Rabu, 25 September 2013

Prioritas Penting Indonesia : Pembenahan Tata Kelola

Prioritas Penting Indonesia : Pembenahan Tata Kelola
S Suryantoro  ;    Mantan Irjen Kementerian ESDM, Mantan Penasihat Ahli Bidang Pengawasan BP Migas, Pengamat dan Praktisi Tata Kelola dan Manajemen Risiko
MEDIA INDONESIA, 24 September 2013


KELEMAHAN tata kelola menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah dalam suatu negara. Kampanye pembenahan tata kelola menuju good governance (GG) telah menjadi komitmen berbagai negara sejak terjadinya krisis ekonomi parah di Asia pada 1998 dan beberapa megaskandal korporasi, termasuk Enron di Amerika Serikat.

Kampanye good governance

Pada 1999 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendirikan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 2004. Di 2006, KNKG menerbitkan Pedoman Good Corporate Governance (GCG) sebagai acuan organisasi korporasi, dan pada 2010 menerbitkan Pedoman Good Public Governance (GPG) sebagai acuan organisasi publik, meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Terbitnya Pedoman GCG ternyata berhasil memperbaiki kinerja GCG korporasi, berdasarkan penilaian beberapa pihak independen. Di lain pihak, tersedianya Pedoman GPG agaknya kurang mampu meningkatkan kinerja GPG karena berbagai kendala, antara lain jumlah lembaga publik sangat banyak, dengan beragam susunan dan kedudukan, dan selain itu, tampaknya belum ada komitmen kuat untuk menerapkan GPG. Kendala itu harus diatasi, mengingat banyak lembaga publik berfungsi sebagai pengawas, pengendali, dan regulator yang berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi lain, yang pada gilirannya menentukan ke berhasilan organisasi secara nasional.

Pemeringkatan di Asia

Pada 2012, sebuah lembaga independen, Asian Corporate Governance Association (ACGA) melakukan penilaian terhadap tata kelola korporasi (corporate governance/CG) dari sejumlah negara Asia. Penilaian dilakukan melalui survei pasar berdasar lima unsur: (1) pedoman dan praktik tata kelola korporasi (corporate governance rules & practices), (2) penegakan aturan (enforcement), (3) politik dan regulasi (political and regulatory), (4) Pedoman Akuntansi Internasional (International Generally Accepted Accounting Principles/ IGAAP), dan (5) budaya tata kelola korporasi (CG culture).

Hasil penilaian semua unsur dirata-ratakan untuk memperoleh skor CG, yang dipakai untuk menentukan peringkat CG. Hasilnya sebagai berikut; Singapura berperingkat teratas dengan skor CG 69, Hong Kong kedua dengan nilai 66, dan Thailand ketiga dengan nilai 58. Selanjutnya, Jepang bernilai CG 55, Malaysia 55, Taiwan 53, India 51, dan Korea Selatan 49. China, Filipina, dan Indonesia berada di peringkat bawah dengan skor 45, 41, dan 37.

Indonesia berperingkat terbawah, dan posisi seperti itu telah terjadi sejak 2007. Tentunya ada beberapa korporasi nasional yang bertata kelola baik. Sayangnya penilaian tidak dilakukan terhadap individu korporasi dan/atau berdasarkan Pedoman GCG, melainkan lebih terkait dengan regulasi, kebijakan publik, iklim politik, dan penegakan aturan/hukum. Dengan kata lain, penilaian meliputi juga kinerja GPG.

Korupsi vs good governance

Banyak faktor yang menghambat kinerja GG, salah satunya korupsi. Secara hipotesis, negara yang tingkat korupsinya rendah akan mempunyai kinerja GG bagus, dan sebaliknya. Pada 2012, lembaga Transparency International menerbitkan daftar peringkat korupsi dari 174 negara. Singapura berperingkat kelima (setelah Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan Swedia), atau tergolong negara bersih korupsi. Tingkat korupsi ditentukan oleh nilai indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI). Semakin besar CPI semakin bagus pering katnya, atau semakin bersih dari korupsi, dan sebaliknya.

Nilai CPI beberapa negara Asia ialah sebagai berikut; Singapura 87, Hong Kong 77, Jepang 74, Taiwan 61, Korea Selatan 56, Malaysia 49, China 39, Thailand 37, India 36, Filipina 34, dan Indonesia 32. Tampak bahwa Indonesia di peringkat terbawah. Data yang diterbitkan Transparency International juga menempatkan Indonesia di peringkat 118 dunia, mengisyaratkan bahwa penyakit korupsi sudah sangat serius.

Perbaikan tata kelola

Perbaikan tata kelola merupakan pekerjaan kompleks yang memerlukan upaya keras, serius, dan menerus. Seperti telah diuraikan di muka, kinerja GCG di Indonesia telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Hal itu tampaknya karena sifat korporasi yang: (1) berorientasi mencari keuntungan, (2) selalu meningkatkan reputasi, dan (3) diawasi intensif oleh pemegang saham. Oleh karena itu, upaya perlu difokuskan untuk perbaikan GPG karena akan menentukan kinerja tata kelola secara nasional.
Dewasa ini telah tersedia sejumlah metoda perbaikan tata kelola. Salah satu yang populer dan diacu oleh banyak negara ialah metode COSO (Committee For Sponsoring Organization Of The Treadway Commision), Amerika Serikat.
Metode itu terdiri dari lima elemen. Pertama, penciptaan lingkungan pengendalian yang memadai, meliputi berbagai aspek termasuk penegakan integritas dan etika. Kedua, penerapan manajemen risiko melalui identifikasi semua risiko organisasi. Ketiga, pengendalian terhadap semua risiko. Keempat, penyelenggaraan sistem informasi dan komunikasi atas semua kegiatan organisasi, dan kelima, evaluasi dan monitoring secara rutin seluruh kegiatan.

Sistem COSO telah diadopsi menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dengan demikian, sebenarnya telah tersedia suatu alat andal dalam penegakan GPG. Masalahnya, PP yang telah berumur lima tahun itu agaknya belum diterapkan secara efektif. Maka, pemerintah perlu melakukan penegakan hukum secara tegas agar PP dapat diefektifkan.

Telah menjadi best practice bahwa pembenahan GG harus dikawal oleh satuan pengawasan internal (internal audit). Oleh karena itu, keberadaan lembaga itu sangat vital, dan pemberdayaannya perlu diprioritaskan. Selain itu, perlu penilaian terhadap pelaksanaan GG secara berkala oleh pihak independen, dan hasilnya diumumkan ke publik.


Jika dibandingkan dengan sejumlah negara Asia lain, Indonesia ternyata berperingkat rendah dalam tata kelola, termasuk isu korupsi. Informasi itu selayaknya membangkitkan semangat untuk membenahi diri. Pembenahan dipastikan akan mencakup berbagai aspek yang kompleks sehingga diperlukan upaya serius dan sistematis untuk mengatasi tantangan sulit ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar