Balada
Ormas Zakat
Arif R Haryono ;
Peneliti, Salah satu pemohon pada uji
materiil UU Zakat
|
REPUBLIKA,
07 Maret 2014
Persyaratan pendirian LAZ dalam
UU Zakat telah memicu diskursus klasik peran masyarakat sipil dalam
pengelolaan filantropi Islam. Meski MK telah mengabulkan sebagian tuntutan
uji materiil, namun menilik kandungan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Zakat bisa jadi tak sedikit yang akan menggerutu membacanya. Patut diingat
adagium "UU yang lemah akan
melahirkan aturan turunan yang lemah pula".
Kelompok masyarakat yang mengajukan
uji materiil atas UU Pengelolaan Zakat melihat ada kelemahan substansial
dalam UU Zakat. Kelemahan perta ma memandatkan kepada BAZNAS em pat kewenangan
pengelolaan zakat, sebagai perencana, pengendali, koordinator pengelolaan zakat
nasional sekaligus operator yang mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat
dan infak sedekah.
Dalam konsep tata kelola yang
baik, pemusatan kewenangan pada BAZNAS serasa memutar kembali memori ketika
begawan politik-pemerintahan era Yunani kuno dan Roma memisahkan kewenangan
di antara lembaga tinggi negara.
Baron de Montesquieu
memopulerkannya dengan istilah trias politica. Muaranya bukanlah ketidakpercayaan
terhadap manajemen pengelolaan lembaga-lembaga negara, namun memastikan adanya
ekuilibrum kewenangan dan proses pengawasan antarlembaga.
MK dalam keputusannya menyatakan
bahwa persoalan kewenangan yang dimandatkan UU Zakat kepada BAZNAS sebagai pilihan
kebijakan hukum (opened legal policy)
dari penyusun UU. Fungsi yang diberikan pun dipandang sebagai salah satu
aspek mendukung pengelolaan zakat yang lebih efektif dan efisien. Thus, tidak
mengganggu dan mengurangi hak warga sedikit pun dalam kegiatan pengelolaan
zakat.
Kini MK sudah mengetuk palu. BAZNAS
pun secara politis telah dibekali kewenangan superbody. Pertanyaannya adakah
masyarakat, baik secara perseorangan maupun komunitas, turut diberikan
keleluasaan laiknya BAZNAS?
Ormas zakat Untuk itu pantas
rasanya kita melongok poin kedua kelemahan UU Zakat yaitu penghambatan ruang
gerak masyarakat untuk turut aktif mengelola dana zakat dengan mensyaratkan
pendirian LAZ, di antaranya, terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas)
Islam dan berbadan hukum. Hal ini akan berimplikasi pada poin ketiga, potensi
kriminalisasi masyarakat yang melakukan kegiatan pengelolaan zakat tanpa izin
pejabat berwenang serta tidak lulus uji syarat UU Zakat.
Pasal keormasan Islam dalam UU
Zakat memang ngeri-ngeri-sedap.
Pemerintah berpandangan pasal 18 ayat (2) bersifat kumulatif di mana, baik
organisasi kemasyarakatan yang sudah berdiri, organisasi berbadan hukum,
perkumpulan pengurus takmir masjid
dan mushala, hingga perseorangan (alim ulama) harus berbentuk ormas Islam sekaligus
berbadan hukum. Kerancuan --jika tak mau disebut sesat-- pikir ini berarti
berasumsi bahwa komunitas masyarakat pada sel-sel terkecilnya mampu mengorganisasi
dirinya hingga mencapai taraf ormas dan badan hukum. Jika tak mampu dan tetap
nekat mengelola zakat, maka "amil ilegal" diancam hukuman pidana
penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 50 juta.
Padahal, secara sosio-historis,
lembaga zakat di Indonesia tidak hanya berbentuk organisasi kemasyarakatan
semata, tapi yayasan dan amil perseorangan seperti ulama di masjid atau pesantren
yang lebih dominan. Bahkan, menurut Azyumardi Azra dalam tulisan "Diskursus Filantropi Islam dan Civil
Society", tradisi filantropi Islam di Indonesia yang mulai tumbuh di
abad 19 di warnai oleh karakteristik swadana, mandiri dari sokongan
pemerintah, dan menjaga jarak dari lingkar kekuasaan (Azra, 2003). Maka, jika memaksa masyarakat menyesuaikan bentuk
komunitasnya menjadi badan hukum serta ormas Islam, tentu tidak sesuai dengan
fakta lapangan dan aspek historis filantropi Islam di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi tidak tutup
mata atas fakta historis dan sosiologis ini. Dalam amar putusannya MK menyatakan
persyaratan UU Zakat yang menyatakan LAZ wajib berbentuk ormas sekaligus
berbadan hukum mengakibatkan ketidakadilan. Keputusan MK tepat dalam pasal
persyaratan ormas Islam dan badan hukum bersifat alternatif, yaitu masyarakat
dipersilakan memilih sesuai kebutuhan dan kemanfaatannya.
Balada
PP Zakat Pasal 57 PP Pengelolaan
Zakat menegaskan pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat
yang ditunjuk oleh menteri setelah memenuhi per syaratan, di antaranya,
terdaftar sebagai organisasi kemasyara katan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial atau lembaga berbadan hukum. Sampai titik ini
PP seperti mematuhi keputusan MK karena bentuk badan hukum bersifat
alternatif.
Kontradiksi muncul memasuki pasal
58 mengenai mekanisme perizinan di mana izin pembentukan LAZ dilakukan dengan
melakukan permohonan tertulis dengan melampirkan, baik surat keterangan
terdaftar sebagai ormas dari Kementerian Dalam Negeri serta surat ke putusan
pengesahan sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 58 telah
berposisi diametral dengan pasal 57 PP Pengelolaan Zakat.
Ormas jika mengacu UU No 17/2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan pada Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa ormas
dapat berbentuk yayasan atau perkumpulan. Pasal 15 ayat (1) dengan tegas
mengatur ormas berbadan hukum otomatis terdaftar setelah mendapat pengesahan
badan hukum. Maka, ketika PP Pengelolaan Zakat mewajibkan LAZ untuk menyertakan
syarat terdaftar sebagai ormas dan badan hukum, tentu telah bertentangan dengan
keputusan MK atas uji materiil UU Zakat serta UU Ormas.
Keputusan MK yang memberi penafsiran
alternatif ketimbang kumulatif atas persyaratan pendirian LAZ merupakan angin
segar bagi masyarakat. Dengan ini masyarakat dapat berpartisipasi aktif
mengelola dana filantropi Islam tersebut sesuai kemampuan dan kebutuhannya
masing-masing, yaitu mengambil bentuk ormas atau yayasan, dan perkumpulan.
Kehadiran PP Pengelolaan Zakat yang bertentangan dengan keputusan MK dan UU
Ormas sangat terbuka peluang untuk diajukan uji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar