Sabtu, 01 Maret 2014

Potret Negeri Gagal Mengatasi Gizi

Potret Negeri Gagal Mengatasi Gizi

Andi Perdana Gumilang  ;   Pemerhati produk pangan gizi,
Mahasiswa program pascasarjana IPB
SINAR HARAPAN,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Tanggal 28 Februari diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Hari yang seharusnya, tidak ada lagi warga di seluruh Indonesia kekurangan gizi karena orang tuanya tidak mampu memberikan asupan makanan yang layak.

Namun, ironisnya ternyata masih ada balita maupun anak-anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar karena kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pelayanan kesehatan. Kita pantas prihatin karena pasokan gizi yang diperoleh rakyat kecil masih sangat terbatas. Mereka mengalami penyakit akibat kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh tidak terpenuhi.

Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) mengungkapkan, tingkat kematian balita di Indonesia mencapai 152.000 anak sepanjang 2012, atau sekitar 400 balita meninggal per harinya. Sebagian besar penyebab kematian balita di Indonesia disebabkan penyakit yang sebenarnya mudah dicegah dan diobati salah satunya adalah kekurangan gizi.

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 juga mengungkap potret buram dunia pergizian di Tanah Air. Prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 5,7 persen dibandingkan 2010 yang 4,9 persen.

Prevalensi gizi kurang naik dari 13 persen pada 2010 menjadi 13,9 persen pada 2013. Anak stunting (bertubuh pendek) juga meningkat menjadi 37,2 persen, padahal pada 2010 hanya 35,6 persen. Persoalan gizi yang bertambah parah telah disadari, penyebab dasarnya ialah keterbatasan akses pangan akibat rendahnya daya beli masyarakat.

Komoditas daging dan susu misalnya, jauh dari jangkauan daya beli masyarakat miskin. Dampaknya, anak-anak balita yang harusnya mendapatkan gizi cukup terpaksa harus makan seadanya. Proses kurang gizi kini telah berlangsung di tengah masyarakat.

Program pengentasan kemiskinan dan bantuan mengatasi permasalahan gizi oleh pemerintah belum menyentuh ke masyarakat secara komprehensif. Program yang dirancang ternyata hanya menyelesaikan warga miskin menengah saja.

Lebih dari itu, warga paling miskin yang pada umumnya tinggal di kolong jembatan, permukiman kumuh, serta perkampungan ilegal yang diduga terdapat warga yang kekurangan gizi, ironisnya tidak diakui pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya penggusuran yang dilakukan pemerintah Ibu Kota. Mereka seolah diberangus dengan program penggusuran sehingga menimbulkan kemiskinan baru.

Hal ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita, janji mewujudkan kesejahteraan rakyat yang selalu digemakan setiap rezim negeri ini dalam sistem demokrasi, ternyata pada faktanya berjalan semakin terjal. Bahkan, janji tersebut hanya sekedar janji kosong yang tidak dirasakan rakyat.

Hingga kini, jumlah penduduk miskin masih sangat banyak. Menurut ukuran pemerintah jumlahnya sekitar 28,5 juta orang. Namun, bila angka kemiskinan memakai ukuran Bank Dunia, jumlahnya bisa menjadi dua kali lebih besar. Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Namun, faktanya pertumbuhan tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan.

Kondisi negara ini sungguh memperihatinkan. Di tengah kian menjauhnya jalan menuju kesejahteraan, rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas malah diimpit beban yang semakin berat di tengah harga kebutuhan pangan pokok untuk pemenuhan gizi yang kian meroket.

Seremonial

Hari Gizi Nasional tampaknya sekadar seremonial belaka, tanpa aksi nyata untuk menanggulangi masalah gizi buruk yang terjadi selama ini. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional masih menyimpan data, ada sekitar 8 juta anak Indonesia yang menderita kekurangan gizi.

Ironisnya, jumlah ini tidak jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kejadian ini hendaklah menjadi catatan pemerintah untuk bebenah serta mengevaluasi pemimpin dan sistem yang diterapkan.

Selama ini, urusan pangan yang mengandung gizi di negara kita paling tidak ditangani tiga kementerian utama, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perdagangan. Namun, ternyata kita masih tertatih-tatih mencapai kedaulatan pangan. Itu karena produk pangan penting masih mengandalkan impor. Bangsa ini masih terjebak dalam rumitnya mengatasi masalah pangan dan gizi.

Pemimpin mendatang perlu mengutamakan program pangan dan gizi secara berdaulat yang dapat diaplikasikan secara nyata, sehingga masyarakat miskin dapat mengakses pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi dengan mudah.

Kesadaran masyarakat untuk hidup sehat juga harus lebih digalakkan sebab masih banyak keluarga yang belum memahami kebiasaan hidup sehat. Kementerian Kesehatan dan instansi terkait juga harus melakukan langkah aktif untuk memberi penanganan pada anak yang kekurangan gizi.

Pencegahan dini dengan edukasi gizi harus lebih merata dan optimal sehingga dari tahun ke tahun diperoleh angka pasti tentang kondisi masyarakat Indonesia, terutama balita dan anak-anak.

Oleh karena itu, kita berharap hari gizi nasional bukan sekadar peringatan seremonial belaka, melainkan kebutuhan aspek pangan dan gizi dapat dipenuhi dan dirasakan secara merata oleh semua pihak, khususnya masyarakat miskin, yang pada akhirnya dapat menjadi indikator keberhasilan pembangunan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar