Selasa, 24 September 2013

Harrison Ford dan Tesso Nilo

Harrison Ford dan Tesso Nilo
Rokhmin Dahuri  ;    Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) 
KORAN SINDO, 24 September 2013



Ketika melakukan syuting untuk film dokumenter, Years of Living Dangerously, di Taman Nasional (TN) Tesso Nilo, Riau, Minggu (7/9) lalu, Harrison Ford—bintang Indiana Jones—merasa sangat kecewa. 

Kondisi Tesso Nilo tampak rusak. Apalagi beberapa waktu sebelumnya hutan di Tesso Nilo juga terbakar. Ketika berada di Jakarta untuk wawancara dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Senin (9/9), Ford pun menumpahkan kekesalannya. Kenapa Ford kesal? Karena pemerintah tidak bisa mengatasi kerusakan hutan. Di depan Ford, Menhut menyatakan pemerintah di Era Reformasi tidak bisa menangkap dan menghukum perusak hutan begitu saja. 

Masalahnya sangat kompleks karena itu solusinya harus bertahap dan harus dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan. Mendapat jawaban tersebut, Ford sewot. Bagi Indiana Jones, perusak hutan harus ditangkap dan dihukum. Jika tidak, hutan makin rusak dan suhu bumi makin panas. Ford memberi contoh di Amerika! Penegakan hukum bagi perusak hutan, jelas. Yang salah ditangkap dan dipenjara. 

Konon, menurut berita yang beredar di internet, kemarahan Ford sangat ekstrem. Dia marah-marah kepada Menhut, bahkan naik kursi di ruang menteri dengan akting seakan-akan dia lebih tahu masalah hutan di Indonesia ketimbang orang nomor satu di Kemenhut itu. Akibat berita tersebut, Menhut pun dipanggil Presiden SBY. Sebabnya jelas, jika berita itu benar dan tersiar ke seluruh dunia, Indonesia akan jadi sorotan. Selebritas sekaliber Harrison Ford, komentar dan kata-katanya, akan banyak dikutip oleh media massa asing. 

SBY pun kemudian perlu meluruskan berita itu setelah bertemu Ford selepas pertemuannya dengan Menhut. Apa yang menjadi keprihatinan Ford sebenarnya menjadi keprihatinan kita semua. Betapa tidak—bukan rahasia umum lagi––hutandiIndonesia kondisinya amat memprihatinkan. Tiap tahun jutaan hektare hutan rusak. Dampaknya, banjir dan longsor setiap saat mengancam berbagai wilayah di Indonesia. Tidak hanya di Jawa, tapi juga Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, bahkan Papua. 

Ini artinya, kerusakan hutan nyaris merata. Pemerintah telah berusaha mengatasi kerusakan tersebut dengan berbagai program rehabilitasi dan reboisasi, tapi laju perbaikan dan perusakan hutan tidak seimbang. Perusakan hutan jauh lebih cepat ketimbang perbaikan hutan! Ford misalnya mempersoalkan kondisi Taman Nasional (TN) Tesso Nilo di Riau. Ford bertanya kepada Menhut, kenapa polisi tidak menangkap dan menghukum perusak hutan TN Tesso Nilo? 

Bukankah para perusaknya terlihat sehari-hari? Mungkin yang dimaksud Ford adalah orang-orang yang tinggal di dalam TN Tesso Nilo. Ford tampaknya belum tahu bahwa orang-orang yang kini tinggal di dalam Tesso Nilo adalah warga setempat. Mereka berada di situ jauh sebelum desanya ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. Tesso Nilo termasuk kawasan taman nasional baru. 

Ia baru ditunjuk sebagai taman nasional pada 2002 (Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 10258/ Kpts-II/2002 tanggal 13 Desember 2002 jo No 282/Kpts- II/2003 tanggal 25 Agustus 2003). Luas Taman Nasional Tesso Nilo semula 188.000 hektare. Gubernur kemudian mengusulkan penambahan luas Tesso Nilo menjadi 100.000 hektare berdasarkan Surat No 522. Ekbang/66.30 tanggal 21 November 2007 yang meliputi areal PT Nanjak Makmur, PT Hutani Sola Lestari, dan PT Siak Raya Timber. 

Setelah diperluas menjadi 100.000 hektare, baru timbul masalah karena di lahan perluasan itu sudah terdapat banyak penduduk, terutama dari Suku Melayu Petalangan. Jumlah keseluruhan penduduk yang berada di Tesso Nilo setelah diperluas mencapai 51 keluarga penduduk asli dan 1914 pendatang. Total jumlahnya 5000-an orang (Nyoto Santoso, 2013). Apakah orang sebanyak itu harus ditangkap seperti diminta Ford? Jelas tidak mungkin! Mereka berada di kawasan Tesso Nilo jauh sebelum ia ditunjuk sebagai kawasan taman nasional. 

Karena itu, benar apa yang dikatakan Menhut Zulkifli Hasan, solusinya harus bertahap dan dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan. Tesso Nilo ditujukan untuk konservasi gajah yang habitatnya makin menyempit karena perluasan perkebunan dan pertanian. Dengan taman nasional ini, diharapkan konflik antara gajah dan manusia tidak terjadi lagi. Tapi apa daya, meski Tesso Nilo sudah ada, ternyata konflik tersebut belum usai. Dalam dua bulan terakhir (Agustus– September) ini misalnya dua gajah mati diracun penduduk. 

Bagi kawanan gajah yang home ring-nya luas sekali, tampaknya Tesso Nilo belum cukup. Inilah yang perlu kita pikirkan bersama! Jika di Chiang Mai (Thailand) gajah bisa dibudidayakan untuk pariwisata, kenapa di Riau tidak? Di Lampung memang sudah ada “sekolah gajah” dan hasilnya sangat bagus. Jikakonflikgajahdi Riau tak teratasi, meski habitatnya sudah diperluas, penambahan “sekolah gajah” perlu dipertimbangkan lagi. Gajahadalahhewan lucu, penurut, dan menarik untuk tontonan wisatawan! Di sampingitu, menurut Nyoto Santoso, perlujugadibentukkoridorhutan untuk menghubungkan hutan konservasi yang satu dengan hutan konservasi yang lain. Di sekitar Tesso Nilo terdapat kawasan hutan konservasi yang cukup banyak seperti Suaka Margasatwa Bukit Rimbang, Bukit Baling, Kerumutan, dan Bukit Tiga Puluh. 

Dengan koridor hutan tersebut, home ringgajah makin luas sehingga konflik dengan penduduk setempat makin berkurang. Ford tak hanya mempersoalkan Tesso Nilo! Ia juga mempertanyakan taman nasional di Kalimantan yang kondisinya rusak dan dihuni orang. Lagilagi Ford tampaknya belum memahami bahwa di Indonesia apa yang disebut taman nasional sebetulnya bukanlah kawasan yang tanpa manusia. 

Di sejumlah kawasan taman nasional di dalamnya ada desa, ada penduduk, dan ada berbagai kegiatan manusia. Yang terpenting adalah penduduk di dalam taman nasional ini bisa hidup selaras dengan alam dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari areal hutan secara lestari dan berkelanjutan. Menurut catatan Wikipedia, sampai 2006 ada 50 taman nasional di seluruh Indonesia. 

Pemerintah, kata SBY kepada Ford (10/9) di Jakarta, sangat serius menyelamatkan lingkungan, baik di hutan maupun di lautan. “Indonesia tidak ingin kerja sendiri, kita juga ingin bekerja sama dengan negara lain,” kata SBY kepada Ford! Karena itu, bila ada masalah lingkungan seperti kebakaran hutan, Indonesia pun perlu bantuan negara lain. Penyebab kebakaran hutan seperti pernah terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo macam-macam. 

Bisa karena manusia, juga bisa karena alam yang panas dan kering. Akibat gesekan ranting di musim kemarau yang kering, kebakaran hutan pun bisa terjadi. Bagi Ford, Tesso Nilo memang istimewa. Selama kunjungannya ke Tesso Nilo (7/9), aktor kharismatik berusia 71 tahun itu disambut dengan pengalungan bunga oleh Tesso dan Nela, dua anak gajah anggota patroli gajah “Flying Squad” yang dibina oleh Balai Taman Nasional Tesso Nilo dan World Wildlife Fund (WWF). 

Sambil menundukkan kepala dan merapatkan tangan ke dada seperti memberi hormat, Harrison Ford, yang juga duta untuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengatakan, “Thank you, thank you for this,” saat menerima pengalungan bunga dari dua anak gajah tersebut (WWF, 11 September 2013). Itulah keistimewaan Tesso Nilo bagi Ford sehingga ia mempersoalkan kerusakannya kepada Menhut Zulkifli Hasan dan Presiden SBY!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar