OJK
dan Pengawasan Bank
Eko B Supriyanto ;
Direktur The Finance Research
|
KOMPAS,
04 Maret 2014
|
PENGAWASAN
individual bank oleh Bank Indonesia kini tinggal cerita sejarah.
Sejak 1
Januari 2014, pengawasan bank beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun,
sejarah itu bukan berarti sejarah yang benar-benar baru. Sebab, tenaga
pengawas masih tetap sama, data yang dipakai juga sama. Pendek kata, hanya
ganti kop surat, dan kantornya pun sama, Gedung Bank Indonesia.
Selama
ini bank bangkrut bukan karena kalah bersaing, tetapi karena aji mumpung (moral hazard) oleh pemilik atau
pengelola bank. Data sejak 1990-an hingga saat ini, bank umum atau bank
perkreditan rakyat yang ditutup meninggalkan ”surat wasiat” sama, yaitu
penyalahgunaan oleh pemilik atau pengurus bank. Padahal, pengawasan bank kian
hari kian ketat. Juga cenderung tidak memberi ruang yang longgar bagi bisnis
operasional bank.
Namun,
kegagalan bank masih saja berlangsung dan meledak ketika terjadi keguncangan
di pasar keuangan. Hal ini bukan karena lemahnya pengawasan bank, tetapi
lebih disebabkan sifat bisnis bank itu sendiri. Selama masih ada nasabah yang
menabung dan kredit macet dapat dikelola, maka tidak akan menimbulkan
masalah. Namun, bila sudah merosot kepercayaannya, bank itu akan tinggal
cerita dan meninggalkan warisan masalah, yaitu karena digangsir oleh
pemiliknya sendiri dengan disertai kekeringan likuiditas.
Intervensi dan premanisme
Ada
beberapa catatan yang perlu dikemukakan dalam konteks pengawasan oleh OJK.
Pertama, kendati OJK bersifat independen seperti BI, bukan berarti bisa
independen terhadap swasta. Selama ini banyak ”tangan-tangan halus” yang juga
dapat memengaruhi pengawasan bank. Para konglomerat pemilik bank dengan mudah
memengaruhi pengawasan. Jika melawan, dengan mudah para konglomerat itu bisa
mengganti deputi lewat DPR. Atau akan dengan mudah memberi izin dan
kelonggaran.
Catatan
kedua, ancaman Daftar Orang Tercela (DOT) benar-benar menakutkan bagi seorang
bankir yang selama puluhan tahun menjadi profesional. Dalam beberapa kasus
pengawasan bank, seperti terungkap dalam diskusi terbatas yang dihadiri para
bankir ternama, selama ini ancaman DOT dan perlunya uji kelayakan dan
kepantasan (fit and proper test)
ulang benar-benar sangat menakutkan. Padahal, belum tentu terbukti benar yang
dituduhkan BI, tetapi anehnya BI sudah membocorkan hal ini ke mana-mana.
Harapannya,
ke depan OJK tidak lagi menggunakan pendekatan ”preman” seperti itu. Dan,
sudah sangat tepat jika pengawas model ini diuji ulang jika ikut ”rombongan”
masuk kembali ke OJK. Atau lebih baik oknum ”montir jalanan” itu diparkir
saja karena akan merusak citra pengawasan oleh OJK ke depan.
Ketiga,
ke depan sudah waktunya melibatkan Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Perbanas
menjadi mitra kerja OJK dalam hal fit
and proper test. Sebab, selama ini IBI juga dapat memberi masukan yang
menyangkut integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan. Sebab, IBI
merupakan lembaga yang juga mengembangkan tiga aspek tersebut. Jadi, untuk
menjalani fit and proper test ke
OJK, seorang bankir setidaknya harus menjadi anggota IBI lebih dahulu.
Keempat,
konglomerasi sektor keuangan seharusnya lebih mudah dalam pengawasan. Namun,
dalam hal ini, cikal bakal OJK yang terdiri dari unsur BI dan Kementerian
Keuangan tentu perlu waktu yang lebih lama dalam koordinasi. Pengawasan
perbankan dilakukan oleh eks pengawasan BI, sementara pengawasan sektor
keuangan oleh pengawasan eks Kementerian Keuangan RI. Koordinasi ini sangat
penting dilakukan karena koordinasi menjadi barang mahal di Indonesia kendati
masih satu atap. Apalagi koordinasi yang terkait erat kebijakan makro dan
mikro prudensial sering kali menimbulkan ”gegar” kepentingan.
BI
memang tidak benar-benar lepas tangan meninggalkan ”kuku”-nya di perbankan.
Sebab, BI masih memiliki wewenang pengawasan soal prudensial makro.
Prudensial makro meliputi stabilisasi sistem keuangan. Sementara prudensial
mikro meliputi pengaturan dan pengawasan bank. Dan, ini tentu juga jadi
tantangan tersendiri bagi BI. Sebab, kebijakan moneter yang menjadi tugas
utama BI akan semakin sulit tanpa prudensial mikro. Apalagi perbankan
berperan penting dalam transmisi kebijakan moneter.
Sementara
BI yang bertugas menjaga kestabilan moneter dihadapkan pada tantangan tak
ringan. Misalnya, potensi keterlambatan respons kebijakan dalam penanganan
krisis antara lain fungsi lender of the
last resort karena bisa saja BI kesulitan mendeteksi secara awal
munculnya masalah di sistem keuangan. Tak hanya itu. Penerapan kebijakan
moneter akan kurang efektif karena tak punya kewenangan menjatuhkan sanksi.
Sementara tak terintegrasinya kebijakan moneter dan pengawasan bank dalam
mitigasi risiko keuangan akan menimbulkan dampak buruk sehingga transmisi
kebijakan moneter pun bisa salah sasaran karena BI tidak memiliki informasi
yang utuh, akurat, dan harian terhadap perilaku dan denyut nadi bank-bank.
Hal itu
tentu bisa diatasi dengan baik sehingga BI bisa lebih fokus mengatur
kebijakan moneter dengan prudensial makronya dan OJK dengan prudensial
mikronya. Salah satunya, Gubernur BI dan Ketua OJK setidaknya harus satu
gelombang yang sama. Sungguh sangat bahaya jika terjadi perbedaan gelombang,
maka akan terjadi kiamat perbankan dan membuat negara harus melakukan banyak
talangan (bail out) untuk bank yang
kesulitan saat krisis.
Apalagi
kalangan DPR mengonotasikan bail out di saat krisis sebagai
langkah korupsi. Padahal, bail out adalah upaya memperbaiki sistem perbankan
agar tak jatuh ke lembah krisis. Pilihan kebijakan mana yang paling murah
ongkosnya itulah yang diambil. Selama ini hanya dilihat berapa biaya bail out
tanpa pernah melihat apa untungnya, seperti sistem perbankan hidup lagi,
kredit mengucur mendorong sektor riil, ada pajak dibayar, dan tak menambah
ongkos pemulihan yang lebih tinggi jika pemerintah tak melakukan bail out di
saat krisis seperti 1998.
Apa pun
itu, saat ini pengawasan bank sudah ada di atap OJK. Dalam beberapa hal,
kehadiran OJK juga sangat penting di tengah konglomerasi sektor keuangan
karena mempermudah koordinasi, kendati harus dibuktikan dulu. Jadi,
pengaturan dapat lebih terintegrasi, hilangnya hambatan dalam melakukan
pemeriksaan lintas sektor sehingga pengawasan atas instrumen keuangan menjadi
lebih baik. Pada akhirnya juga akan meningkatkan perlindungan nasabah.
Satu hal
yang harus dihindari adalah intervensi politik dalam pengawasan dan
pengaturan bank. Jangan sampai penyehatan bank jadi barang dagangan untuk
politisasi sesaat. Sebab, jika politik terus masuk dalam pengawasan dan
pengaturan bank, sesungguhnya kita semua sedang menggali sumur tanpa dasar
dalam menyehatkan bank yang perlu dana tak sedikit. Jadi, setidaknya seluruh
elemen masyarakat mendukung terciptanya OJK yang independen, berkarakter, dan
mampu menutup kelemahan pengawasan yang selama ini terjadi saat pengawasan
berada di BI. Lebih dari itu, OJK harus didorong ”karakter” dan sosoknya
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Jangan sampai belum bekerja sudah ada
lemparan bom dengan maksud menimbulkan ketidakpercayaan kepada lembaga OJK
itu sendiri.
Apalagi
di Indonesia saat ini politik jadi panglima. Maka kita harus mendudukkan OJK
pada tempat yang baik karena pengalaman menunjukkan kegagalan bank atau
lembaga keuangan bukan karena persaingan, melainkan aji mumpung pemilik.
Jadi, perlu diberi dorongan untuk meningkatkan kualitas pengawasan OJK oleh
seluruh pemangku kepentingan, terutama pihak berwenang seperti kepolisian,
kejaksaan, dan KPK. Dan, sudah tentu oleh DPR mendatang dengan kualitas
pemahaman mumpuni atas masalah keuangan. Apalagi, studi di seluruh dunia, tak
ada jaminan pengawasan di bawah bank sentral atau OJK bebas dari krisis.
Krisis tak ada kaitan dengan sistem pengawasan. Namun, penanganan lebih cepat
menjadi sangat penting.
Uji materi UU OJK
Jika
semua pihak dapat mendorong OJK lebih independen dan berintegritas, setengah
masalah krisis sudah dapat diselesaikan. Jika ada pihak-pihak yang hendak
melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini
merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini ”kegenitan” semata. Selama ini,
proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan
naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan
pemerintah serta BI sendiri.
Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan
dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun.
Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang bisa dimatikan begitu saja.
Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya.
Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan
butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong
kredibilitas OJK seperti layaknya KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar