Selasa, 17 September 2013

Bapak Bangsa

Bapak Bangsa
Sukardi Rinakit  ;  Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
KOMPAS, 17 September 2013


Saat ini saya sedang sibuk menjadi Panitia Seleksi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Di kampus ini banyak dosen mumpuni, baik secara keilmuan maupun manajerial, sehingga saya dihinggapi keyakinan Plato, seperti filsuf, siapa pun dosen yang diusulkan departemen atau atas inisiatif pribadi terpanggil untuk memimpin, ketika terpilih nanti, ia akan menjadi pemimpin yang diselimuti virtue (kebajikan). Dengan demikian, kemajuan dan kehormatan fakultas dan universitas selalu terjaga.

Dalam situasi seperti itu, saya justru sering termangu-mangu. Jika seorang dekan saja layak mendapatkan penghormatan tinggi apabila dia berhasil membangun intelektualitas para mahasiswa dan kemajuan fakultasnya, lalu bagaimana kita menempatkan Bung Karno dalam konstruksi, meminjam istilah Daoed Joesoef, Tanah Air formal (negara-bangsa)?

Bersama para pejuang kemerdekaan, dia berdiri terdepan dan tidak pernah menyerah membangun mimpi Indonesia merdeka. Ditangkap penjajah, dia tersenyum. Dimasukkan ke dalam penjara, dia membaca buku. Diasingkan ke tempat terpencil, dia membentuk klub tonil. Bersama Bung Hatta, dia tak gentar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dia juga menggali Pancasila dan menjadi inspirator kemerdekaan negara-negara terjajah di dunia. Dia ada di seluruh tarikan napas dan aliran darah kita. Jika demikian, siapa Bung Karno bagi kita?

Kepemimpinan lembek

Ketidakberanian bangsa ini, utamanya para pemimpinnya untuk menyatakan secara terhormat bahwa Bung Karno adalah ”Bapak Bangsa”, bagi penulis menjadi titik pijak untuk melihat mengapa Republik lamban bergerak maju selama ini. Karakter kepemimpinan yang lembek, miskin misi (sedangkan visi sudah tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945), dan tidak menginspirasi adalah pangkal persoalan menciutnya pembangunan dan kemajuan bangsa.

Tidak mengherankan jika pada satu titik, bangsa ini dihadapkan pada ironi Tanah Air-nya, baik dalam artian formal (negara-bangsa) maupun mental (Pancasila). Sebagai bangsa maritim, kita tidak pernah mempersiapkan dengan saksama dan penuh disiplin industri maritim yang disandingkan dengan pendidikan, perluasan lahan pertanian, dan pertumbuhan jumlah penduduk.

Kita juga tidak serius melakukan gerakan nasional mengubah budaya makan (menjadi berbahan dasar tepung) dan membangun gudang-gudang penyimpanan jangka panjang, khususnya untuk produk daging dan ikan. Akibatnya, impor menjadi satu-satunya pilihan untuk memenuhi kebutuhan mulut anak bangsa dan mencegah keresahan warga. Padahal, seharusnya bahan pangan impor tak lebih dari sekadar variasi bagi konsumsi dan kulinerologi kita.

Dari sisi Tanah Air mental (Pancasila), sejauh ini belum melembaga penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam arti apa pun. Kekerasan atas nama agama, pelarangan pendirian tempat ibadah, dan konflik antarkampung masih banyak terjadi.

Korupsi terus melembaga dan desain jaminan sosial bagi kaum miskin dan anak-anak telantar belum ditegakkan dengan sekhidmat-khidmatnya. Selain itu, kekuasaan yang ada cuma menjadi ranah untuk memperoleh gengsi sosial dan menumpuk kekayaan. Pendeknya, keadilan sosial sebagai sari pati Tanah Air mental masih jauh dari jangkauan.

Semua itu terjadi karena para pemimpin yang merasa bisa memimpin, ketika saatnya tiba, ia justru ”gentar” memimpin. Untuk memanggul Bung Karno di tempat terhormat menjadi Bapak Bangsa saja tidak berani melakukan. Padahal, tidak ada risiko politik apa pun. Dengan demikian, para pemimpin Republik pada umumnya tidak lebih dari sekadar penguasa, bukan ”pendidik” dalam artian luas bagi bangsanya.

Idealnya, the state must be conceived of as an educator (Gramsci). Sekuat apa pun kekuasaan apabila tidak berperan sebagai ”pendidik” yang baik bagi rakyat, untuk tidak menyebut indoktrinasi, pada saatnya mereka akan ditumbangkan oleh kaum intelektual yang mendidik dan menggalang kekuatan massa rakyat. Dalam konteks demokrasi, ini bermakna merosotnya dukungan publik pada seorang pemimpin karena ternyata ia ”gentar” memimpin.

Kegentaran tersebut membuat bangsa Indonesia tidak pernah melakukan lompatan dalam pembangunan nasional sehingga tertinggal dibandingkan dengan China dan India; dan tampaknya segera disusul Vietnam. Kegentaran tersebut membuat keputusan politik menjadi kontradiktif. Hal itu, misalnya, pada satu sisi ada kebijakan mengurai kemacetan, penanaman pohon, dan pengurangan emisi karbon; pada sisi lain mobil murah dilempar begitu saja ke pasar. Suka atau tidak, semua itu menunjukkan karakter kepemimpinan yang lembek.

Melayani rakyat

Sikap gentar tersebut hanya bisa dihapus dari memori publik dan budaya politik masyarakat apabila kepemimpinan nasional ke depan secara simultan berani mengakui Bapak Bangsa, berkhidmat sebagai negara maritim dan menjunjung kepentingan nasional, serta disiplin menjalankan misi pembangunan sesuai visi yang sudah digariskan para pendiri Republik.

Maknanya, pemimpin tersebut harus menjalankan salah satu sikap alamiah Bapak Bangsa, yaitu melayani rakyat, bukan melayani kepuasan diri sendiri.


Menurut Anda, dari nama-nama yang sudah beredar, siapa figur calon presiden yang tak gentar memimpin dan melayani rakyat? Jangan menunjuk diri sendiri. Kata Emak, itu tidak elok!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar