Kerja
Kotor Penguasa
Bambang Soesatyo ;
Anggota Komisi III DPR, Fraksi Partai Golkar
|
SUARA
MERDEKA, 04 Maret 2014
PENYADAPAN di rumah dinas
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri
memperlihatkan kerja kotor penguasa yang gelisah dan takut secara berlebihan.
Kasus ini menguatkan bukti bahwa satuan-satuan tugas pengamanan negara tidak
fokus pada fungsi menjaga dan menguatkan ketahanan nasional tapi
disalahgunakan untuk mengintai lawan politik penguasa.
Di permukaan, tiap rezim
penguasa memang harus menyajikan program kerja yang baik-baik dengan janji
menyejahterakan rakyat. Program itu dituangkan dalam rencana kerja tahunan
berikut proyeksi anggarannya. Di Indonesia dikenal APBN. Di dalamnya ada puluhan hingga ratusan
rencana proyek pembangunan yang digagas pemda dan kementerian.
Selain pekerjaan yang baik-baik
itu, rezim penguasa juga mempunyai agenda kerja kotor. Satuan kerja yang
merealisasikan agenda kerja kotor itu pun samar-samar dan tak mudah
dideteksi. Lazimnya, anggota satuan kerja ini sangat terlatih. Alokasi dana
untuk membiayai kegiatan mereka pun tak terbatas mengingat kerja utamanya
melayani kemauan dan kehendak penguasa.
Satuan kerja yang merealisasikan
agenda kerja kotor itu dibenarkan menghalalkan segala cara. Selain mencatat
kesalahan atau hal-hal ’’mencurigakan’’ lainnya, satuan kerja itu harus bisa
mencatat perilaku menyimpang lawan-lawan politik penguasa. Kalau kegiatan pengintaian
tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan, mereka akan melakukan
penyadapan.
Andai penyadapan tak juga
membuahkan hasil, aksi berikutnya adalah penyusupan, untuk bisa menjadi orang
dekat atau staf dari figur yang menjadi target pengintaian. Selain mengintai
lawan politik, ada juga satuan kerja yang berfungsi mengurusi bisnis
penguasa. Biasanya bisnis ilegal, dari menyalahgunakan wewenang hingga
meminta konsesi.
Pekerjaan satuan kerja tersebut
makin rumit manakala istri dan anak-anak penguasa ikut-ikutan memanfaatkan
kekuasaan untuk menjalankan bisnis tadi. Anggota satuan kerja itu terpaksa
mendatangi sejumlah kementerian untuk mengemukakan kepentingan penguasa pada
sejumlah proyek. Supaya jabatan para petinggi kementerian tidak digoyang,
mereka tunduk begitu saja pada kepentingan penguasa dan keluarganya.
Praktik seperti itu lazim
terjadi di banyak negara, termasuk di AS sekali pun. Bahkan National Security Agency (NSA) atau
Badan Keamanan Nasional AS punya divisi untuk merealisasikan agenda kerja
kotor. Dari menyadap warga sendiri hingga aktivitas dan pembicaraan kepala
pemerintahan negara lain, termasuk presiden RI. Untuk kepentingan itu, ia
bahkan berkolaborasi dengan Australian
Signals Directorate (ASD).
Menyadap Gubernur DKI Jakarta
dan presiden kelima kita jelas-jelas kegiatan mengintai lawan politik. Siapa
yang paling mungkin dan paling bisa merealisasikan pekerjaan ini? Dalam
konteks dinamika politik terkini, pelaku adalah satuan kerja siluman.
Bagaimana pun, menyadap adalah pekerjaan kotor dan memalukan. Teramat berani
karena pekerjaan itu hanya bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirinya
sangat berkuasa.
Kedua figur yang disadap dikenal
sebagai sosok Pancasilais dan taat konstitusi. Aktivitas politik keduanya pun
sangat terbuka. Peduli rakyat dan tak sedikit pun berniat melancarkan kudeta
atau merongrong wibawa negara maupun pemerintah. Lalu, informasi apa yang
ingin didapat dari kegiatan penyadapan itu?
Merusak Citra
Tampaknya, penguasa ingin
memperoleh informasi receh yang bisa digunakan untuk merusak citra kedua
figur itu. Hanya itu dan tak lebih. Dalam konteks moral, tidakkah itu
tindakan memalukan? Publik tahu bahwa Jokowi adalah salah satu unggulan dalam
persiapan menuju pelaksanaan Pilpres 2014, sementara Megawati adalah sosok
penentu posisi Jokowi dalam pentas politik tahun ini.
Tak hanya Jokowi dan Megawati
yang diintai. Masih ingat penuturan politikus Anas Urbaningrum ketika dia
mengungkap sepak terjang oknum intelijrn yang selalu mengintai kegiatannya?
Dari penuturan itu, publik mendapat gambaran bahwa sejumlah orang yang
berkomunikasi dan beraktivitas bersama Anas, masuk dalam radar pengintaian
dan penyadapan.
Bahkan, sejumlah anggota DPR
yang selama ini vokal dan kritis terhadap pemerintah pun tak luput dari
pengintaian dan penyadapan. Mereka tahu bahwa percakapan via telepon
seluler disadap. Tak jarang, para
pengintai menampakkan kegiatannya hingga di luar pagar rumah dari figur yang
diintai.
Gelisah
dan takut berlebihan sesungguh tak perlu mengingat kritik bukanlah kudeta.
Kekuasaan harus terus dikritik supaya tidak disalahgunakan. Akibatnya, negara
ini begitu sering kecolongan. Masih adanya sel-sel terorisme, kemerebakan
penyelundupan senjata dan narkoba hingga penyadapan oleh kekuatan asing
adalah bukti paling nyata pemerintahan kita saat ini begitu mudah kecolongan.
Kecenderungan itu terjadi karena satuan-satuan pengamanan negara tidak fokus
pada fungsi menjaga dan memperkuat ketahanan nasional. Pemanfaatan teknologi
penyadapan yang dibeli dan didatangkan ke Indonesia tidak diprioritaskan guna
melindungi negara dengan segala kerahasiaannya. Teknologi itu malah digunakan
menyadap lawan-lawan politik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar