Bermakmum
pada Televisi
Abu Su’ud ;
Guru Besar Emeritus Unnes, Guru Besar
IKIP PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 07 Maret 2014
HARIAN
ini edisi Jumat (28/2/14) memuat tulisan menarik mengenai tayangan langsung
shalat Jumat dari Masjid Istiqlal Jakarta oleh TVRI. Saya bukan bermaksud
ingin menanggapi melainkan lebih pada pengayaan wawasan pembaca kendati juga
bukan pendapat baru. Namun tidak ada jeleknya mengingat beberapa hal sebagai
berikut.
Siaran
(tayangan) berasal dari Bahasa Arab: syiar, yang berarti semarak. Siaran atau
broadcasting berarti upaya menyemarakkan kejadian/peristiwa melalui berbagai
media massa. Dengan demikian lebih banyak lagi orang bisa mengikuti berita itu
dan merasa terlibat. Sebelum ada radio, mustahil kita bisa mengikuti atau
mengetahui kejadian secara langsung.
Baru
setelah ada radio dan televisi, kita bisa mengikuti secara langsung suatu
peristiwa/kejadian. Melalui tayangan televisi, yang didukung perkembangan
teknologi, dari rumah pun kita bisa menyaksikan peringatan Maulud Nabi di
Istana Negara, termasuk kegiatan keagamaan yang berlangsung di tempat yang
jauh dari posisi kita.
Pada
malam bulan Ramadan misalnya, kita bisa menyaksikan tayangan langsung tarawih
di sekeliling Kakbah, pelaksanaan umrah (yang terdiri atas tawaf dan sya’i)
di Masjidil Haram atau wukuf di Padang Arafah. Apa kemudaratannya menyiarkan
ritual atau ibadah itu?
Kita
tidak memungkiri kadang ada anggota jamaah sengaja ’’nampang’’ setelah tahu
disorot kamera oleh kru stasiun televisi. Kita bisa melihat di televisi,
ketika ada narasumber diwawancarai wartawan televisi, di latar belakang
kadang ada orang lain ’’ikut nampang’’. Bahkan adakalanya sengaja mendekatkan
wajah ke kamera televisi.
Siaran
televisi bisa bisa berfungsi sebagai tontonan, tuntunan, sekaligus media
pendidikan secara simultan. Aspek tontonan pada siaran kegiatan agama bukan
sesuatu yang menghalangi makna ritual yang terkait. Berbeda dari tayangan
sebuah seremoni kenegaraan misalnya.
Sejak
masa Rasul, dalam tradisi (sunah) ada badal yang bertugas mengulang kembali
(menirukan) dengan keras suara imam shalat dalam membaca takbir, bacaan
i’tidal, ataupun salam. Badal menirukan dengan keras suara imam supaya
seluruh makmum bisa jelas mendengar. Pada masa itu belum ada pengeras suara.
Sekarang,
meski tiap masjid besar dilengkapi pengeras suara, tradisi badal masih
dilaksanakan, bahkan di Masjidil Haram Makkah atau Masjid Nabawi Madinah
sekalipun. Cara itu pun dimaksudkan supaya makmum bisa melaksanakan shalat
sesuai dengan yang dilakukan imam.
Tampaknya
para ulama bersepakat sahnya bermakmum adalah bila posisi makmum bisa secara langsung melihat imam, atau
mendengar jelas suara imam (tanpa pengeras suara) atau dalam posisi siap
menggantikan imam andai sewaktu-waktu imam ’’batal’’ shalatnya. Bagaimana
kalau masjid itu berlantai banyak atau terpisah tembok pemisah?
Monitor Televisi
Pernah
terjadi polemik mengenai sah tidaknya bermakmum di masjid, yang posisi makmum
hanya bisa mengikuti gerakan imam lewat layar monitor televisi. Ada yang
beranggapan shalatnya tetap sah, tapi tidak mendapat pahala berjamaah.
Argumennya, shalat Jumat harus dilakukan berjamaah.
Sebagian
ulama beranggapan shalat Jumat semacam itu sama dengan shalat Jumat
sebagaimana biasanya, namun mutlak harus dilakukan di satu gedung/bangunan.
Pertanyaannya, bolehkah pemirsa tayangan ibadah shalat Jumat atau shalat
tarawih bermakmum pada jamaah yang mereka lihat di televisi? Jamaah yang kita
lihat di televisi berada di lokasi yang berbeda, mungkin sangat jauh dari
kita. Pertanyaan lanjutannya, bolehkah tontonan (shalat di televisi) berubah
fungsi menjadi tuntunan.
Dalam
dunia komunikasi/informasi, kini sebagian masyarakat akrab dengan
teleconference, konferensi jarak jauh, yang bisa membuat jarak, lokasi, dan
waktu tidak lagi menjadi masalah. Dunia hukum pun bisa menerima. Waktu itu,
Juli 2002 mantan presiden BJ Habibie
menjadi saksi persidangan kasus dana nonbujeter Bulog. Sidang berlangsung di
Jakarta, padahal waktu itu Habibie di Jerman. Menkeh dan HAM (waktu itu)
Yusril Ihza Mahendra berpendapat kesaksian model itu berbobot sama dengan
kesaksian tertulis (affidavit)
ataupun keterangan yang diucapkan di bawah sumpah.
Namun,
kita harus memperhatikan satu hal mendasar berkait hukum sah tidaknya
bermakmum. Meskipun bisa terjadi ìtatap mukaî antara imam dan makmum, ada
satu hal yang tak bisa ditawar, yaitu faktor waktu. Shalat adalah ibadah yang
terkait dengan waktu, kitaban mauqutan.
Kapan
saat masuk waktunya shalat sangat bergantung pada letak geografis posisi
seseorang. Ketika pemirsa di Indonesia menyaksikan tayangan shalat Jumat di
Masjidil Haram (masuk waktu zuhur), kita di Indonesia sudah memasuki waktu
asar. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi berpikir boleh tidaknya makmum
melalui televisi pada jamaah shalat Jumat di Masjidil Haram. Kita nikmati
saja tayangan tersebut semata-mata tontonan yang mengandung tuntunan
sekaligus pendidikan. Termasuk penyikapan terhadap tayangan langsung shalat
Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta oleh TVRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar