Keutuhan
Komitmen Pembangunan Manusia
Razali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
|
KOMPAS,
24 Maret 2014
PRESIDEN SBY telah mencanangkan triple track strategy atau progrowth, projob, dan propoor sebagai basis pembangunan
pada awal pemerintahannya tahun 2004. Lalu, untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan (sustainable
economic development), strategi itu ditambah dengan proenvironment.
Pencanangan keempat pilar
strategi pembangunan itu cukup memberikan optimisme bahwa kinerja ekonomi
akan maju dan berdampak pada turunnya angka pengangguran, angka kemiskinan,
sekaligus melestarikan alam.
Kemudian, Presiden SBY dalam
penyampaian RAPBN 2014 dan Nota Keuangan di DPR (16/8) menyebutkan bahwa
pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 5,5 persen per tahun selama
2004-2009 menjadi rata-rata 5,9 persen per tahun pada 2009-2013.
Angka pengangguran turun dari
9,86 persen tahun 2004 menjadi 5,92 persen tahun 2013, angka kemiskinan turun
dari 16,66 persen tahun 2004 menjadi 11,37 persen tahun 2013.
Sayang, kemajuan itu belum
signifikan mengakselerasi kualitas hidup penduduk. Laporan Pembangunan
Manusia oleh Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) menunjukkan bahwa
peringkat HDI Indonesia masih di posisi 108 dari 177 negara tahun 2004, turun
ke posisi 121 dari 186 negara tahun 2013.
Komitmen parsial
Rendahnya pencapaian pembangunan
manusia itu antara lain akibat komitmen pembangunan masih bersifat parsial.
Triple
track strategy dari sisi pembangunan manusia secara umum baru
menyentuh satu dimensi, yakni peningkatan daya beli, dan tidak bersentuhan
langsung dengan dua dimensi lainnya: pendidikan dan kesehatan.
Secara faktual, hal itu juga bisa
dimaknai bahwa triple track strategy masih berorientasi pada peningkatan
kualitas penduduk sebagai obyek pembangunan, dan belum berorientasi pada
peningkatan kualitas penduduk sebagai subyek pembangunan.
Untuk meningkatkan kualitas
penduduk sebagai subyek pembangunan, perlu pencanangan pembangunan yang
berorientasi pada kapabilitas penduduk, yaitu pendidikan dan kesehatan
atauproeducation dan prohealth.
Memang pemerintah telah berupaya
memajukan pendidikan dan kesehatan, tetapi pencananganproeducation dan
prohealth penting sebagai wujud dari komitmen politik dalam pelaksanaan
pembangunan pendidikan dan kesehatan.
Boleh jadi, dampak tidak adanya
pencanangan proeducation dan prohealth adalah lemahnya komitmen politik,
terutama di level pemerintahan daerah.
Kapabilitas rendah
Akibatnya, penduduk Indonesia
memiliki kapabilitas rendah. Berdasarkan Laporan UNDP (2013), diketahui bahwa
rata-rata lama sekolah (mean years
schooling/MYS) hanya sebesar 5,8 tahun, setara dengan sekolah dasar.
Capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN.
Rata-rata lama sekolah di
Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6
tahun, dan Thailand 6,6 tahun.
Selain pendidikan, capaian
derajat kesehatan di Tanah Air juga rendah. Hal ini termanifestasi dari rendahnya
angka umur harapan hidup penduduk Indonesia yang hanya 69,8 tahun. Bandingkan
dengan Singapura 81,2 tahun, Brunei 78,1 tahun, Vietnam 75,4 tahun, Malaysia
74,5 tahun, dan Thailand 74,3 tahun (UNDP, 2013).
Bahkan, dibandingkan dengan
pencapaian pendidikan dan kesehatan pada tataran global, Indonesia masih
tertinggal. Tercatat, pada tingkat global, rata-rata lama sekolah sebesar 7,5
tahun, dan angka harapan hidup sebesar 70,1 tahun (UNDP, 2013).
Pandangan keliru
Lemahnya komitmen pembangunan
manusia, khususnya pada dimensi pendidikan dan kesehatan, boleh jadi karena
adanya pandangan bahwa dengan dilaksanakannya triple track strategy akan sekaligus dapat memajukan pendidikan
dan kesehatan.
Dalam kenyataannya, meskipun
ekonomi tumbuh, serta angka pengangguran dan kemiskinan turun, pencapaian
derajat pendidikan dan kesehatan belum berjalan seiring.
Lebih jauh, lemahnya komitmen
pembangunan manusia berdasarkan laporan UNDP (1995), antara lain, disebabkan
oleh kekeliruan pandangan penyelenggara pemerintahan di banyak negara.
Pertama, pembangunan manusia
kerap disalahtafsirkan bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi (anti growth). Padahal, pembangunan manusia
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup dapat
memacu pertumbuhan ekonomi.
Kedua, pembangunan manusia kerap
disalahtafsirkan akan meningkat dengan sendirinya seiring pertumbuhan
ekonomi.
Kenyataannya, hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak selalu linier, tergantung
kemampuan pemerintah menerjemahkan pembangunan ekonomi ke dalam pembangunan
manusia.
Ketiga, pembangunan manusia
sering disalahartikan sebagai pembangunan sektoral. Ini terkait dengan
dimensi-dimensi yang mendasari pembangunan manusia, yaitu pendidikan,
kesehatan, dan daya beli.
Kekeliruan terjadi, misalnya,
untuk meningkatkan derajat kesehatan kerap diartikan sebagai tanggung jawab
Kementerian Kesehatan semata.
Keempat, pembangunan manusia
disalahtafsirkan hanya untuk daerah tertinggal. Pemahaman seperti itu jelas
keliru karena pembangunan manusia ditujukan bagi semua daerah karena
pembangunan manusia merupakan upaya memperluas pilihan hidup (enlarging the people’s choices) yang
sifatnya tak berhingga (infinity).
Kekeliruan pandangan itu memicu
kekeliruan dalam menyusun rancangan pembangunan manusia.
Meningkatkan angka rata-rata
lama sekolah, misalnya, hanya dengan membangun infrastruktur pendidikan,
seperti gedung sekolah dan kelengkapannya. Padahal, anak-anak bisa bersekolah
dan melanjutkan pendidikan apabila ekonomi keluarga mendukung. Tidak sedikit
anak-anak yang tidak bisa bersekolah (lagi) karena tenaga mereka diperlukan
untuk menambah penghasilan keluarga.
Dengan demikian, sekolah gratis
belum menjamin anak bersekolah dan atas dasar itu diperlukan komitmen yang
tinggi dari pemerintah untuk memajukan kualitas penduduk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar