Memaafkan
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 22 Maret 2014
Maaf
adalah kata yang indah. Dan memaafkan, sebagai bentuk aktif, sebagai kata
kerja, bukan hanya indah, melainkan juga mulia dan sekaligus sakti. Memberi
maaf kepada orang yang jahat, yang membelitkan rasa ketidakadilan pada kita,
adalah positif dan memberi pencerahan di tahun politik yang serba-meniadakan
lawan ini.
Saya
menemukan pengertian yang membumi ini pada pasangan, Suroto dan Elizabeth,
pada suatu pertemuan. Pasangan ini adalah orang tua dari anak semata wayang
bernama Sara Angelina, yang menjadi korban rekan sekolah. Sara diduga dibunuh
secara kejam tanpa alasan yang mudah diterima akal sehat. Sekurangnya, itulah
kegeraman saya ketika menuliskan di rubrik ini, Sabtu lalu.
Saya
merasa peristiwa pembunuhan ini sedemikian absurd, tanpa makna, hanya
kesia-siaan yang menyengsarakan. Bagi pasangan remaja yang merencanakan dan
mengakui melakukan pembunuhan ini, hanya akhir kesengsaraan yang menunggu—
tidak bersama-sama sebagai sepasang kekasih, melainkan di ruang dan dinding
beku yang berbeda tempat.
Saya tak
kenal secara pribadi dengan Sara atau kedua orang tuanya, tapi bisa merasa
sangat geram, menyesalkan, merasa terlecehkan nilai kemanusiaan saya,
sehingga sempat bertanya-tanya: apa makna dari peristiwa ini kalau hanya
membuat kita lebih kecewa dan kehilangan kepercayaan kepada sesama?
Sampai
beberapa hari lalu bertemu dengan Suroto dan Elizabeth— juga teman-teman
kuliah Sara, berjabat tangan, dan pada kesempatan yang diberikan, saya
menceritakan apa yang saya tulis di Koran Jakarta kepada semua yang hadir.
Yang hadir adalah mereka yang diundang oleh Irwan Hidayat, direktur utama
Sido Muncul, yang memprakarsai iklan layanan masyarakat versi “memaafkan”.
Saya
sampaikan: bahwa maknanya tidak sepenuhnya sia-sia, justru karena ada
sepasang suami-istri yang memaafkan pelaku-pelaku pembunuhan. Tumbuh kembali
harapan, bahwa ada yang istimewa dari kemanusiaan kita yang merupakan bagian
dari kesadaran kita sebagai umat Tuhan yang Maha-memaafkan, mengampuni.
Saya
merasa lega pada malam pertemuan itu. Karena bertemu sepasang suami-istri
yang tabah, kuat, berjiwa besar—walau tetap tak tega melihat adegan pemakaman
anaknya dan meneteskan air mata. Lega karena bertemu dengan Irwan Hidayat
yang iklaniklan produk jamunya berbicara tentang kemanusiaan, juga
ke-Indonesiaan yang kental, juga idenya ketika memberi tumpangan gratis bagi
para pemudik. Saya lega bertemu belasan wartawan—sebagian saya kenali, atau
mengenali, sejak awal saya juga melakukan profesi jurnalistik. Lega bersapa
apa kabar, dan menyadari bahwa waktu yang lama tak kuasa menghapus
kenangankenangan lucu. Saya lega ngobrol bersama teman-teman Sara—yang juga
teman-teman tersangka pembunuhan, yang usianya sebagian belum 20 tahun, yang
bukan hanya berbicara memaafkan, tapi juga menyinggung doa agar “teman yang tersesat” kembali ke jalan
yang benar.
Mereka
ini sungguh masih belia, masih berada dalam usia yang bisa rawan dalam
pergaulan, dan ternyata mampu merumuskan sikap. Termasuk, ingin bisa
menggantikan posisi Sara sebagai putri Elizabeth-Suroso. Saya lebih lega
karena bertemu banyak – tidak banyak sekali seeeh—penulis yang
mengekspresikan dalam blog, dalam media sosial, tentang tema utama ini:
memaafkan. Yang intinya menambah semangat, mengubah kecemasan akan sikap
remaja menjadi selalu ada harapan. Sampai saat saya menuliskan ini, masih
saja ada tulisan-tulisan itu.
Dan ini
melegakan. Terima kasih Suroto-Elizabeth
yang mengembalikan kuasa memaafkan, terima kasih Irwan Hidayat yang
menjadikan peristiwa sebagai dokumen dan kesaksian kehidupan. Terima kasih
untuk yang masih mempercayai kekuatan dari memaafkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar