Hafitd-Assyifa?
Oh Tidak
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 15 Maret 2014
Apa
jadinya jika hati kita tak tersentuh meletupnya Gunung Kelud? Jika kita tak
berbuat sesuatu untuk membantu? Untunglah tidak begitu. Juga bencana longsor,
atau korban yang lain, hilangnya pesawat Malaysia, misalnya. Perasaan bela
rasa, bisa merasakan penderitaan orang lain, memosisikan pada nasib korban,
adalah penggerak nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana jika perasaan kepada
sesama tidak ada.
Sakit
membayangkan, tapi di dunia ini ada makhluk yang ditandai mempunyai perilaku
seperti itu. Adalah remaja bernama Hafitd dan pacarnya, Assyifa, yang diduga
keras melakukan pembunuhan sadis pada Ade Sara Angelina Suroto, mantan pacar
Hafitd. Sampai di sini semua akal sehat berantakan karena hanya menemukan
secuil alasan pembunuhan: bagi Hafitdh, Sara dianggap sombong tak mau
berkenalan lagi.
Bagi
Assyifa, Sara dianggap ancaman karena kekasihnya bisa balik padanya. Sebuah
motivasi yang dianggap aneh, dianggap tak biasa bagi orang-orang biasa.
Muncullah anggapan bahwa pasangan yang masih saja tertawa-tawa di tahanan
Bekasi ini psikopat, punya pribadi ganda, tak mengenal rasa simpati pada
orang lain. Ada yang salah, atau ada yang rusak dari pasangan Hafitd-Assyifa
ini.
Teori
kejiwaan dengan uji tes psikologis dilakukan. Mungkin akan menerjemahkan
adanya kelainan jiwa. Mungkin juga biasabiasa saja—setidaknya bagi mereka
berdua ini tak ada yang aneh. Seperti tak terlihat adanya rasa menyesal,
seperti ini bukan periksa heboh. Sama tenangnya seperti ketika keduanya
membawa–bawa jenazah korban untuk dibuang. Tenang, kalem, meskipun mobilnya
mogok, kemudian minta tolong dicarikan aki. Atau juga ketika menjawab
pertanyaan bahwa di mobilnya ada mayat. Atau kemudian menjual hape korban.
Atau
nge-tweet berbela sungkawa—atau
mensyukuri kematian. Atau yang lainnya lagi yang bagi kebanyakan orang, atau
bagi orang biasa, sungguh tidak wajar. Maka apa yang terjadi, atau apa yang
dilakukan pasangan ini sungguh mengerikan. Mencabuti nilai-nilai kepercayaan
kemanusiaan yang selama ini. Yang semua itu dilakukan tanpa merasa ganjil,
tanpa merasa sebagai kesalahan— bukan sekadar kelainan. Ini yang bagi saya
menakutkan.
Bagi
pasangan ini, mungkin membunuh dengan menyiksa bukan sesuatu yang bodoh dan
jahat. Mereka merencanakan, dan kemudian melakukan. Dalam ketakutan saya yang
tersengat adalah, kalau kejahatan ini lolos, bisa jadi ada korban lain lagi.
Tak perlu jelas siapa dan apa kaitannya dengan mereka. Dalam bahasa mereka,
itu semua karena “iseng saja”, yang
tak perlu diberi penjelasan.
Bagaimana
pasangan ini bisa bersikap seperti ini? Akan banyak teori gagalnya pendidikan
dari orang tua, atau pengaruh lingkungan. Saya merasa dan meraba-raba bahwa
kelakuan “iseng saja” atau “menganggap biasa” ini sebenarnya
dilakoni dalam hal-hal lain. Misalnya, saja pasangan ini berpacaran, dan
“menganggap biasa” apa saja yang bisa dilakukan berdua—apa saja.
Apakah
tidur bersama, atau malah bersama yang lain, atau bahkan kemudian membunuh
bersama. Dengan kata lain, ada hal-hal kecil—di luar norma umum yang biasa,
—yang selama ini telah dilanggar, dilompati, di-cuekin dengan tenang. Sampai
kemudian bahkan peristiwa kriminal yang “menarik
perhatian masyarakat”, bagi mereka tetap biasa-biasa. Sungguh sayang,
pasangan tidak membuktikan apa-apa, selain kegagalannya menjadi wajar.
Pasangan
ini juga tidak membuktikan cinta yang dramatis dalam kebersamaan, karena
sebentar lagi pun dalam penjara yang berbeda, mereka hanya menyesali— kalau
perasaan itu ada, keterpisahan dan kesiasiaan apa yang dilakukan untuk
penderitaan yang akan panjang dan menyiksanya. Yang akan memperparah luka
batin atau jiwa.
Karena
di dalam penjara, dalam pergaulan pada blok sesama pembunuh, segala sesuatu
bisa terjadi. Merinding membayangkan ada remaja seperti itu. Lebih menakutkan
lagi jika ternyata kisah nyata nirlogika memunyai pengulangan, persamaan,
dalam kisah lainnya yang bisa serupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar