Mencegah
Penyakit Argentina
Ahmad
Erani Yustika ; Guru Besar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas
Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KORAN
SINDO, 28 Februari 2014
Sampul majalah The Economist, edisi 15–21 Februari
2014, menimbulkan gelora saya untuk melihatnya secara detail. Foto
memperlihatkan bagian belakang Lionel Messi yang sedang berjalan dengan
memakai kostum Argentina bernomor punggung 10.
Sebagai
penikmat sepak bola tentu sampul ini bercerita banyak, sebab dia adalah
pemain paling hebat sejagat sekarang, bersaing dengan Christiano Ronaldo.
Namun, sebagai ekonom, saya tentu lebih tertarik lagi dengan judul sampul
majalah tersebut: The Parable of
Argentina. Tentu maknanya segera bisa ditangkap dari sinyal judul
tersebut. Benar, Argentina yang sedang terpuruk dan memiliki prospek ekonomi
ke depan yang tak menggembirakan.
Satu abad lalu
Argentina disebut sebagai ”the country
of the future”, bahkan dianggap akan mengungguli Brasil, Cile, dan
beberapa negara besar Eropa (Jerman, Prancis, dan Italia). Faktanya, saat ini
Argentina tertinggal jauh ekonominya, bukan hanya dari negara Eropa, bahkan
juga dengan tetangganya sendiri.
Tiga Argumen
Majalah
tersebut menyebut tiga argumen kunci yang menyebabkan ekonomi Argentina
terpuruk: kelembagaan yang rapuh, politisi yang berpikiran sempit, dan
kebijakan ekonomi yang tak berdamai dengan realitas. Kelembagaan yang keropos
merupakan persoalan jamak di negara berkembang, tak hanya eksklusif
Argentina. Regulasi tak mengatur detail kegiatan-kegiatan ekonomi sehingga
dengan gampang moral hazard menyeruak.
Jika aturan
main telah dibuat, kerap cepat berubah sehingga sulit menjadi panduan pelaku
ekonomi. Misalnya, aturan main mengenai investasi. Implikasinya, investor
tidak mempunyai kepastian dan jera melakukan ekspansi atau membuka usaha.
Parahnya lagi, apabila regulasi sudah tersedia, bahkan lengkap, tapi tak ada
penegakan. Jadi, pemerintah sudah membuat kebijakan yang memiliki kekuatan
hukum tetap, tapi tak dieksekusi sehingga perilaku menyimpang pun tidak
dikenai penalti, seperti praktik pembajakan.
Nyaris tidak
ada perlindungan terhadap hak kepemilikan, meski sudah ada aturannya.
Bagaimana dengan tabiat politisi? Pada umumnya perilaku mereka dituntun oleh
dua motif. Pertama, pada batas tertentu politisi wajar berpikiran sempit
karena ada desakan konstituen atau kepentingan partai. Ini jamak terjadi di
mana pun, bahkan dalam sistem yang paling demokratis sekalipun. Kedua, dalam
banyak kasus politisi tak memiliki cadangan gagasan yang memadai, apalagi isu
yang rumit.
Mereka tidak
mempunyai kapasitas teknis, sehingga mudah sekali pikiran mereka dipengaruhi
oleh opini publik yang disuarakan oleh kelompok-kelompok strategis, seperti
akademisi, lembaga nonpemerintah, dan lainlain. Sampai sekarang belum ada
obat yang manjur untuk mengatasi patologi ini. Terakhir, negara-negara
Amerika Latin memang selama ini penganut ideologi ekonomi yang ketat. Watak
ekonomi sosialis melekat begitu dalam, sehingga kebijakan populisme dirawat
dengan disiplin tinggi, berapa pun ongkosnya.
Argentina
termasuk dalam gerbong ini, sedangkan Brasil relatif dapat menyesuaikan
dengan perkembangan zaman. Jika melihat data makroekonomi Argentina,
sebetulnya tidaklah semuanya buruk. Pendapatan per kapita, meskipun makin ketinggalan
dari negara Eropa dan tetangganya, namun masih tergolong tinggi, yaitu
sekitar USD13.000. Indonesia sendiri saat ini pendapatan per kapitanya pada
kisaran USD4.000. Pertumbuhan ekonomi fluktuatif, namun pada 2010 tumbuh
fantastis 9,2% dan 2011 sebesar 8,9%.
Tapi pada 2012,
pertumbuhan ekonomi jatuh menjadi 1,9% dan pada Triwulan III-2013 naik lagi
menjadi 5,5%. Pengangguran sampai Triwulan III-2013 sekitar 6,8%, hampir sama
dengan Indonesia. Neraca perdagangannya cukup bagus, di mana pada 2012
surplus USD12,4 miliar, padahal pada saat yang sama Indonesia defisit USD1,63
miliar. Khusus untuk inflasi, kinerja Argentina memang buruk karena selalu
pada kisaran 10% (BCRA, 2013). Pada masa lalu memang inflasi ini menjadi
persoalan serius di Argentina, bahkan hiperinflasi kerap terjadi di sana
(hingga ribuan persen).
Investasi Kelembagaan
Data pendapatan
per kapita mungkin menarik untuk diselisik lebih lanjut. Jika membandingkan
pendapatan per kapita Argentina dengan Brasil, Italia, Jerman, Prancis,
Jepang, Inggris, Australia, dan AS pada kurun waktu 100 tahun terakhir, maka
berikut ini gambarannya.
Pada tahun 1900
pendapatan per kapita Argentina 400% lebih tinggi dari Brasil; 250% dari
pendapatan per kapita Jepang; 170% dari pendapatan per kapita Italia; sama dengan
pendapatan per kapita Prancis; dan sekitar 70% dari pendapatan per kapita AS
dan Australia. Apabila data yang sama dilihat kembali pada 2010, perubahan
yang terjadi begitu kontras. Pada kondisi 2010, pendapatan per kapita
Argentina 30-40% dari pendapatan per kapita negara-negara tersebut, kecuali
Brasil (The Economist, 2014).
Jadi, dalam
kurun waktu 110 tahun segalanya telah berubah dan Argentina berada di pihak
yang ”kalah”. Persoalan ini bisa diulas secara mendalam, namun dalam ruang
yang terbatas ini penting membahas isu yang lebih relevan: apakah Argentina
hanya sendirian? Bagaimana mencegah hal ini? Argentina tentu tidak sendirian.
Bahkan, ada contoh yang sangat dekat yakni Indonesia. Pada saat mulai
melakukan pembangunan ekonomi secara sistematis pada akhir dekade 1960-an,
pendapatan per kapita Indonesia masih lebih bagus ketimbang China dan
Malaysia.
Namun, sejak
dekade 1990-an, setelah dihajar krisis ekonomi 1997/1998, pendapatan per
kapita nasional disusul dengan cepat oleh Malaysia dan China. Sekarang India
dan Vietnam membuntuti Indonesia, bahkan pada 2030 kelak pendapatan per
kapita India dan Indonesia hampir sama dan pada 2050 India telah melampaui
Indonesia (ADB, 2012). Cerita ini menjadi mirip dengan Argentina karena
Indonesia sejak lama juga diangankan juga sebagai negara ideal yang akan
menjadi poros kemajuan ekonomi.
Bahkan, saat
ini bersama dengan Turki, Brasil, Meksiko, Rusia, China, Korsel, dan India;
Indonesia masuk dalam radar ekonomi hebat di masa depan. Tapi jika tak
hati-hati, nasib Indonesia akan seperti Argentina saat ini. Lantas, apa
pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar peristiwa kelam itu tak terjadi?
Saya tak terlampau tertarik dengan ukuran pertumbuhan ekonomi atau pendapatan
per kapita, meski boleh saja itu dipakai. Butuh lebih 100 tahun untuk bisa
mengejar ketertinggalan dari sisi itu dibandingkan dengan negara maju.
Namun, kita
bisa melampaui negara maju secara lebih cepat apabila mau mengerjakan
investasi kelembagaan, pengetahuan (pendidikan), dan kapabilitas negara.
Investasi kelembagaan penting untuk membingkai kegiatan ekonomi berjalan
secara adil bisa diakses oleh semua orang, dan menjamin kepastian.
Pengetahuan berkontribusi kepada cara kegiatan ekonomi dilakukan sehingga
hasil yang diperoleh dapat lebih banyak.
Kapabilitas
negara dimaksudkan sebagai kemampuan mengeksekusi setiap kebijakan yang telah
diproduksi. Selebihnya, ideologi memang harus hidup dan jelas, tapi juga
mesti berdamai dengan realitas yang berubah setiap hari. Resep ini memang tak
menjamin keberhasilan secara utuh, namun sekurangnya bisa meminimalisasi
penyakit seperti di Argentina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar