Senin, 23 September 2013

Menuju Masyarakat ASEAN

Menuju Masyarakat ASEAN
Videl V Ramos ;   Presiden Filipina periode 1992-1998,
Anggota ASEAN Eminent Persons Group
TEMPO.CO, 23 September 2013


Pada bulan-bulan terakhir ini, Cina saling bersilat lidah dengan Filipina, Vietnam, dan Jepang mengenai klaim teritorialnya yang berlebihan atas Laut Cina Selatan dan Laut Filipina Barat. Konflik ini telah mengganggu keamanan regional, menghambat perencanaan investasi, dan mencetuskan kontes militer yang tidak dinyatakan dengan terang-terangan antara Cina dan penyeimbangnya di kawasan ini, Amerika Serikat.

Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden baru-baru ini dengan jelas mengatakan sumber daya dan perhatian yang dialokasikan Amerika ke kawasan Asia-Pasifik ditujukan terutama untuk meningkatkan keamanan dan stabilitas. Biden menegaskan bahwa AS, "Akan memperkokoh aliansi, melakukan investasi dalam skala yang belum pernah dilakukan sebelumnya dalam lembaga-lembaga regional untuk membantu mengelola sengketa-sengketa yang ada secara damai."

Meningkatnya keterlibatan Amerika di Asia telah meningkatkan upaya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke arah terbentuknya suatu "masyarakat " diplomatik dan ekonomi, serupa dengan Masyarakat Ekonomi Eropa, sebelum terbentuknya Uni Eropa. Masyarakat ASEAN, yang diharapkan para pemimpin ASEAN terbentuk menjelang 2015, bakal menjadi suatu perhimpunan bangsa-bangsa yang terikat oleh kebersamaan komitmen pembangunan yang memandang ke luar, lentur, damai, stabil, dan makmur.

Upaya ASEAN untuk mewujudkan integrasi ini mengikuti tren global ke arah pengelompokan dan kemitraan regional guna mencapai skala ekonomi (economy of scale) serta memperluas pasar sesama anggota. Pada saat yang sama, ia mencerminkan kegalauan yang semakin meningkat akibat postur Cina yang semakin agresif terhadap banyak negara tetangganya.

Cina tampaknya bertekad memberi bentuk baru pada sistem keamanan dan ekonomi internasional yang telah dibangun AS setelah Perang Dunia II dan yang dipimpinnya sejak itu-suatu sistem yang telah lama melindungi sekutu-sekutu Amerika di Asia. Sementara kedigdayaan Cina semakin meningkat, AS berada dalam situasi yang semakin sulit untuk menjaga keseimbangan kekuatan (balance of power) yang menguntungkan kepentingan-kepentingannya. Akibatnya, diperlukan berbagi beban di antara negara-negara di Asia-Pasifik untuk mengkonfrontasi ancaman bersama, seperti terorisme lintas batas, penyakit-penyakit pandemik, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan, serta perdagangan manusia, obat-obat terlarang, dan senjata.

Untungnya, para pemimpin di kawasan ini tampaknya menyadari tren tersebut. Misalnya, belanja pertahanan meningkat, bahkan tanpa dorongan AS. India dan Jepang baru-baru ini telah meluncurkan kapal-kapal perang berukuran besar serta memperdalam kerja sama militer. Filipina telah memperbarui ikatan pertahanannya dengan AS, dan memperdalam ikatan-ikatan yang baru tumbuh dengan Jepang.

Tapi langkah-langkah pragmatis ini jangan dipandang sebagai bukti Asia berada di tepi jurang konflik. Kendati mereka khawatir akan terjadi eskalasi militer di Laut Cina Selatan, warga Asia Tenggara tetap optimistis suatu penyelesaian damai dan diplomatik akan tercapai dan Cina akan memenuhi komitmen dibuatnya kode etik (code of conduct) dalam mengatur kegiatan-kegiatan di kawasan pedalaman ASEAN ini. Adanya kecenderungan yang tampak di antara para pemimpin baru Cina untuk bekerja di dalam sistem berbasis aturan internasional memperkuat harapan tersebut.

Lagi pula, upaya ASEAN ke arah integrasi lebih lanjut ini bukan semata-mata berakar pada kekhawatiran yang diasosiasikan dengan bangkitnya Cina sebagai kekuatan regional dan global. Ancaman yang telah lama ada terhadap stabilitas internal-termasuk ketidaksetaraan ekonomi yang dalam, konflik etnis dan agama, serta tuntutan otonom wilayah-tetap merupakan persoalan yang akut. Tapi sama halnya dengan kekayaan yang tercipta dengan integrasi Eropa yang membantu mendamaikan perbedaan-perbedaan historis, seperti yang pernah mengguncang Irlandia Utara, begitu pula suatu masyarakat ekonomi yang murni di Asia Tenggara bisa membawakan dinamisme yang diperlukan untuk menangani dengan efektif sengketa-sengketa yang sudah berurat akar itu.

Indonesia-negara terbesar di antara sepuluh negara anggota ASEAN dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa-telah meletakkan persoalan keamanan pada jalur menuju Masyarakat ASEAN. Indonesia juga telah mengusulkan pembentukan ASEAN Peacekeeping Centers Network serta Regional Peacekeeping Force-lembaga-lembaga yang mendesak dibutuhkan kawasan ini dan yang, kendati sulitnya membentuk kerja sama keamanan multilateral, sebenarnya mampu dibentuk ASEAN.

Tapi keberhasilan bergantung pada apakah negara-negara ASEAN melaksanakan reformasi-reformasi yang krusial. Untuk merangsang pertumbuhan PDB, mendorong terbentuknya perusahaan-perusahaan yang kompetitif dan dinamis, memperlancar arus perdagangan yang lebih luas, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, mereka harus menyingkirkan rintangan-rintangan yang meningkatkan ongkos, menghambat persaingan, dan menghalangi investasi baru.

Dalam seluruh proses ini, para pemain ASEAN harus ingat pelajaran yang krusial dalam pembentukan Uni Eropa: kesepakatan-kesepakatan tingkat tinggi yang tidak mendapat persetujuan dari warga awam tidak efektif dan tidak berlangsung lama. Warga-pemangku kepentingan ASEAN yang penting-harus memandang misi yang diemban ASEAN sebagai misi mereka sendiri. Maka itu, untuk membangun dukungan publik bagi terbentuknya Masyarakat ASEAN, para pengambil keputusan harus memastikan bahwa ia akan meningkatkan kehidupan rakyat dengan mengadakan sistem layanan kesehatan yang lebih efektif, pendidikan yang lebih baik, dan akses yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan upah yang lebih tinggi.

Para pemimpin ASEAN harus membangun lembaga-lembaga yang langgeng yang mewakili, baik kepentingan tertentu masing-masing negara anggota maupun kepentingan masyarakat yang lebih besar secara keseluruhan. Saat ini ASEAN belum punya mekanisme untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam situasi krisis, atau lebih penting, guna memastikan dipatuhinya kepuasan yang telah diambil secara kolektif-suatu kekurangan yang ditunjukkan oleh sengketa mengenai kode etik yang diusulkan untuk Laut Cina Selatan. 

Sekretariat ASEAN, misalnya, tidak punya wewenang dan sumber daya untuk melakukan fungsi-fungsi yang krusial-termasuk merumuskan kebijakan, mengkoordinasi pelaksanaan, memantau kepatuhan, dan menyelesaikan sengketa. Akibatnya, ASEAN, seperti dikatakan dalam studi McKinsey, dengan efektif "memberi hak veto bagi setiap negara yang menentang integrasi ekonomi regional".

Sedangkan upaya AS untuk mengingatkan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik disambut baik, tapi ia tidak memadai untuk mengimbangi ketidakpastian strategi dan ekonom yang semakin meningkat. Hanya dengan membangun suatu masyarakat yang dinamis bersatu, para memimpin ASEAN bisa membangun masa depan yang lebih makmur, stabil, dan berkesinambungan bagi warganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar