Senin, 09 September 2013

Menyikapi Tragedi “DL”

Menyikapi Tragedi “DL”
Reza Indragiri Amriel ;   Alumnus Psikologi Forensik the University of Melbourne, Penerima Penghargaan MA sebagai Penulis Terbaik Naskah Anak dan Hukum
KORAN SINDO, 09 September 2013



Seorang bocah, sebut saja DL, dalam sekejap membuat enam orang kehilangan nyawa dan sembilan lainnya menjalani perawatan serius di rumah sakit. 

Itu akibat kendaraan roda empat yang DL kemudikan mengalami kecelakaan maut di salah satu ruas tol Jakarta. Masalah paling pertama yang harus dipastikan adalah apakah DL mempunyai surat izin mengemudi (SIM). Semestinya belum, karena usianya belum memenuhi syarat kepemilikan SIM. Jadi, Polri patut mengecek ulang bagaimana mungkin anak usia pubertas tersebut diberikan izin resmi untuk mengemudi.

Betapapun DL bertubuh bongsor, pelacakan terhadap umurnya bisa dilakukan dengan memeriksa dokumen atau surat kependudukan yang menjadi kelengkapan administratif pembuatan SIM. Seandainya surat kependudukan tersebut juga bodong, maka bisa dipahami bahwa berawal dari kasus kecelakaan lalu lintas, terungkap berbagai penyelewengan pengurusan dokumen kependudukan di Jakarta. Pada kenyataannya, terlepas apakah DL mempunyai SIM ataupun tidak, mengingat ia masih termasuk dalam kelompok usia kanak-kanak maka sorotan terhadap pengasuhan yang DL terima tidak akan terhindarkan. 

Dalam konteks itu, peran orang tua DL merupakan ihwal mutlak yang wajib disinggung. Karena orang tua DL bercerai dan DL sehari-hari tinggal bersama ayahnya (AD), maka pengasuhan ayah itulah yang mendapat penekanan ekstra. Dengan jumlah korban sedemikian besar, mudah bagi publik untuk serta-merta menganggap DL sebagai pelaku pidana berupa—misalnya—keteledoran yang mengakibatkan orang lain mengalami cedera bahkan kehilangan nyawa. Tetapi karena DL baru berumur tiga belas tahun, masalah pertanggungjawaban hukum menjadi tidak sesederhana yang dibayangkan. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), DL justru bisa terposisikan sebagai anak yang telah mendapat perlakuan salah (Pasal 13 ayat 1). Karena perlakuan salah tersebut ditampilkan oleh orang tua DL sendiri, maka kelak jika orang tua DL dikenai sanksi, ia dikenai pemberatan hukuman (Pasal 13 ayat 2). Terma ”pemberatan hukuman” sendiri lazimnya digandeng dengan hukuman pidana, dengan kisaran penambahan hukuman sepertiga dari hukuman maksimal. 

Atas dasar itu, ihwal pertanggungjawaban pun seolah ”bergeser”, yakni dari DL (anak-anak) ke orang tuanya. Karena hitam di atas putih ibu DL— ME—adalah pemegang hak asuh, maka pada dasarnya dialah yang menjadi pihak utama pemikul tanggung jawab itu. Persoalannya, UUPA tidak memuat satu pasal pun yang secara gamblang dan spesifik memuat ketentuan pidana bagi orang dewasa yang telah secara sengaja mendorong anak melakukan perbuatan melanggar hukum dan/atau pidana, seperti yang dialami DL. 

Jadi, terdapat kompleksitas tersendiri mengenai bagaimana sesungguhnya pemberatan hukuman itu dapat direalisasikan. Sanksi yang masuk akal dan memiliki dasar dalam UUPA untuk dikenakan terhadap orang tua DL adalah pencabutan kuasa asuh. Tetapi kendati ibu DL secara formal merupakan pemegang kuasa asuh, pencabutan kuasa asuh bukan sesuatu yang dapat diimplementasikan. Itu karena justru AD yang memegang kendali faktual atas hak asuh tersebut. 

Dengan asumsi AD dianggap tidak kompeten dalam menjalankan peran pengasuhan yang tercermin dari kelakuan DL, maka pengasuhan yang selama ini AD jalankan dapat dipindahkan ke pihak lain yang dinilai lebih mampu menjalankan pengasuhan secara efektif. Lagi-lagi, terdapat satu isu terkait kuasa asuh tersebut. Secara legal formal, hakim memutuskan bahwa hak pengasuhan diserahkan kepada ME. 

Namun berbagai media mewartakan, ayah DL tidak mematuhi putusan tersebut, sehingga ibu DL tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya selaku pemegang hak asuh anak. Bahkan, juga tersiar kabar, ayah DL telah melakukan pembatasan ketat terhadap DL dan kedua saudaranya untuk dapat secara leluasa berinteraksi dengan ibu mereka. Dengan situasi sedemikian rupa, istilah ”pencabutan maupun pemindahan kuasa asuh” menjadi tidak relevan. 

Bagaimana kuasa itu akan dipindahkan dari AD, ketika resminya menunjukkan bahwa kuasa tersebut tidak berada di tangan AD? Juga apa alasan untuk mencabut kuasa asuh dari ME, karena faktanya ME selama ini dikabarkan telah dihalang-halangi AD sehingga tidak bisa melaksanakan perintah peradilan untuk mengasuh ketiga anaknya? 

Begitulah kerumitan yang hingga saat ini belum disikapi secara lebih cerdas dan lebih sungguh-sungguh lagi oleh lembaga yudisial, khususnya otoritas peradilan agama selaku pemutus hak asuh anak dalam perkara perceraian AD dan ME yang merupakan suami istri muslim. Isu yang sama diperkirakan juga berlangsung di lembaga peradilan umum yang menyidangkan perkara hak asuh anak korban perceraian pada keluarga nonmuslim. Di Indonesia, istilah ”hak asuh” masih diberlakukan sebagai sesuatu yang mencakup keseluruhan sisi pengasuhan anak. 

Di banyak negara, hak asuh (custody) dipilah ke dalam legal custody dan physical custody. Legal custody menyangkut pihak yang bertanggung jawab atas diri anak dari sisi hukum. Pembuatan paspor dan dokumen-dokumen hukum lainnya, misalnya, akan mencantumkan nama pihak pemegang legal custody tersebut. Pada sisi lain, pemegang physical custody adalah pihak yang mengemban peran pengasuhan lebih dominan dalam hidup keseharian anak. Anak akan cenderung lebih sering tinggal bersama penerima physical custody. 

Pengklasifikasian antara legal custody dan physical custody sebenarnya bisa menjadi solusi berimbang sekaligus lebih mendekatkan semua pihak pada upaya merealisasikan kepentingan terbaik anak, ketimbang—sebutlah— putusan tunggal-total yang biasa ditetapkan oleh hakim-hakim di Indonesia. Anggaplah bahwa AD adalah orang tua yang pada kenyataannya menjalankan physical custody, betapapun itu ia lakukan dengan menentang putusan yudisial. 

Dengan demikian, ia—seperti ditulis pada alinea-alinea awal tulisan ini—menjadi pihak yang paling disorot karena tidak becus memerankan diri sebagai orang tua yang saban waktu berdekatan dengan DL. Namun, dalam konstruksi situasi sedemikian rupa, bukankah kritik juga bisa diarahkan kepada ibu DL yang memegang mandat berupa legal custody. Dengan menulis kalimat tersebut, alih-alih memojokkan ibu DL, saya justru mempertanyakan di mana kewibawaan hukum itu sendiri ketika putusan yang dihasilkannya sendiri diabaikan begitu saja. 

Harus ada langkah konkret agar, tanpa maksud memperkeruh keadaan, ME mulai kini dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditetapkan oleh lembaga peradilan. Lebih tegas lagi: akibat kecelakaan yang dialami DL, otoritas terkait harus mengambil langkah selekasnya agar ME dapat mengasuh DL dan dua anak lainnya sebagai ”kompensasi” atas kegagalan AD mengasuh ketiga anak tersebut. 

Dengan membiarkan status quo tetap berlangsung, dapat dinyatakan bahwa lembaga-lembaga terkait tidak terpanggil untuk mencegah kian buruknya keadaan. Kemungkinan situasi berikutnya adalah AD tetap memelihara DL, masalah kuasa asuh (baik legal maupun physical) tidak disangkutpautkan, namun sejak sekarang diberlakukan pengawasan terhadap AD agar lebih tepat dan efektif lagi mengasuh DL beserta saudara-saudaranya. 

Pendekatan-pendekatan di atas merupakan bagian dari perlindungan khusus yang berhak didapat DL selaku anak yang tengah berhadapan dengan hukum (Pasal 59). Bentuk perlindungan khusus lainnya adalah disesuaikan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni diberlakukan diversi yang diharapkan tidak hanya berefek positif bagi lima belas korban kecelakaan, tetapi juga berfaedah bagi DL. 

Seiring dengan itu, pemberian ganti rugi kepada korban dapat dilakukan lebih cepat dan nyata, disertai suasana batiniah yang lebih konstruktif antara korban dan keluarga dengan pihak DL dan orang tuanya. Akhirnya, penting sekali lagi digarisbawahi: meskipun tingkah lakunya berakibat fatal, namun DL tetap seorang anak-anak yang memerlukan penyikapan hukum secara tepat agar ke depannya dapat melalui proses perkembangan diri secara lebih adekuat. Allahu a’lam. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar