Potret
Negeri Gagal Mengatasi Gizi
Andi
Perdana Gumilang ; Pemerhati produk
pangan gizi,
Mahasiswa
program pascasarjana IPB
|
SINAR
HARAPAN, 28 Februari 2014
Tanggal 28 Februari
diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Hari yang seharusnya, tidak ada lagi
warga di seluruh Indonesia kekurangan gizi karena orang tuanya tidak mampu
memberikan asupan makanan yang layak.
Namun,
ironisnya ternyata masih ada balita maupun anak-anak yang menderita gizi
buruk dan busung lapar karena kurangnya kepedulian pemerintah terhadap
pelayanan kesehatan. Kita pantas prihatin karena pasokan gizi yang diperoleh
rakyat kecil masih sangat terbatas. Mereka mengalami penyakit akibat
kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh tidak terpenuhi.
Badan PBB untuk
anak-anak (UNICEF) mengungkapkan, tingkat kematian balita di Indonesia
mencapai 152.000 anak sepanjang 2012, atau sekitar 400 balita meninggal per
harinya. Sebagian besar penyebab kematian balita di Indonesia disebabkan
penyakit yang sebenarnya mudah dicegah dan diobati salah satunya adalah
kekurangan gizi.
Hasil Riset
Kesehatan Dasar 2013 juga mengungkap potret buram dunia pergizian di Tanah
Air. Prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 5,7 persen dibandingkan 2010
yang 4,9 persen.
Prevalensi gizi
kurang naik dari 13 persen pada 2010 menjadi 13,9 persen pada 2013. Anak
stunting (bertubuh pendek) juga meningkat menjadi 37,2 persen, padahal pada
2010 hanya 35,6 persen. Persoalan gizi yang bertambah parah telah disadari,
penyebab dasarnya ialah keterbatasan akses pangan akibat rendahnya daya beli
masyarakat.
Komoditas
daging dan susu misalnya, jauh dari jangkauan daya beli masyarakat miskin.
Dampaknya, anak-anak balita yang harusnya mendapatkan gizi cukup terpaksa
harus makan seadanya. Proses kurang gizi kini telah berlangsung di tengah
masyarakat.
Program
pengentasan kemiskinan dan bantuan mengatasi permasalahan gizi oleh
pemerintah belum menyentuh ke masyarakat secara komprehensif. Program yang
dirancang ternyata hanya menyelesaikan warga miskin menengah saja.
Lebih dari itu,
warga paling miskin yang pada umumnya tinggal di kolong jembatan, permukiman
kumuh, serta perkampungan ilegal yang diduga terdapat warga yang kekurangan
gizi, ironisnya tidak diakui pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan
adanya penggusuran yang dilakukan pemerintah Ibu Kota. Mereka seolah
diberangus dengan program penggusuran sehingga menimbulkan kemiskinan baru.
Hal ini
seharusnya menjadi pengingat bagi kita, janji mewujudkan kesejahteraan rakyat
yang selalu digemakan setiap rezim negeri ini dalam sistem demokrasi,
ternyata pada faktanya berjalan semakin terjal. Bahkan, janji tersebut hanya
sekedar janji kosong yang tidak dirasakan rakyat.
Hingga kini,
jumlah penduduk miskin masih sangat banyak. Menurut ukuran pemerintah
jumlahnya sekitar 28,5 juta orang. Namun, bila angka kemiskinan memakai
ukuran Bank Dunia, jumlahnya bisa menjadi dua kali lebih besar. Di atas
kertas, ekonomi memang tumbuh. Namun, faktanya pertumbuhan tidak berbanding
lurus dengan kesejahteraan.
Kondisi negara
ini sungguh memperihatinkan. Di tengah kian menjauhnya jalan menuju
kesejahteraan, rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas malah diimpit beban yang
semakin berat di tengah harga kebutuhan pangan pokok untuk pemenuhan gizi
yang kian meroket.
Seremonial
Hari Gizi
Nasional tampaknya sekadar seremonial belaka, tanpa aksi nyata untuk
menanggulangi masalah gizi buruk yang terjadi selama ini. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional masih menyimpan data, ada sekitar 8 juta
anak Indonesia yang menderita kekurangan gizi.
Ironisnya,
jumlah ini tidak jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kejadian
ini hendaklah menjadi catatan pemerintah untuk bebenah serta mengevaluasi
pemimpin dan sistem yang diterapkan.
Selama ini,
urusan pangan yang mengandung gizi di negara kita paling tidak ditangani tiga
kementerian utama, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
serta Kementerian Perdagangan. Namun, ternyata kita masih tertatih-tatih
mencapai kedaulatan pangan. Itu karena produk pangan penting masih
mengandalkan impor. Bangsa ini masih terjebak dalam rumitnya mengatasi
masalah pangan dan gizi.
Pemimpin
mendatang perlu mengutamakan program pangan dan gizi secara berdaulat yang
dapat diaplikasikan secara nyata, sehingga masyarakat miskin dapat mengakses
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi dengan mudah.
Kesadaran
masyarakat untuk hidup sehat juga harus lebih digalakkan sebab masih banyak
keluarga yang belum memahami kebiasaan hidup sehat. Kementerian Kesehatan dan
instansi terkait juga harus melakukan langkah aktif untuk memberi penanganan
pada anak yang kekurangan gizi.
Pencegahan dini
dengan edukasi gizi harus lebih merata dan optimal sehingga dari tahun ke
tahun diperoleh angka pasti tentang kondisi masyarakat Indonesia, terutama
balita dan anak-anak.
Oleh karena
itu, kita berharap hari gizi nasional bukan sekadar peringatan seremonial
belaka, melainkan kebutuhan aspek pangan dan gizi dapat dipenuhi dan
dirasakan secara merata oleh semua pihak, khususnya masyarakat miskin, yang
pada akhirnya dapat menjadi indikator keberhasilan pembangunan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar