Selasa, 24 September 2013

Sikap Para Pemimpin yang Adil

Sikap Para Pemimpin yang Adil
Mohamad Sobary  ;    Budayawan
KORAN SINDO, 24 September 2013



Kita mengenal Raja Sulaiman— juga seorang nabi—yang bijak dan adil. Tentang sikap bijak ini Raja Sulaiman kelihatannya menjadi rujukan istimewa. Beliau dikenal sebagai Sulaiman yang bijak. 

Selebihnya beliau memiliki derajat istimewa: menguasai bahasa hewan dan berbicara dengan hewan. Beliau memahami bahasa semut,binatang kecil, tapi juga bahasa binatang yang besar-besar. Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga pemimpin yang sangat adil. Kepada para musuh, orang-orang kafir yang mengancam hidupnya pun beliau bersikap adil, tidak marah, dan tidak mendengki. 

Keadilan merupakan watak istimewa beliau. Dalam salah satu bagian dari kisah beliau disebutkan, pada suatu hari beliau berjalan-jalan di luar pagar kebun orang kaya. Tak ada urusan penting bagi beliau untuk memasuki kebun itu, tapi entah bagaimana, beliau sendiri tak begitu memahaminya, tapi beliau masuk. Di dekat pintu masuk itu terikatlah seekor induk domba liar yang wajahnya tampak bersedih. 

Ketika beliau menengok hewan itu, beliau tahu, ada sesuatu yang hendak disampaikannya pada beliau. Benar. Ketika beliau mendekat, induk domba itu melaporkan bahwa dia tertangkap oleh pemilik pekarangan itu dan kini, seperti dapat dilihat, dia terikat tak berdaya. Padahal dia harus menyusui anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ini sudah mendekati tengah hari, saat mereka minum. 

Rasulullah SAW mengerti apa yang diinginkannya. Beliau bertanya—untuk meyakinkan sikapnya—apakah jika diberi izin kembali sebentar ke hutan untuk menyusui anak-anaknya, dia mau berjanji untuk kembali ke sini, dan hewan itu menjawab: “Saya berjanji.” “Apakah kau bersedia memenuhi janji itu?” “Saya bersedia.” “Kalau pemilik kebun ini memberimu izin menyusui anak-anakmu yang kehausan itu, apakah kau tidak lupa pada janjimu?” “Tidak. Aku tidak akan melupakannya.

” Dengan jaminan Rasulullah sendiri, tuan pemilik kebun itu percaya pada si induk kambing. Pendeknya, dia boleh pergi sebentar. Dia percaya hewan itu tak akan ingkar janji. Memang benar. Dia berlari sekencang- kencangnya menemui anakanaknya, dan memberi mereka minum hingga masing- masing puas. Sesudah itu induk kambing itu kembali. Rasulullah gembira sekali. 

Beliau sayang pada hewan yang baik hati ini. Kepada pemilik kebun itu beliau menanyakan, apakah induk kambing hutan ini boleh dibeli. “Rasulullah. Bagaimana aku bisa bicara mengenai jual beli tentang sesuatu yang menarik hati Rasulullah?” “Bagaimana maksudmu? Aku tidak jelas,” jawab Rasulullah. “Maksudku, jika benar Rasulullah tertarik pada hewan itu, aku siap dan ikhlas mempersembahkan nya pada Rasulullah, tanpa bicara mengenai jual-beli.”

Rasulullah sangat gembira. Tentu saja, dengan terima kasih yang dalam, beliau terima hadiah itu. Adapun kepada si induk kambing itu, beliau berkata dengan nada sangat gembira bahwa dia boleh kembali ke hutan, hidup kembali dengan anak-anaknya seperti semula. Kita seperti terlempar ke dalam dunia dongeng: sebuah dunia di mana apa pun bisa terjadi. Tapi, ini bukan dunia dongeng, melainkan tarikh— sejarah—perjuangan dan kehidupan pribadi Rasulullah. 

Tentu, dengan sendirinya, ada catatan tambahan: Rasulullah itu pemimpin rohani atau pemimpin “langit” yang ditugaskan di bumi. Jangan lupa, tugas beliau itu memimpin kehidupan rohani umat, tapi sekaligus pemimpin politik, kepala negara, kepala pemerintahan yang menampilkan sosok ”good governance” dan sekaligus “clean government” sekitar lima belas abad lampau, yang di sini, sekarang ini, masih kita perdebatkan. Formula “good governance” itu bahkan masih kita rumuskan . 

Betul, di sana-sini sudah kita coba laksanakan sebagai proyek rintisan, proyek percobaan, untuk menjajaki adakah kita memiliki kemampuan yang dibutuhkannya. Alhamdulillah, kita punya. Di sana sini kita memperoleh hasil yang kita inginkan. “Good governance” dan gagasan mengenai “clean government” dua-duanya memerlukan kehadiran sosok pemimpin yang adil. Syukur juga bijaksana. 

Kita, yang sudah agak gembira melihat hasil-hasil rintisan mengenai “good governance” itu, sebagai proyek kebudayaan pada tingkat “grass-root” di masyarakat kita, tiba-tiba, di dalam kehidupan tingkat atas, yang bermain kebijakan dan merumuskan pilihan-pilihan politik, kita dirundung rasa kecewa berkepanjangan. Pemimpin demi pemimpin, pada tingkatan birokrasi yang berbedabeda, di wilayah operasional yang juga dan berbeda-beda, hampir tak ada yang memiliki sifat adil, apalagi yang bijak. 

Konvensi dalam suatu partai politik, untuk memilih pemimpin— katanya—yang adil, bersih, dan demokratis, sesuai tuntutan konstelasi politik internasional maupun kebutuhan lokal” kita sendiri, apakah ini artinya? Kita menjaring calon pemimpin bangsa, dari kalangan putra-putri kita sendiri? Kita percaya pada idiom ini: pemimpin bangsa, dari putra-putri kita sendiri? Kita percaya pada lembaga survei yang selalu bisa menjawab secara instan setiap keperluan politik, dari suatu pihak, termasuk untuk sekadar membangun citra “sontoloyo” yang durhaka, dan memalsu kebenaran ilmiah? 

Kita percaya pada lembaga survei baru, yang gagah berani bicara—di tengah kegusaran kita yang nyata, karena sukarnya menemukan pemimpin yang baik, dan dia tiba-tiba bicara dengan tegas, mengenai “a few good men” yang tingkat “reliability”-nya meragukan, apalagi ketika sosok “a few good men” itu diungkap satu persatu, dan kita tahu mereka semua, kita tahu latar belakang mereka. 

Kalau golongan ilmuwan— lain lagi yang agak palsu, dan hanya pura-pura ilmuwan— juga bohong pada publik demi uang, kepada siapa kita bertanya tentang kebenaran? Dalam situasi memalukan seperti ini, apa mau dikata kalau para pemimpin resmi yang mengendalikan pemerintahan ini juga bohong, korup, dan menodai dasar negara kita dan tujuan kita bernegara? Di mana gagasan mengenai pemimpin yang adil itu kita peroleh? Mungkin kita tak punya pemimpin seperti itu. Kita tak punya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar