Paradoks
Demokrasi
Victor Silaen ;
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
KOMPAS,
03 Maret 2014
|
PARTAI politik penuh dengan
paradoks belakangan ini, termasuk Partai Demokrat dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Mereka menunjukkan sikap yang saling bertentangan
terhadap subyek yang sama sehingga akhirnya menimbulkan kontradiksi.
Pertama, mari kita soroti Partai
Demokrat (PD). Partai ini di satu sisi sangat menekankan demokrasi, tecermin
dari nama partai itu sendiri.
Namun di sisi lain, mengapa para
kadernya, terlebih para pemimpinnya, tak berjiwa demokratis? Gede Pasek
Suardika dipecat sebagai anggota DPR tanpa bukti pelanggaran hukum negara
ataupun konstitusi partai.
Diduga kuat Pasek didepak karena
kedekatannya dengan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum DPP PD) dan
keterlibatannya sebagai sekjen di Perhimpunan Pergerakan Indonesia (ormas
baru yang didirikan Anas). Maka, pada pertengahan September lalu Pasek
dicopot dari jabatan Ketua Komisi III DPR.
Cacat hukum
Anehnya, surat keputusan
pemecatan Pasek dari Fraksi PD DPR diteken oleh Ketua Harian PD Syariefuddin
Hasan dan Sekretaris Jenderal PD Edhie Baskoro Yudhoyono. Padahal, lazimnya
sebuah organisasi, tanda tangan sekretaris jenderal selalu bersanding dengan
tanda tangan ketua umum.
Artinya, seharusnya yang meneken
surat itu adalah ketua umum bersama sekretaris jenderal.
Maka, tidak salah apabila Ketua
DPR Marzuki Ali, yang notabene juga Wakil Ketua Dewan Pembina PD, mengatakan
surat pemecatan Pasek cacat hukum karena tidak memenuhi asas legal yang
semestinya.
Inilah paradoks demokrasi itu.
Bukankah selain sebagai kader PD, Pasek juga wakil rakyat? Apakah rakyat yang
diwakili Pasek sudah ditanya oleh para pemimpin PD sebelum memutuskan
pemecatan itu?
Di internal PD sendiri, apakah
Pasek sudah diajak bicara secara terbuka dan diberi kesempatan membela diri?
Sudahkah peringatan pertama sampai terakhir disampaikan sebelum Pasek
diberhentikan?
Kalau itu semua jawabannya
”tidak”, layaklah PD dikategorikan sebagai partai berlabel demokrasi minus
pemimpin yang demokrat. PD hanyalah sebuah infrastruktur demokrasi yang tidak
didukung nilai-nilai demokrasi.
Tentu, ini merupakan
pembelajaran politik yang tidak baik bagi rakyat. Sebab, hakikat demokrasi
bukanlah soal siapa yang lebih dominan memegang kekuasaan.
Demokrasi juga tidak identik
dengan proses pemilihan atau pergantian para elite. Demokrasi lebih
menekankan terjadinya dialog yang terbuka dan setara di antara pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, ruang-ruang partisipasi publik
terbuka lebar dan benih-benih demokrasi berkembang sehat.
Bergantung ketua
Paradoks kedua tampak di tubuh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai ini juga sangat
menekankan demokrasi sesuai namanya. Namun, lihatlah fenomena politik
beberapa bulan belakangan ini. Dalam berbagai survei tentang figur calon
presiden 2014 idaman rakyat, Gubernur DKI Jokowi yang juga kader PDI-P selalu
menempati posisi teratas, melebihi Ketua Umum PDI-P yang juga mantan
presiden, Megawati Soekarnoputri.
Pertanyaannya, mengapa hingga
kini PDI-P tak kunjung mendeklarasikan Jokowi secara resmi sebagai calon
presiden dalam Pilpres 2014? Jawabannya: menunggu restu Megawati.
Artinya, keputusan memajukan Jokowi
atau tidak sangat bergantung Megawati. Soal kapan mendeklarasikan, itu pun
bergantung pada instruksi Ketua Umum DPP PDI-P ini. Padahal, tak dapat
dimungkiri, rakyat sudah gemas melihat sikap Megawati. Sampai-sampai banyak
kalangan mengancam di media sosial untuk memboikot pemilu alias ”golput” jika
Jokowi tak segera dideklarasikan.
Inilah paradoks demokrasi
berikutnya. Sebab, sejatinya demokrasi tak bergantung pada satu orang yang
memegang kekuasaan lebih besar ketimbang orang-orang lainnya. Demokrasi
mestinya berdiri di atas prinsip setiap orang setara dan setiap orang berhak
mengemukakan pendapatnya. Terkait PDI-P dan Jokowi, mekanisme voting jelas lebih elegan alih-alih
terus-menerus menunggu kapan Megawati mau bicara soal capres.
Budaya restu
Namun, mungkin kita maklum akan
dua hal ini. Pertama, Megawati selama ini memang tak betul-betul pas untuk
diidentikkan sebagai figur yang demokratis. Banyak kebijakan PDI-P harus
melalui restu Megawati terlebih dulu sebagai sang pemilik otoritas sekaligus
sosok yang sangat dominan di PDI-P. Megawati bagaikan patron, kader-kader
lainnya ibarat klien yang harus memperlihatkan ketundukan total kepadanya.
Kedua, PDI-P selama dipimpin
Megawati belum betul-betul mengalami transformasi politik yang modern menuju
demokrasi dan karenanya belum sepenuhnya menghayati nilai-nilai demokrasi. Dalam
sistem demokrasi tersedia peluang untuk pergantian pemimpin secara terbuka.
Artinya, siapa saja bisa menggantikan ketua umum sesuai aturan main. Pertanyaannya,
siapakah yang bisa menggantikan Megawati sebagai ketua umum selama Megawati
masih eksis? Sungguh sulit menjawabnya.
Sekarang dan ke depan, PDI-P dan
Megawati patut memikirkan dua hal ini secara serius.
Pertama, jika betul-betul ingin
menjadi infrastruktur politik yang modern, tidak ada pilihan bagi PDI-P
kecuali bertransformasi untuk lebih menghayati nilai-nilai demokrasi. Ini
penting demi terjadinya demokrasi yang diperluas dan diperdalam (widening and deepening democracy system)
seperti yang dikatakan dua pemikir demokrasi, Juan J Linz dan Alfred Stephan
(1996).
Kedua,
jika ingin kembali berjaya seperti dalam Pemilu 1999, tidak perlu menunggu
lebih lama lagi untuk memutuskan posisi Jokowi terkait Pilpres 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar