Sabtu, 08 Maret 2014

Balada Ormas Zakat

Balada Ormas Zakat

Arif R Haryono  ;   Peneliti, Salah satu pemohon pada uji materiil UU Zakat
REPUBLIKA,  07 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
Persyaratan pendirian LAZ dalam UU Zakat telah memicu diskursus klasik peran masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropi Islam. Meski MK telah mengabulkan sebagian tuntutan uji materiil, namun menilik kandungan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat bisa jadi tak sedikit yang akan menggerutu membacanya. Patut diingat adagium "UU yang lemah akan melahirkan aturan turunan yang lemah pula".

Kelompok masyarakat yang mengajukan uji materiil atas UU Pengelolaan Zakat melihat ada kelemahan substansial dalam UU Zakat. Kelemahan perta ma memandatkan kepada BAZNAS em pat kewenangan pengelolaan zakat, sebagai perencana, pengendali, koordinator pengelolaan zakat nasional sekaligus operator yang mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat dan infak sedekah.

Dalam konsep tata kelola yang baik, pemusatan kewenangan pada BAZNAS serasa memutar kembali memori ketika begawan politik-pemerintahan era Yunani kuno dan Roma memisahkan kewenangan di antara lembaga tinggi negara.

Baron de Montesquieu memopulerkannya dengan istilah trias politica. Muaranya bukanlah ketidakpercayaan terhadap manajemen pengelolaan lembaga-lembaga negara, namun memastikan adanya ekuilibrum kewenangan dan proses pengawasan antarlembaga.

MK dalam keputusannya menyatakan bahwa persoalan kewenangan yang dimandatkan UU Zakat kepada BAZNAS sebagai pilihan kebijakan hukum (opened legal policy) dari penyusun UU. Fungsi yang diberikan pun dipandang sebagai salah satu aspek mendukung pengelolaan zakat yang lebih efektif dan efisien. Thus, tidak mengganggu dan mengurangi hak warga sedikit pun dalam kegiatan pengelolaan zakat.

Kini MK sudah mengetuk palu. BAZNAS pun secara politis telah dibekali kewenangan superbody. Pertanyaannya adakah masyarakat, baik secara perseorangan maupun komunitas, turut diberikan keleluasaan laiknya BAZNAS?

Ormas zakat Untuk itu pantas rasanya kita melongok poin kedua kelemahan UU Zakat yaitu penghambatan ruang gerak masyarakat untuk turut aktif mengelola dana zakat dengan mensyaratkan pendirian LAZ, di antaranya, terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dan berbadan hukum. Hal ini akan berimplikasi pada poin ketiga, potensi kriminalisasi masyarakat yang melakukan kegiatan pengelolaan zakat tanpa izin pejabat berwenang serta tidak lulus uji syarat UU Zakat.

Pasal keormasan Islam dalam UU Zakat memang ngeri-ngeri-sedap. Pemerintah berpandangan pasal 18 ayat (2) bersifat kumulatif di mana, baik organisasi kemasyarakatan yang sudah berdiri, organisasi berbadan hukum, perkumpulan pengurus takmir masjid dan mushala, hingga perseorangan (alim ulama) harus berbentuk ormas Islam sekaligus berbadan hukum. Kerancuan --jika tak mau disebut sesat-- pikir ini berarti berasumsi bahwa komunitas masyarakat pada sel-sel terkecilnya mampu mengorganisasi dirinya hingga mencapai taraf ormas dan badan hukum. Jika tak mampu dan tetap nekat mengelola zakat, maka "amil ilegal" diancam hukuman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 50 juta.

Padahal, secara sosio-historis, lembaga zakat di Indonesia tidak hanya berbentuk organisasi kemasyarakatan semata, tapi yayasan dan amil perseorangan seperti ulama di masjid atau pesantren yang lebih dominan. Bahkan, menurut Azyumardi Azra dalam tulisan "Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society", tradisi filantropi Islam di Indonesia yang mulai tumbuh di abad 19 di warnai oleh karakteristik swadana, mandiri dari sokongan pemerintah, dan menjaga jarak dari lingkar kekuasaan (Azra, 2003). Maka, jika memaksa masyarakat menyesuaikan bentuk komunitasnya menjadi badan hukum serta ormas Islam, tentu tidak sesuai dengan fakta lapangan dan aspek historis filantropi Islam di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi tidak tutup mata atas fakta historis dan sosiologis ini. Dalam amar putusannya MK menyatakan persyaratan UU Zakat yang menyatakan LAZ wajib berbentuk ormas sekaligus berbadan hukum mengakibatkan ketidakadilan. Keputusan MK tepat dalam pasal persyaratan ormas Islam dan badan hukum bersifat alternatif, yaitu masyarakat dipersilakan memilih sesuai kebutuhan dan kemanfaatannya.

Balada

PP Zakat Pasal 57 PP Pengelolaan Zakat menegaskan pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri setelah memenuhi per syaratan, di antaranya, terdaftar sebagai organisasi kemasyara katan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial atau lembaga berbadan hukum. Sampai titik ini PP seperti mematuhi keputusan MK karena bentuk badan hukum bersifat alternatif.

Kontradiksi muncul memasuki pasal 58 mengenai mekanisme perizinan di mana izin pembentukan LAZ dilakukan dengan melakukan permohonan tertulis dengan melampirkan, baik surat keterangan terdaftar sebagai ormas dari Kementerian Dalam Negeri serta surat ke putusan pengesahan sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 58 telah berposisi diametral dengan pasal 57 PP Pengelolaan Zakat.

Ormas jika mengacu UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa ormas dapat berbentuk yayasan atau perkumpulan. Pasal 15 ayat (1) dengan tegas mengatur ormas berbadan hukum otomatis terdaftar setelah mendapat pengesahan badan hukum. Maka, ketika PP Pengelolaan Zakat mewajibkan LAZ untuk menyertakan syarat terdaftar sebagai ormas dan badan hukum, tentu telah bertentangan dengan keputusan MK atas uji materiil UU Zakat serta UU Ormas.

Keputusan MK yang memberi penafsiran alternatif ketimbang kumulatif atas persyaratan pendirian LAZ merupakan angin segar bagi masyarakat. Dengan ini masyarakat dapat berpartisipasi aktif mengelola dana filantropi Islam tersebut sesuai kemampuan dan kebutuhannya masing-masing, yaitu mengambil bentuk ormas atau yayasan, dan perkumpulan. Kehadiran PP Pengelolaan Zakat yang bertentangan dengan keputusan MK dan UU Ormas sangat terbuka peluang untuk diajukan uji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar