Kebenaran
dan Politik
Daoed Joesoef ;
Alumnus Université Pluridisciplinaires
Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS,
04 Maret 2014
|
SEMAKIN
mendekati hari pemilihan presiden, semakin ramai warga membicarakan kriteria
pemimpin yang ideal. Dalam diskusi sekelompok pemuda terpelajar, sebagian
tergolong pemilih pertama kali, ada diajukan aneka macam set kualitas
(karakter) pemimpin yang mereka impikan.
Yang
mencolok adalah bahwa pada setiap set tertentu ada ”kejujuran” sebagai
kualitas yang diniscayakan. Ternyata mereka rata-rata sudah muak dengan
perilaku politik para pemimpin kita selama ini yang tidak integer, koruptif,
di semua bagian dari trias-politika. Konsultasi dengan Kamus Besar Bahasa
Indonesia menyimpulkan, ”jujur” dan ”kejujuran” adalah kata lain dari ”benar”
dan ”kebenaran”, jadi dua sisi dari kebajikan yang sama. Bila demikian perlu
dipertanyakan apakah harapan para pemuda tadi bisa terwujud. Sebab, praksis
perpolitikan kita selama ini menunjukkan bahwa ”kebenaran” (truth) dan
”politik” (politics) bukan bagai ”lepat dengan daun”, tetapi mencolok bagai
”minyak dengan air”.
Kebenaran,
walaupun tanpa kekuasaan dan selalu kalah bila langsung berhadapan dengan
kekuatan apa pun yang berkuasa, punya satu kekuatan khas. Berupa apa pun
kombinasi kekuasaan yang berlaku, ia tidak mampu menemukan atau menciptakan
suatu kebenaran yang mumpuni. Tekanan kekuatan dan kekerasan bisa saja
menghancurkan kebenaran, tetapi tidak akan mampu menggantikannya. Ini tidak
hanya berlaku bagi kebenaran faktual yang begitu mencolok, tetapi juga bagi
kebenaran rasional dan kebenaran nurani.
Kebenaran politik
Menanggapi
politik dalam perspektif kebenaran berarti tegak di luar bidang politik.
Posisi di luar bidang politik—di luar komunitas ideologis di mana kita
tergolong dan di luar persekutuan kepentingan bersama—jelas ditandai sebagai
salah satu cara berdiri sendirian. Yang eminen di antara cara-cara
eksistensial ”mengatakan kebenaran” adalah kesendirian sang filosof,
keterasingan para ilmuwan dan intelektual, imparsialitas hakim dan
independensi penemu fakta dan kesaksian reporter; pendek kata, pada umumnya,
sikap dari ”non-konformis”, yang bagai elang, berani terbang sendirian, tidak
takut dilebur pasang setelah dengan sadar memilih hidup di tepi pantai.
Biasanya
kita baru menyadari natur non-politik, bahkan kelihatan bagai anti politik
dari kebenaran, bila terjadi konflik antara keduanya. Kita akan tersentak
karena nurani menantang mulut untuk mengatakan: ”fiat veritas et pereat
mundus”, biarkan kebenaran berlaku walaupun karena itu keseharian dunia
runtuh! Lalu, apakah politik tak punya kebenarannya sendiri? Apa tak ada ”political truth” seperti halnya
dengan ”scientific truth”?! Dewasa
ini, sewaktu ilmu-ilmu sosial melaksanakan panggilannya dengan baik, ”the most modern communicable knowledge”
ini memberitahukan keberadaan kompleksitas dan keniscayaan di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mengenai hal ini, jurnalisme tak
jarang turut membantu pemahaman publik tentang milieu di mana para politikus
beroperasi, berbeda dengan ruang terbuka dari filosofi Newtonian.
Milieu
operasional dari politik lebih mirip lumpur tebal yang melekat di mana Darwin
mengukuhkan kesadaran human tentang yang serba kotor dan jorok ini memerlukan
suatu pemerintahan, bukan dalam artian lembaga kolektif yang kerjanya
”memerintah”, tetapi entitas publik yang mengayomi, melayani, pembersih,
pengatur, pengelola ”polity”. Maka
”kebenaran politik” adalah pemandu warga keluar dari kebuntuan intelektual
dan politis, intellectual and political
cul de sac. Kebenaran ini dimulai dengan pernyataan bahwa pemerintah,
walaupun rakitan manusia, adalah ”alami”. Bagi manusia ia sama alaminya
dengan pakaian dan tempat berteduh (shelter)
karena ia melayani kebutuhan yang serba alami bagi manusia, bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
A
well-governed polity memberikan kepada warganya ”pangan”, ”sandang”, dan
”papan”, melibatkannya dalam suatu jaringan hubungan kebiasaan dan perbuatan
yang diadatkan—yang membentuk disposisinya, mengembangkan apa yang baik bagi
dirinya menekan apa yang buruk.
Keragaman
kapasitas human pada setiap saat di setiap masyarakat, menurut George F Will,
terkondisi secara historis. Berarti, deretan dari bentuk asosiasi politik
yang sesuai juga terkondisi. Filosofi politik ”for all seasons” harus berupa proposisi penting, tetapi umum.
Filosofi politik yang cocok untuk satu polity
partikular harus lebih spesifik, tetapi ada limit sejauh mana politikus atas
nama rakyat boleh menjauhi proposisi umum ketika berusaha membuat bentuk yang
paling memenuhi syarat dari asosiasi politis bagi polity pada umumnya.
Hal ini
perlu disadari mengingat publik dari era reformasi di zaman pasca revolusi
cenderung tidak lagi terikat satu sama lain oleh ”ide”, tetapi oleh
”kepentingan” yang serba primordial materialistik. Dewasa ini atmosfer
politik kelihatan direduksi menjadi sejenis debu intelektual, tersebar ke
segala penjuru, tak mampu mengumpulkan, tak sanggup menyatu-padukan.
Jadi
”politik”, betapapun megah kelihatan dengan ”kebenaran politiknya”, yang
disanjung melangit sebagai ”the art of
solving the impossibles”, mengenal limit, serba terbatas. Ia tidak
meliputi semua tentang eksistensi human di dunia. Ia dibatasi oleh hal-hal
yang tidak dapat diubah manusia begitu saja menurut seleranya. Dan hanya
dengan menghormati batasan-batasannya sendiri, bidang di mana kita bebas
bertindak dan bertransformasi bisa tetap utuh, mempertahankan integritas dan
memenuhi janjinya. Maka yang kita namakan ”kebenaran”, secara konseptual,
adalah apa yang tidak bisa kita ubah. Secara metaforis, ia adalah bumi tempat
kita berpijak dan langit yang membentang di atas kita. Bak kata kearifan
lokal, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung.
Walaupun
begitu bukan berarti ia abadi. Biasanya perkembangan zaman menuntut
perubahannya. Namun, yang mengubahnya bukan politik, melainkan ”Bildung”, sinergi simbiotis antara
kebudayaan dan pendidikan. Walaupun begitu, politik tidak tinggal diam.
Selaku kekuasaan negara yang berlaku, politiklah yang memutuskan wacana Building yang bersangkutan menjadi
satu kebijakan pemerintahan tentang pembelajaran baru di bidang pendidikan
nasional. Adalah Plato yang mula-mula berusaha menanggapi politik dalam
perspektif kebenaran dan tegak di luar bidang politik. Platonisme ini di
zamannya menjadi sangat berpengaruh selaku oposan gigih terhadap ”polis”, yaitu jagat politik dan
pemerintahan negara-kota Yunani Purba. Impian Plato memang tidak terwujud:
akademi yang dibentuknya tidak pernah menjadi ”counter-society”.
Kebenaran intelektual independen
Kebenaran
Platonis itu mengilhami pembentukan lembaga-lembaga universiter. Walaupun
lembaga-lembaga ini tak pernah merebut kekuasaan negeri, amfiteater serta
ruang kuliahnya berkali-kali mengetengahkan kebenaran yang sangat tak
diharapkan oleh sepak terjang politis tertentu yang berambisi tetap berkuasa at all costs. Maka lembaga semacam
ini, seperti juga tempat-tempat pelarian lain dari kebenaran serupa, menjadi
sasaran empuk aneka bahaya yang berasal dari kekuatan/kekuasaan sosial dan
politik.
Peluang
kebenaran untuk hidup di tengah-tengah masyarakat ternyata sangat diperbesar
oleh kebenaran organisasi ilmuwan dan kehadiran intelektual independen, yang
pada asasnya disinterested dalam
sikap dan tindakannya. Orang tidak akan dapat membantah, paling sedikit di
negeri-negeri yang dijalankan secara konstitusional, bahwa bidang politik akhirnya mengakui, meskipun di saat
sedang berkonflik, sungguh berkepentingan akan eksistensi lembaga dan orang
yang tidak dikuasainya dalam hal kebenaran.
Jadi apa yang tidak pernah diimpi-impikan oleh Plato justru terjadi,
yaitu bahwa bidang politik akhirnya mengaku butuh
lembaga dan personalitas eksterior selaku pelawan kekuasaan yang, dengan
begitu, menambah imparsialitas atau kenetralan yang dituntut oleh dispensasi
keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar