Kebudayaan
Bukan Hanya Tari
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 03 Maret 2014
|
Di luar
negeri para staf kedutaan besar kita dan diplomat-diplomat kita sering
menyebut ungkapan ”duta kebudayaan” yang berarti serombongan seniman yang
didatangkan jauh dari negeri kita untuk menyelenggarakan suatu pentas
kesenian.
Kita
tahu yang datang itu bisa seorang dalang dengan rombongannya yang diundang
untuk mementaskan suatu lakon khusus yang dipesan sang duta besar. Bisa juga
serombongan penari atau seorang penari terkemuka yang namanya sudah mendunia.
Kedatangannya sebagai ”duta kebudayaan” jelas bakal mengangkat nama dan
gengsi bangsa kita di mata bangsa-bangsa asing. Kita tahu di negeri kita ada
beratus-ratus jenis atau gaya tari daerah yang masing-masing memiliki pesona
yang khas dan digemari bangsa-bangsa asing.
Sang
duta bisa memilih kelompok seni tari mana saja yang diminta datang. Dunia
sudah tahu tari Jawa, klasik maupun kontemporer, sering ditunjuk mewakili
kelompok-kelompok kesenian lain. Sering pula dipilih tari Bali yang tampak
atau terasa begitu dinamis, meriah, dan menghentak kesadaran para penonton.
Tapi, kita tahu bahwa ”duta kebudayaan” tadi intinya tari. Orang Jawa
menyebutnya ”joget”.
Jika
diringkas apa adanya, kebudayaan itu sinonim dari tari. Tak bisa disangkal
bahwa ada juga yang menyamakannya dengan seni. Kebudayaan itu seni. Tapi,
pada akhirnya, seni di situ artinya tak lain dari apa yang sudah dibahas di
atas; tari. Kebudayaan identik dengan tari.
Pemahaman
seperti ini sudah lumrah. Orang menganggapnya tidak ada cacat celanya.
Pejabat negara, orang yang pernah menempuh pendidikan tinggi, pun memahami
makna kebudayaan sebagai persamaan kata dari tari. Di sini pejabat atau bukan
tidak ada bedanya. Pegawai-pegawainya apalagi. Mereka tak mungkin memiliki
pendapat dan cara pandang lain dari atasan mereka.
Kaum
terpelajar swasta yang notabene bekerja di bidang yang disebut kebudayaan,
wakil suatu lembaga kebudayaan, atau pemimpin tertinggi suatu lembaga yang
omongan dan keputusannya ibaratnya mampu memindah sebuah gunung, atau
mengeringkan lautan, pemahamannya tentang kebudayaan tidak akan pernah lain
selain tari. Pejabat tinggi, di dalam pemerintahan atau swasta, yang salah
pemahamannya atas suatu konsep kebijaksanaannya jelas akan salah.
Makna
kebudayaan berubah menjadi tari ini secara umum, jika ada kesalahan di dalamnya,
kesalahan itu dianggap hanya kecil dan sepele. Itu kesalahan yang tidak
penting. Tidak penting? Kesalahan itu bukan sepele, tapi fatal. Kesalahan
dalam formulasi kebijakannya fatal pula. Akibatakibat yang ditimbulkannya di
lapangan pun tidak kalah fatal.
Sastrawan
dan filosof kita, Sutan Takdir Ali Sjahbana, sejak berpuluh-puluh tahun yang
lalu menganggap kebudayaan kita berada dalam suatu krisis. Banyak penentang
Takdir, yang tak mau menerima argumennya tentang krisis tadi. Bagi HB Jassin,
kita tidak dalam krisis. Ceramah kebudayaan Takdir, di Taman Ismail Maruki,
Cikini, Jakarta, sekitar tahun 1975-an, di mana sastrawan ini menegaskan
kembali kondisi krisis kita dan kita pun krisis di bidang sastra, ditanggapi
dengan serius, dengan berbagai langgam pemikiran yang berbeda.
”Kita
ini rileks saja. Tak usah terlalu serius. Tak perlu krisis-krisis segala,”
kata HB Jassin dalam perjalanan mobil dari Cikini ke Kampus UI Rawamangun,
tempat di mana sore itu Jassin akan mengajar di Fakultas Sastra. Tapi, apakah
hubungan antara pandangan Takdir dengan pemikiran umum yang berkesimpulan
bahwa ketika kita mengalami krisis moneter dulu itu pada hakikatnya kita
berada dalam krisis kebudayaan?
Mengapa
gagasan Takdir mengenai krisis kebudayaan kita tolak kemudian seperti
mendadak dan tiba-tiba saja kita mengakui bahwa kita berada dalam krisis
kebudayaan ketika krisis moneter tersebut? Apakah kita melompat dari suatu
logika ke logika lain yang sama sekali tak berhubungan satu dengan yang lain?
Apakah logika Takdir tak ada hubungan dengan logika umum tentang krisis
tersebut?
Diskusi
demi diskusi, renungan demi renungan, dan obrolan demi obrolan mengenai
krisis dulu itu membuat kita berkesimpulan bahwa yang sedang kita hadapi pada
hakikatnya sebuah krisis kebudayaan. Sebab-sebabnya kita tak pernah menaruh
peduli terhadap perkara kebudayaan. Kita biarkan kebudayaan telantar. Kita
seperti sengaja membunuhnya melalui cara kita memandang persoalan, cara kita
berpikir, cara kita bersikap, dan bertingkah laku dalam hidup sehari-hari.
Hal yang
tak terlalu langsung berhubungan dengan tindakan sehari-hari seperti cara
merumuskan kebijakan di dalam politik dan kebudayaan bahkan tampak jelas kita
tak peduli sama sekali dengan kebudayaan. Takdir memandang bahwa kita berada
dalam krisis karena bahasa kita, ungkapan kebahasaan kita, dan cara kita
berpikir terlalu ruwet, melingkarlingkar, dan tidak tajam, ”to the point”
sebagaimana ungkapan dalam bahasa Inggris yang rasional.
Mungkin
bukan pada urusan ”rasional” dan ”irasional” itu pokok dan pusat persoalan
kita yang membuat kita dirundung krisis. Persoalannya, kita terlalu
menyepelekan makna kebudayaan. Ini menyangkut cara pandang, cara pemaknaan,
dan kapasitas kita menelusur ke persoalan-persoalan lebih mendalam dan lebih
kompleks mengenai kebudayaan tadi. Kita kembali ke persoalan semula, ketika
kebudayaan, perkara yang sangat kompleks, serius, dan mendalam, yang hanya
dimaknai sebagai tari tadi.
Kebudayaan,
sekali lagi, dibikin identik dengan seni dan pengertian seni disamakan dengan
tari. Apa yang serius dan berbahaya di sana? Kalau suatu perusahaan terancam
kemunduran serius karena disiplin karyawan mengendur, tanggung jawab mudah
diabaikan, dan kepedulian maupun sikap terhadap kehidupan bersama dibiarkan
makin jauh dari aspirasi bersama.
Dapatkah
persoalan kompleks dan serius di bidang kebudayaan itu kita sederhanakan
hanya sebagai persoalan tari misalnya. Karyawan sudah lama tak melihat
pertunjukan seni tari di kantor pada saat-saat senggang. Sementara manajemen,
para pimpinan, tak menaruh peduli pada lunturnya seni pertunjukan di kantor?
Persoalan-persoalan kebudayaan yang begitu kompleks di atas sumbernya ada di
berbagai segi yang sudah disebutkan tadi dan tidak ada sama sekali
hubungannya dengan tari.
Apa yang
terjadi kalau kemudian semua pihak menyadari dan bertindak serentak untuk
mengatasinya dengan menggalakkan kembali pertunjukan tari di kantor? Dapatkah
kira-kira disiplin, tanggung jawab, kepedulian, dan sikap terhadap
nilai-nilai kehidupan bersama kita abaikan, kemudian kita melakukan perbaikan
tambal sulam seadanya dengan lebih peduli dan boleh jadi mengutamakan
pertunjukan tari?
Dapatkah tari, seni tari, atau seni panggung itu mengatasi persoalan
krisis yang begitu mendalam dan serius? Ini yang terjadi di masyarakat kita. Apa
yang penting dan fundamental bagi kehidupan bangsa kita ini kita abaikan dan
kita habis-habisan menata panggung tari di atas panggung, hi ha hi hi, dan kita merasa telah
menata kehidupan. Kebudayaan tak bisa disederhanakan menjadi sekadar tari,
hanya tari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar