Kamis, 12 September 2013

Langkah Mati Obama

Langkah Mati Obama
Hasibullah Satrawi  ;    Hasibullah Satrawi Pengamat Politik Timur Tengah
dan Dunia Islam
MEDIA INDONESIA, 11 September 2013


BARACK Obama peragu. Amerika Serikat (AS) tidak mempunyai bukti yang kuat tentang penggunaan senjata kimia oleh rezim Suriah. Demikian kurang lebih salah satu pernyataan sebagian elite rezim Suriah beberapa waktu lalu, terkait dengan rencana atau spekulasi intervensi militer AS terhadap Suriah.

Hingga hari ini, sikap Gedung Putih (lebih tepatnya sikap Obama) justru membenarkan dan mengonfirmasi pandangan sebagian elite pemerintahan Bashar al-Assad tersebut. Betapa tidak! Pada awalnya Obama menetapkan sendiri `garis merah internasional' (al-khattul al-ahmar ad-dawliy) terkait dengan intervensi militer dalam krisis politik di Suriah. Hal itu dilakukan setelah Gedung Putih mendapatkan tekanan demi tekanan untuk turun tangan langsung dalam upaya menghadapi kebrutalan rezim Bashar al-Assad yang diduga telah membunuh lebih dari 100 ribu rakyat Suriah.

Kini Obama sendiri kerap menegaskan bahwa Suriah telah terbukti menggunakan senjata kimia. Bahkan Gedung Putih menegaskan mempunyai bukti yang kuat terkait dengan penggunaan senjata kimia oleh rezim Bashar al-Assad.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak pihak (khususnya para pengamat) menduga bahwa Obama akan segera melakukan intervensi militer di Suriah. Alih-alih, Obama justru me minta persetujuan Senat AS untuk mewujudkan intervensi militer di Suriah. Walaupun secara konstitusional, Obama sebagai Presiden AS sesungguhnya mempunyai hak untuk menggunakan opsi militer dalam menghadapi konflik tertentu, khususnya apabila konflik tersebut dianggap dapat mengancam keamanan nasional `Negeri Paman Sam' atau mengancam masyarakat dunia.

Dalam perkembangan terkini, Obama justru menegaskan akan mempertimbangkan (walaupun penuh dengan keraguan) inisiatif dari Rusia yang mendapatkan dukungan dari rezim Bashar al-Assad. Yaitu penyerahan senjata kimia yang dimiliki rezim Bashar al-Assad kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk dimusnahkan secara aman.

Bukan tokoh perang dan perdamaian

Obama tampak bukanlah tokoh ataupun Presiden AS yang gemar berperang. Dia berbeda dengan pendahulunya, Presiden Bush Junior dan Senior yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai presiden doyan perang, seperti dalam perang Irak dan perang Afghanistan.

Bahkan dalam perang Irak, Bush Junior kerap menggunakan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal rezim Saddam Husein sebagai pembenaran atas perang yang dilakukan. Walaupun tuduhan tersebut tidak terbukti sampai hari ini.

Hal yang kurang lebih sama juga dilakukan Bush Junior dalam perang Afghanistan. Perang yang diklaim untuk memerangi kelompok teroris itu (khususnya Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden) dilakukan beberapa hari setelah Amerika Serikat menjadi sasaran aksi teror paling besar pada abad ini yang dikenal dengan tragedi 11 September 2001 atau 11/9. Faktanya, hingga hari ini terorisme terus menjadi persoalan dunia. Bahkan Amerika pun kembali men jadi sasaran aksi teror, seperti dalam ledakan bom Boston beberapa waktu lalu.

Walaupun bukan tokoh perang seperti Bush, Obama tidak secara otomatis secara otomatis menjadi tokoh perdamaian. Faktanya, pasukan AS pada pemerintahan Obama bersama dengan negara-negara N ATO lainnya juga turut berperang untuk menumbangkan rezim Khadafi di Libia. Hingga akhirnya presiden nyentrik Libia itu meninggal di dalam gorong-gorong.

Bahkan Obama juga tidak jarang menggunakan nada berbau ancaman untuk menghadapi negara-negara yang kerap berseberangan dengan kepentingan AS, seperti Iran dan Korea Utara. Walaupun sejauh ini, Obama memang tampak enggan menggunakan opsi militer untuk menghadapi negara-negara tersebut.
Obama berbeda dengan Mahatma Gandhi sebagai tokoh perdamaian, walaupun Obama pernah mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. Sementara itu, tokoh yang disebutkan namanya terakhir itu secara konsisten mendahulukan cara dan pernyataan damai jika dibandingkan dengan cara dan pernyataan bernada keras, apalagi ancaman perang.

Presiden bukan

Dari yang telah disebutkan, tak berlebihan bila Obama disebut sebagai tokoh atau presiden `bukan-bukan'. Obama bukan tokoh atau presiden perang, tapi juga bukan presiden atau tokoh perdamaian sebagaimana telah disampaikan di atas.

Dari kacamata ke pentingan AS atau pun citra Obama, kecenderungan kepemimpinan Obama yang `bukan bukan' sebagai mana telah disebutkan sesungguhnya lebih memberikan dampak negatif dari pada positif, baik terhadap Obama secara individu atau pun terhadap Amerika sebagai negara. Bahkan dampak buruk akibat karakter `bukan-bukan' itu jauh lebih besar daripada dampak buruk dari tokoh ataupun presiden perang sekalipun.

Sebagai tokoh perang, Bush tentu banyak punya musuh di dunia. Hal itu terlihat jelas dari reaksi penolakan masyarakat dunia terhadap Bush pascaserangan AS ke Irak maupun ke Afghanistan. Bahkan dalam salah satu lawatannya ke luar negeri, Bush pernah mendapatkan lemparan sepatu. Semua itu menunjukkan bahwa Bush sangat dibenci banyak pihak akibat kegemarannya berperang.

Namun demikian, Bush tidak kehilangan dukungan dari para pendukungnya yang setuju dengan kebijakan perang yang diambilnya. Bagi para pendukungnya, Bush justru dianggap sebagai pahlawan yang mampu menegakkan wibawa AS di hadapan musuh-musuhnya, atau bahkan masyarakat dunia sekalipun.

Itulah yang terancam hilang dari Obama sekarang. Di satu sisi, Obama acap kehilangan dukungan dari mereka yang lebih suka AS berperang. Namun, di sisi lain, Obama juga acap tidak mendapatkan dukungan dari mereka yang selama ini menjadi musuh-musuh AS (seperti Iran) yang sejatinya menjadi `lumbung tambahan dukungan' bagi Obama. Mengingat musuhmusuh AS tersebut diuntungkan kebijakan politik luar negeri Obama yang lebih mengedepankan pendekatan damai daripada perang.

Alih-alih, yang kerap terjadi justru musuh-musuh AS memanfaatkan kecenderungan `bukan-bukan' Obama. Itulah yang terlihat jelas dari negara seperti Iran yang justru mengembangkan program nuklirnya, khususnya pada pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad. Begitu juga dengan pemerintahan Suriah yang justru lebih sadis membantai rakyatnya sendiri. Bahkan rezim Suriah juga berani menggunakan senjata kimia (setidaknya menurut tuduhan AS). Dengan kata lain, kebijakan politik luar negeri AS pada pemerintahan Obama yang dijanjikan akan lebih menekankan pendekatan diplomasi daripada pendekatan perang justru kerap berubah menjadi politik serbatanggung; tidak menyerang, tapi juga tidak merangkul dalam arti yang hakiki. Hingga akhirnya AS acap kehilangan karisma sebagai negara adikuasa di dunia, tapi musuh-musuhnya justru berani ngelunjak.

Krisis politik Suriah termutakhir memperlihatkan dengan jelas runtuhnya karisma AS di mata dunia akibat kepemimpinan Obama yang bercorak `bukan-bukan'. Bahkan dalam situasi seperti sekarang, Obama tak ubahnya orang yang mati langkah dalam permainan; maju `dimakan', mundur pun `dimakan'.
Apabila Obama berkeras melakukan intervensi militer ke Suriah, hampir dipastikan dunia akan mengecam negara adidaya itu, khususnya dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Apalagi Obama terus mengulur-ulur waktu ketidakpastian seperti sekarang. Hal itu sama dengan

Obama mempersilakan kelompok-kelompok antiperang untuk lebih mengorganisasi gerakan mereka.
Sebaliknya, bila mundur dari rencana intervensi militer di Suriah, hal itu akan semakin mencoreng wibawa AS di mata dunia, khususnya di mata musuh-musuhnya seperti Iran, Korea Utara, dan yang lainnya. Bahkan AS terancam kehilangan dukungan dari kelompok ataupun negara sekutunya di Timur Tengah yang selama ini kerap mendesak AS agar segera melakukan campur tangan langsung di Suriah, seperti Turki, Arab Saudi, kelompok revolusi Suriah, dan yang lainnya. Inilah langkah mati Obama. ●  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar