar berharga?
Jangan kaku
Saya berkeyakinan, sebenarnya anak-anak
normal, apalagi cerdas, tidak membutuhkan kurikulum kaku yang dirancang dengan
hati-hati. Saya tidak ingin mengatakan bahwa kurikulum agak menghina
kecerdasan banyak anak kita, tetapi manusia memang terlalu cerdas untuk
diremehkan oleh kurikulum.
Eksperimen Sugata Mitra di India dan
Inggris belum lama ini membuktikan bahwa anak-anak bisa belajar secara
efektif dalam sebuah self-organized
learning environment yang informal, tanpa kurikulum dan guru sekalipun!
Terlalu sibuk mendefinisikan hasilan
belajar beserta semua proses dan evaluasinya dalam sebuah kurikulum
seringkali justru mempersempit hasilan belajar yang bisa dicapai oleh seorang
anak.
Inilah yang terjadi dengan semua
hiruk-pikuk Kurikulum 2013. Bahkan di abad internet ini sekolah semakin tidak
dibutuhkan, apalagi kurikulum!
Jika prestasi dikaitkan dengan hasilan
belajar, maka prestasi setidaknya dirumuskan sendiri oleh anak, bukan oleh
guru, apalagi oleh birokrat! Ini jika kita serius dengan student centered
learning. Paling tidak, rumusannya didialogkan dengan anak.
Betapa sekolah melalui kurikulumnya
bisa memiskinkan makna belajar dapat dilihat dari bagaimana pengertian
prestasi saat ini seringkali dipersempit secara tidak perlu, terutama di
jenjang pendidikan dasar, sehingga justru berpotensi tidak mendidik anak.
Memperoleh nilai rapor yang tinggi dan
mengumpulkan berbagai trofi lomba seringkali dipakai sebagai ukuran prestasi.
Semakin tinggi nilai Matematika dan sains dinilai sebagai prestasi hebat.
Prestasi di bidang seni dan olahraga
kurang diapresiasi. Semakin banyak trofi dan sertifikat, dinilai lebih
berprestasi. Anak dijadikan alat perpanjangan ego guru dan orangtua.
Kelas-kelas akselerasi dijadikan pertanda keunggulan.
Ukuran prestasi
Ukuran-ukuran prestasi itu seringkali
juga bersifat individual. Karya kelompok kurang dihargai. Apa yang dilakukan
anak bagi tetangganya di sekitar rumah tidak dinilai penting dalam portofolio
anak.
Pramuka dan kegiatan di luar sekolah
mati sepi peminat. Yang ramai justru lembaga bimbingan ”belajar”, padahal
sesungguhnya cuma tempat menghafal siasat-siasat jitu untuk menghadapi tes-tes
pilihan berganda.
Seorang kawan seniman mengusulkan bahwa
lulusan pendidikan dasar paling tidak telah memiliki konsep diri yang jelas (learning how to be), serta mencapai
kemandirian belajar. Tahu bagaimana caranya belajar (learning how to learn). Saya sependapat. Belajar menjadi
kebiasaan hidup sehari-hari yang menyenangkan.
Belajar tidak dikaitkan dengan
ujian apa pun, tetapi sebuah sikap sehari-hari. Membaca, menulis, praktik,
dan berbicara menjadi keterampilan yang sudah dikuasai.
Sekolah-sekolah di Indonesia saat ini
disibukkan dengan banyak hal kecuali belajar. Anak-anak pulang hingga sore,
disibukkan dengantry-outs bertubi-tubi, tetapi tidak membaca koran dan
buku-buku. Apalagi menulis! Tidak ada waktu untuk itu.
Budaya membaca dan menulis tidak berkembang.
Budaya bicara pun tidak. Sementara itu praktik dan pengalaman sehari-hari di
luar sekolah tidak dihargai. Padahal pengalaman itu bagian penting dari
belajar.
Peran orangtua di rumah akan semakin
penting di abad ke-21. Sekolah hanya warung dekat rumah yang menyediakan
makan siang. Sarapan dan makan malam tetap di rumah.
Peran orangtua adalah mengembangkan
konsep diri anak yang unik, serta menyediakan lingkungan yang mendorong
kegemaran membaca, menulis, dan berbicara bebas, serta menghargai pengalaman
yang diperoleh di luar sekolah. Itulah prestasi yang patut dipikirkan oleh
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar