Ujung Tombak Tak
Berperisai
Agus Sudibyo ; Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat
dan Penegakan Etika Pers
Dewan Pers
SUMBER : KOMPAS, 12
Mei 2012
Di Sumatera Utara, beberapa waktu lalu,
seorang jurnalis menjadi korban pemukulan oleh satpam sebuah perusahaan.
Jurnalis itu melaporkan insiden tersebut kepada polisi.
Namun, tak lama kemudian, dia dipaksa
mencabut laporan tersebut karena media tempatnya bekerja telah ”berdamai”
dengan perusahaan tersebut.
Sungguh memprihatinkan, pemilik media sama
sekali mengesampingkan kepentingan jurnalisnya yang teraniaya dan justru
bergandengan tangan dengan pihak pelaku kekerasan demi kepentingan bisnis.
Di Kalimantan Timur, seorang reporter stasiun
televisi lokal dianiaya kandidat peserta pilkada yang tersinggung dengan berita
yang disiarkan reporter tersebut. Padahal, yang harus bertanggung jawab atas
karya jurnalistik yang telah dipublikasikan adalah penanggung jawab redaksi,
bukan lagi individu jurnalis.
Selalu dikatakan bahwa jurnalis adalah ujung
tombak bisnis media. Kepada jurnalislah media menggantungkan diri untuk
mendapatkan sumber yang kredibel, informasi yang berbobot, dan membuat kemasan
berita menarik. Namun, seperti ujung tombak yang tak berperisai, jurnalis
sering dibiarkan sendirian tanpa perlindungan berarti ketika menghadapi
momentum-momentum kekerasan. Jurnalis juga sering secara langsung menerima
konsekuensi yang seharusnya ditanggung oleh lembaga tempat ia bekerja.
Masalah
Serius
Keselamatan jurnalis masih menjadi masalah
serius di Indonesia. Tahun 2012, dalam catatan LBH Pers telah terjadi 85 kasus
kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk: ancaman verbal, perampasan
peralatan liputan, penganiayaan ringan dan berat, hingga upaya pembunuhan.
Pelakunya bisa aparat, pejabat, artis, satpam, dan preman suruhan.
Frekuensi kekerasan tidak menurun pada
triwulan pertama 2012. Pada rentetan demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM
beberapa minggu lalu, beberapa kali terjadi perampasan kamera milik kamerawan
stasiun televisi oleh aparat keamanan.
Jika jurnalis menjadi korban kekerasan,
perusahaan media yang pertama-tama harus memberikan perlindungan. Jika
kekerasan langsung mengancam keselamatan jurnalis atau keluarga, penanganan
harus bersifat segera dan tidak dapat ditunda- tunda, termasuk jika kekerasan
itu terjadi di pelosok. Tanggung jawab media semestinya mencakup biaya
pengobatan, proses evakuasi, pengumpulan data, koordinasi dengan asosiasi
berbagai pihak terkait, dan pendampingan hukum.
Namun, faktanya tidak selalu demikian. Dalam
banyak kasus, ketika ada jurnalis yang menjadi korban kekerasan, bukan media
tempat jurnalis itu bekerja yang getol memberikan pendampingan, melainkan
lembaga seperti LBH Pers atau organisasi wartawan, di antaranya AJI, IJTI, dan
PWI. Juga ketika beberapa jurnalis terancam pemidanaan dan disibukkan oleh
rentetan pemeriksaan polisi gara-gara berita yang ditulisnya, perusahaan media
terkesan acuh tak acuh.
Perusahaan media tak jarang melihat proses
pemidanaan sebagai masalah pribadi jurnalis meskipun jelas sekali bahwa ancaman
pidana dipicu oleh kegiatan jurnalistiknya.
Memprihatinkan
Pendek kata, perlindungan terhadap
keselamatan jurnalis di Indonesia masih memprihatinkan. Pokok masalahnya bukan
hanya negara dan aparat keamanan yang belum mampu menjalankan amanat bahwa
keselamatan wartawan dilindungi negara, melainkan juga kurangnya komitmen
perusahaan media.
Reaksi perusahaan media terhadap kasus
kekerasan dan pemidanaan yang dialami jurnalisnya mencerminkan relasi
industrial yang timpang. Para jurnalis dituntut bekerja keras menggali kasus-kasus
korupsi, penebangan liar, konflik pertanahan, ataupun segala isu sensitif dan
wilayah rawan konflik pula. Merekalah yang harus berhadapan dengan politisi
yang gelap mata, pengusaha bermasalah, dan preman suruhan.
Sungguhpun demikian, mereka rata-rata tidak
dibekali jaminan keselamatan dan asuransi. Penghasilan mereka pun kecil, tidak
menjamin kesejahteraan. Belum lagi jika status jurnalis hanyalah kontributor
yang dibayar per berita. Jika mereka mengalami kecelakaan atau menghadapi
tuntutan hukum karena masalah jurnalistik, belum jelas benar sejauh mana
keterlibatan medianya untuk membiayai pengobatan atau memberi pendampingan
hukum.
Bisnis media adalah bisnis yang sangat
bergantung pada kepercayaan publik. Kepercayaan ini ditentukan oleh kualitas
informasi, berita, dan wacana yang disajikan. Semua kualitas ini ditentukan
oleh para jurnalis yang langsung terjun ke medan peliputan. Maka, sudah
seharusnya jika perusahaan media dan segenap pemangku kepentingan pers
bersama-sama mencari solusi untuk meningkatkan jaminan keselamatan jurnalis. ●
Tulisan yang menarik. Memang begitu kenyataannya. Sudah lama kehidupan jurnalis memang belum sejahtera.
BalasHapus