Sabtu, 08 Maret 2014

Bermakmum pada Televisi

Bermakmum pada Televisi

Abu Su’ud  ;   Guru Besar Emeritus Unnes, Guru Besar IKIP PGRI Semarang
SUARA MERDEKA,  07 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
HARIAN ini edisi Jumat (28/2/14) memuat tulisan menarik mengenai tayangan langsung shalat Jumat dari Masjid Istiqlal Jakarta oleh TVRI. Saya bukan bermaksud ingin menanggapi melainkan lebih pada pengayaan wawasan pembaca kendati juga bukan pendapat baru. Namun tidak ada jeleknya mengingat beberapa hal sebagai berikut.

Siaran (tayangan) berasal dari Bahasa Arab: syiar, yang berarti semarak. Siaran atau broadcasting berarti upaya menyemarakkan kejadian/peristiwa melalui berbagai media massa. Dengan demikian lebih banyak lagi orang bisa mengikuti berita itu dan merasa terlibat. Sebelum ada radio, mustahil kita bisa mengikuti atau mengetahui kejadian secara langsung.

Baru setelah ada radio dan televisi, kita bisa mengikuti secara langsung suatu peristiwa/kejadian. Melalui tayangan televisi, yang didukung perkembangan teknologi, dari rumah pun kita bisa menyaksikan peringatan Maulud Nabi di Istana Negara, termasuk kegiatan keagamaan yang berlangsung di tempat yang jauh dari posisi kita.

Pada malam bulan Ramadan misalnya, kita bisa menyaksikan tayangan langsung tarawih di sekeliling Kakbah, pelaksanaan umrah (yang terdiri atas tawaf dan sya’i) di Masjidil Haram atau wukuf di Padang Arafah. Apa kemudaratannya menyiarkan ritual atau ibadah itu?

Kita tidak memungkiri kadang ada anggota jamaah sengaja ’’nampang’’ setelah tahu disorot kamera oleh kru stasiun televisi. Kita bisa melihat di televisi, ketika ada narasumber diwawancarai wartawan televisi, di latar belakang kadang ada orang lain ’’ikut nampang’’. Bahkan adakalanya sengaja mendekatkan wajah ke kamera televisi.

Siaran televisi bisa bisa berfungsi sebagai tontonan, tuntunan, sekaligus media pendidikan secara simultan. Aspek tontonan pada siaran kegiatan agama bukan sesuatu yang menghalangi makna ritual yang terkait. Berbeda dari tayangan sebuah seremoni kenegaraan misalnya.  

Sejak masa Rasul, dalam tradisi (sunah) ada badal yang bertugas mengulang kembali (menirukan) dengan keras suara imam shalat dalam membaca takbir, bacaan i’tidal, ataupun salam. Badal menirukan dengan keras suara imam supaya seluruh makmum bisa jelas mendengar. Pada masa itu belum ada pengeras suara.

Sekarang, meski tiap masjid besar dilengkapi pengeras suara, tradisi badal masih dilaksanakan, bahkan di Masjidil Haram Makkah atau Masjid Nabawi Madinah sekalipun. Cara itu pun dimaksudkan supaya makmum bisa melaksanakan shalat sesuai dengan yang dilakukan imam.

Tampaknya para ulama bersepakat sahnya bermakmum adalah bila posisi makmum bisa  secara langsung melihat imam, atau mendengar jelas suara imam (tanpa pengeras suara) atau dalam posisi siap menggantikan imam andai sewaktu-waktu imam ’’batal’’ shalatnya. Bagaimana kalau masjid itu berlantai banyak atau terpisah tembok pemisah?

Monitor Televisi

Pernah terjadi polemik mengenai sah tidaknya bermakmum di masjid, yang posisi makmum hanya bisa mengikuti gerakan imam lewat layar monitor televisi. Ada yang beranggapan shalatnya tetap sah, tapi tidak mendapat pahala berjamaah. Argumennya, shalat Jumat harus dilakukan berjamaah.

Sebagian ulama beranggapan shalat Jumat semacam itu sama dengan shalat Jumat sebagaimana biasanya, namun mutlak harus dilakukan di satu gedung/bangunan. Pertanyaannya, bolehkah pemirsa tayangan ibadah shalat Jumat atau shalat tarawih bermakmum pada jamaah yang mereka lihat di televisi? Jamaah yang kita lihat di televisi berada di lokasi yang berbeda, mungkin sangat jauh dari kita. Pertanyaan lanjutannya, bolehkah tontonan (shalat di televisi) berubah fungsi menjadi tuntunan.

Dalam dunia komunikasi/informasi, kini sebagian masyarakat akrab dengan teleconference, konferensi jarak jauh, yang bisa membuat jarak, lokasi, dan waktu tidak lagi menjadi masalah. Dunia hukum pun bisa menerima. Waktu itu, Juli 2002  mantan presiden BJ Habibie menjadi saksi persidangan kasus dana nonbujeter Bulog. Sidang berlangsung di Jakarta, padahal waktu itu Habibie di Jerman. Menkeh dan HAM (waktu itu) Yusril Ihza Mahendra berpendapat kesaksian model itu berbobot sama dengan kesaksian tertulis (affidavit) ataupun keterangan yang diucapkan di bawah sumpah.

Namun, kita harus memperhatikan satu hal mendasar berkait hukum sah tidaknya bermakmum. Meskipun bisa terjadi ìtatap mukaî antara imam dan makmum, ada satu hal yang tak bisa ditawar, yaitu faktor waktu. Shalat adalah ibadah yang terkait dengan waktu, kitaban mauqutan.

Kapan saat masuk waktunya shalat sangat bergantung pada letak geografis posisi seseorang. Ketika pemirsa di Indonesia menyaksikan tayangan shalat Jumat di Masjidil Haram (masuk waktu zuhur), kita di Indonesia sudah memasuki waktu asar. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi berpikir boleh tidaknya makmum melalui televisi pada jamaah shalat Jumat di Masjidil Haram. Kita nikmati saja tayangan tersebut semata-mata tontonan yang mengandung tuntunan sekaligus pendidikan. Termasuk penyikapan terhadap tayangan langsung shalat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta oleh TVRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar