Jumat, 06 September 2013

Bila AS Menyerang Suriah

Bila AS Menyerang Suriah
M Hamdan Basyar ;  Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI 
KORAN SINDO, 06 September 2013



Sebuah lembaga survei, Ipsos, melakukan polling dua kali tentang intervensi Amerika Serikat (AS) terhadap Suriah. Survei pertama dilakukan pada 19–23 Agustus 2013 dan survei kedua pada 26–30 Agustus 2013. 

Semua responden adalah warga AS yang telah berumur 18 tahun ke atas. Mereka diwawancarai secara online. Hasilnya, sebagian besar masyarakat AS tidak setuju bila pemerintahnya melakukan intervensi ke Suriah. Ketika ditanya, “In your opinion, should the United States intervene in Syria or not,” pada survei pertama, 60% menyatakan tidak setuju adanya intervensi AS, yang setuju intervensi hanya 9% dan 31% menjawab tidak tahu. 

Jawaban responden sedikit berubah ketika dikaitkan dengan penggunaan senjata kimia di Suriah. Sebanyak 25% masyarakat AS menyatakan pemerintahan Barack Obama harus melakukan intervensi bila Pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia. Tapi persentase itu masih kalah dibandingkan yang menolak intervensi, yakni 46%. Hasil yang hampir sama juga terlihat pada survei kedua. 

Tampaknya masyarakat AS tidak setuju intervensi militer pemerintahannya ke Suriah. Barangkali bayang-bayang invasi militer AS ke Afghanistan dan Irak masih membekas pada sebagian rakyat AS. Mereka tidak mau lagi menjadi tumbal politik elite AS yang mengumbar nafsu perang. 

Walaupun sebagian rakyat AS menolak intervensi ke Suriah, Presiden Obama terus mencari dukungan atas pilihan tindakannya. Obama mendesak Kongres agar dapat memberikan persetujuan intervensi. Bila akhirnya AS melakukan intervensi ke Suriah, hal itu akan mempunyai dampak keamanan yang cukup besar di Timur Tengah. 

Senjata Kimia Siapa? 

Konflik di Suriah sudah berlangsung lebih dari dua setengah tahun. Korban yang meninggal sudah lebih dari 100.000. Ratusan ribu orang mengungsi ke berbagai negara. Memang, kondisi itu sudah tidak dapat ditoleransi. Semestinya Pemerintah Suriah dan pihak-pihak yang terkait segera melakukan usaha-usaha untuk meredakan ketegangan antarfaksi di sana. 

Kemudian diadakan rekonsiliasi dan perdamaian sehingga tercegah korban sipil berikutnya. Akan tetapi sebelum ditemukan cara berdamai, terjadi penggunaan senjata kimia. Dikabarkan ada penggunaan senjata kimia di Suriah yang telah menewaskan ratusan orang. Kelompok oposisi menuduh Pemerintah Bashar al-Assad menggunakan senjata itu untuk membunuh rakyatnya. Sebaliknya, Pemerintah Suriah menuduh pengguna senjata kimia adalah para pemberontak. 

Pihak oposisi mengklaim mempunyai bukti penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Assad. Koalisi oposisi Suriah yang berpangkalan di Istanbul mengatakan Abdeltawwab Shahrour, kepala komite medis forensik di Aleppo, mempunyai bukti yang dimilikinya atas serangan senjata kimia di Khan al-Assal, Provinsi Aleppo, pada 19 Maret 2013. Serangan itu menewaskan puluhan orang. 

Kemudian ada serangan yang menggunakan senjata kimia lagi di pinggiran Damaskus pada 21 Agustus 2013. Pihak oposisi menyebut jumlah korban ada 1.300 orang. Baik Pemerintah Suriah maupun gerilyawan telah menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka katakan sebagai serangan yang menggunakan senjata kimia. Pemerintahan Assad menolak tuduhan penggunaan senjata itu. 

Dunia internasional ikut mengomentari penggunaan senjata kimia itu. Seorang politikus Inggris George Galloway menyebut senjata kimia itu kemungkinan digunakan Al- Qaida yang mendapat pasokan dari Israel. Dia mengatakan: “Jika telah terjadi penggunaan senjata kimia, itu Al- Qaida yang menggunakan senjata kimia. Siapa yang memberi mereka senjata kimia? Menurut teori saya, Israel memberi mereka senjata kimia.” Galloway menjelaskan dalam sebuah video yang sudah diedit di saluran Iran Press TV seperti dikutip Huffingtonpost. 

Penjelasan Galloway tampaknya sejalan dengan temuan komisi PBB terhadap pelanggaran HAM di Suriah. Anggota Komisi Independen Penyelidikan PBB, Carla del Ponte, mengatakan bahwa staf medis mengumpulkan data-data dari kesaksian para korban dan bukti di lapangan yang menunjukkan bahwa senjata kimia jenis sarin digunakan pejuang oposisi. 

Del Ponte mengatakan: “Penyelidik kami telah mewawancarai korban, dokter rumah sakit, dan terjun langsung ke lapangan. Sebuah bukti tak terbantahkan dari penggunaan gas sarin. Senjata ini digunakan oleh oposisi, bukan oleh otoritas pemerintah.” Dia menjelaskan hal itu dalam wawancara di televisi Swiss-Italia. Memang, penggunaan senjata kimia terhadap rakyat tidak dapat dibenarkan. Siapa pun yang menggunakan senjata mematikan itu harus diberi hukuman yang setimpal. 

Intervensi AS 

Penggunaan senjata kimia di Suriah itu akan dijadikan alasan intervensi militer AS. Bila jelas terbukti penguasa Suriah menggunakan senjata itu, dengan leluasa Obama akan menyerang kekuasaan Bashar al- Assad sampai turun dari singgasananya. Tapi, bila ternyata tidak terbukti Assad menggunakan senjata kimia, Obama tetap akan menggunakan caranya untuk menggusur kekuasaan Assad di Suriah. 

Tampaknya skenario Suriah ini mirip dengan penggulingan Saddam Hussein di Irak. Pada waktu itu, AS melumpuhkan kekuatan Irak dimulai dari kekacauan-kekacauan internal, politik adu domba, dukungan terhadap oposisi, pelemahan dengan sanksi-sanksi ekonomi, dan berujung pada serangan militer ketika semua lini di dalam negeri Irak sudah mengalami pembusukan. 

AS memulai intervensi lewat tuduhan penggunaan senjata pemusnah massal oleh Saddam Hussein. Opini dunia internasional digiring untuk memusuhi pemimpin Irak itu karena menggunakan senjata pemusnah massal. Akhirnya, Presiden AS waktu itu, George W Bush, memperoleh legitimasi internasional untuk intervensi ke Irak. Tapi sampai saat ini, setelah 10 tahun, senjata pemusnah massal di Irak tidak pernah ditemukan. Membaca sejarah intervensi AS itu, serangan ke Suriah pun agaknya hanya untuk menjatuhkan kekuasaan Bashar al- Assad. 

Strategi di Irak diulang. Setelah politik adu domba dan dukungan terhadap oposisi, kini AS mendorong pengucilan Assad dengan senjata kimia. PBB sibuk melakukan pembuktian penggunaan senjata kimia. Adapun Presiden Obama sibuk mencari dukungan dari Kongres sebelum melakukan intervensi. 

Bila ternyata PBB menemukan bukti bahwa senjata kimia digunakan rezim Assad, itu akan dijadikan alat tambahan untuk mendongkel penguasa Suriah tersebut. Tapi bila PBB tidak menemukan bukti, tampaknya Obama tetap akan melakukan intervensi militer setelah mendapat persetujuan dari Kongres AS. Bagi Obama, dukungan Kongres lebih penting dibandingkan keputusan PBB. Olehkarenaitu, diaakan terus melaju meski tanpa dukungan PBB. 

Keamanan Regional Timteng 

Bila intervensi militer AS ke Suriah itu tanpa dukungan PBB, Rusia akan merespons dengan mendukung Bashar al-Assad. Rusia dan China pernah memveto resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang ingin melengserkan Bashar al-Assad dari puncak kekuasaan di Suriah, 4 Februari 2012. Waktu itu, selain dua negara pemegang hak veto tersebut, 13 anggota DK PBB memberi suara yang mendukung resolusi itu. 

Dalam resolusi yang dirancang Liga Arab itu disebutkan agar Bashar al-Assad menyerahkan kekuasaan kepada seorang wakilnya, kemudian ada penarikan tentara dari berbagai kota dan selanjutnya peralihan ke sistem demokrasi. Dukungan Rusia terhadap Bashar al-Assad itu akan menyeimbangkan kekuatan melawan AS. Menurut pihak Rusia, tindakan intervensi militer AS di Suriah, tanpa persetujuan dari PBB, hanya akan mengancam usaha perdamaian dan berdampak buruk bagi situasi keamanan di Timur Tengah (Timteng). 

Rusia juga menganggap ada kesamaan antara laporan penggunaan senjata kimia oleh pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad dengan tuduhan penggunaan senjata pemusnah massal oleh pemimpin Irak Saddam Hussein sebelum invasi militer AS ke Irak, Maret 2003. Sebagian masyarakat Suriah akan menganggap kedatangan pasukan militer adalah bentuk penjajahan di negara mereka. 

Mereka memandang intervensi militer akan membawa dampak serius bagi stabilitas dalam negeri dan kawasan karena dipandang sebagai kepanjangan tangan negara-negara Barat yang memang memiliki banyak kepentingan di Suriah. Keberadaan pasukan Barat di negeri yang berdekatan dengan Iran itu akan terus menimbulkan guncangan di kawasan tersebut. 

Negeri kaum mulah itu tidak akan tinggal diam. Teheran akan membantu kekuatan Bashar al- Assad. Kemungkinan besar Hizbullah di Lebanon juga akan ikut mendukung Assad. Sementara itu, negara-negara Liga Arab akan membantu kekuatan oposisi Suriah. Turki juga ikut menyokong kaum oposisi. Akibatnya, keamanan regional Timur Tengah jelas terancam. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar