|
Paket empat kebijakan ekonomi
diluncurkan pemerintah pada 23 Agustus 2013 untuk menahan peluncuran nilai
tukar rupiah yang berlangsung secara drastis dalam tiga bulan terakhir ini.
Akankah kebijakan ini efektif?
Erosi nilai
tukar rupiah itu memberikan pertanda bahwa resesi ekonomi dunia yang telah
menurunkan, baik permintaan maupun tingkat harga (boom) komoditas primer, telah mengganggu fondasi perekonomian
nasional kita, baik neraca pembayaran luar negeri, penerimaan negara, maupun
penciptaan lapangan kerja.
Krisis ekonomi
dunia dan konflik internal di Timur Tengah mengurangi kiriman tenaga kerja
Indonesia (TKI) ke kampung halamannya. Rencana bank sentral Amerika Serikat
mengurangi pembelian obligasi negaranya telah menurunkan harga obligasi dan
meningkatkan suku bunga di negara itu.
Pada
gilirannya, peningkatan suku bunga di negara tersebut telah menyedot modal
jangka pendek dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang digunakan
untuk membeli surat utang negara (SUN), sertifikat Bank Indonesia (SBI),
ataupun efek-efek yang dijual di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Peluncuran
nilai tukar rupiah itu menjadi semakin rawan karena masyarakat luas sudah mulai
antre menarik depositonya dalam rupiah dan menukarkannya dengan dollar AS. Ini
sudah mirip dengan krisis kepercayaan masyarakat luas yang mendorong bank
rush pada saat krisis ekonomi tahun 1997.
Peluncuran
nilai tukar rupiah yang sangat cepat tersebut terjadi karena gabungan antara
masalah eksternal yang berada di luar kendali pemerintah dan kecerobohannya
sendiri.
Kecerobohan pemerintah
itu tecermin dari cara mengurangi subsidi BBM yang plintat-plintut, kuota impor
daging sapi dan hortikultura, serta korupsi di sektor migas ataupun pengadaan
pemerintah yang mengulangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) Orde
Baru.
Strategi
kebijakan antar-kementerian pun tidak ada koordinasi sehingga membingungkan
rakyat karena ada kalanya saling bertentangan. Boom berupa kenaikan
volume dan tingkat harga bahan mentah ataupun permintaan atas TKI selama 30
tahun terakhir adalah merupakan guncangan eksternal yang positif, yang terjadi
karena tingginya tingkat laju pertumbuhan ekonomi China dan India yang
memerlukan segala jenis bahan mentah untuk kegiatan ekonominya.
Rakyat yang
semakin makmur di kedua negara itu menuntut kualitas makanan yang lebih baik,
termasuk minyak goreng dan ikan dari Indonesia. Sama sekali tidak ada peran
pemerintah di situ. Pemasukan modal asing dan pinjaman luar negeri pun
meningkat karena pemodal asing percaya bahwa Indonesia akan mampu melunasi
utangnya akibat dari boom bahan mentah tersebut.
Karena resesi
ekonomi dunia, termasuk China dan India, dalam dua tahun terakhir, boom tersebut
tiba-tiba terhenti dan menurunkan secara drastis jumlah permintaan ataupun
tingkat harga-harga komoditas primer atau TKI. Juga tidak ada peran pemerintah
di situ.
Kebijakan stabilisasi rupiah
Pemerintah
mempunyai tiga kelompok besar kebijakan makroekonomi untuk mengatasi erosi
penurunan nilai tukar rupiah dewasa ini. Kebijakan tersebut berupa kebijakan
fiskal, moneter, dan deregulasi untuk meningkatkan produktivitas serta daya
saing perekonomian. Kebijakan fiskal berupa kebijakan berutang, menjual aset
negara, perpajakan, serta penetapan tingkat dan struktur anggaran belanja
negara.
Kebijakan
moneter terpenting terdiri dari kebijakan kurs devisa dan tingkat suku bunga.
Tujuan dari kebijakan deregulasi ialah meningkatkan produktivitas serta daya
saing perekonomian di pasar dunia. Dalam kelompok ini juga termasuk kemudahan
perizinan usaha, tata niaga, ataupun persaingan usaha yang dapat menjamin agar
pemegang tender adalah perusahaan yang paling efisien dan bukan yang punya
koneksi ataupun menyogok, seperti kontraktor proyek Hambalang, obat dan
peralatan kesehatan Kementerian Kesehatan, serta pengadaan peralatan oleh
Korlantas ataupun Kernel Oil. BUMN dan BUMD perlu ditata kembali agar mampu
bersaing dengan BUMN Singapura dan Malaysia di pasar global dan bukan merupakan
beban yang menyebabkan kegagalan negara.
Dewasa ini
kemungkinan Indonesia menambah utang adalah terbatas. Walaupun besarnya utang
pemerintah (dewasa ini di bawah 30 persen) masih jauh di bawah ambang batas 60
persen, negara-negara kreditor, seperti AS, Jepang, Eropa, dan Australia, tidak
mungkin lagi dapat memberikan bantuan keuangan karena kesulitan APBN-nya
sendiri.
Bunga penjualan
SUN Indonesia di pasar uang telah menjadi semakin meningkat. Bunga SUN rupiah
jangka waktu 30 tahun sudah naik menjadi 8,75 persen dan SUN dalam dollar AS
menjadi 6,91 persen. Di dalam negeri, kita tidak punya bank tabungan pos yang
kuat ataupun dana pensiun serta perusahaan asuransi yang dapat menyerap SUN dan
SBI serta efek-efek yang dijual di BEI.
Dewasa ini
sekitar 35 persen dari SUN rupiah yang dijual di BEI dibeli pemodal asing
jangka pendek sehingga rawan pada lalu lintas modal jangka pendek tersebut.
Dengan rasio pajak yang rendah (13 persen dari PDB) dan nilai ekspor yang
merosot, investor ragu tentang kemampuan Pemerintah Indonesia melunasi
kewajiban utangnya. Negara dapat melunasi utangnya jika memiliki surplus
anggaran dan cadangan devisa yang memadai.
Kebijakan
pemberian keringanan pajak bersifat jangka menengah dan panjang serta tidak ada
kepastian, pelaku ekonomi akan memanfaatkannya menambah investasi seperti yang
diharapkan. Sementara itu, dampak kebijakan pengeluaran negara memang cepat
dapat dirasakan dan dapat langsung mencapai sasaran yang dituju. Namun,
implementasi pengeluaran negara sangat rawan terhadap korupsi, baik pihak
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, mulai dari tingkat pusat hingga
daerah, dan oleh semua partai termasuk yang tengah berkuasa yang tadinya
menjanjikan penanggulangan korupsi.
Dalam kelompok
kebijakan moneter, devaluasi kurs mata uang memang akan merangsang ekspor kalau
ada permintaan dari pasar dunia dan masih ada kapasitas untuk meningkatkan
produksi.
Penurunan
tingkat suku bunga sangat bergantung pada reaksi dunia usaha. Suku bunga yang
rendah itu sekaligus merangsang konsumsi masyarakat, tetapi kebocoran konsumsi
ini ke luar negeri juga sangat besar, seperti mobil, sepeda motor, telepon
seluler, ataupun buah serta pakaian eks-China.
Perlu diubah
Dalam kelompok
deregulasi, termasuk perbaikan iklim usaha dan menangani kelangkaan
infrastruktur, liberalisasi investasi modal asing dalam sejumlah sektor
perekonomian, termasuk pertambangan dan perbankan yang dewasa ini semakin
dibatasi. Kebijakan moneter dan fiskal tersebut bersama dengan perbaikan iklim
usaha dan mengatasi kelangkaan infrastruktur merupakan bagian dari kebijakan
perubahan strategi pembangunan jangka menengah dan panjang.
Strategi
pembangunan Indonesia memang perlu diubah dari inward looking (berorientasi ke dalam) sekarang ini menjadi outward looking (berorientasi
keluar) untuk menarik investasi modal asing sebanyak mungkin dan menumbuhkan
ekspor industri manufaktur, dimulai dengan produksi suku cadang dan komponen
produksi industri manufaktur. Investasi modal asing tersebut sekaligus
diperlukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan di kampung halaman sendiri
sehingga mengurangi ekspor TKI ke mancanegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar