Minggu, 13 Mei 2012

Ujung Tombak Tak Berperisai


Ujung Tombak Tak Berperisai
Agus Sudibyo ;  Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat
dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers
SUMBER :  KOMPAS, 12 Mei 2012



Di Sumatera Utara, beberapa waktu lalu, seorang jurnalis menjadi korban pemukulan oleh satpam sebuah perusahaan. Jurnalis itu melaporkan insiden tersebut kepada polisi.

Namun, tak lama kemudian, dia dipaksa mencabut laporan tersebut karena media tempatnya bekerja telah ”berdamai” dengan perusahaan tersebut.
Sungguh memprihatinkan, pemilik media sama sekali mengesampingkan kepentingan jurnalisnya yang teraniaya dan justru bergandengan tangan dengan pihak pelaku kekerasan demi kepentingan bisnis.

Di Kalimantan Timur, seorang reporter stasiun televisi lokal dianiaya kandidat peserta pilkada yang tersinggung dengan berita yang disiarkan reporter tersebut. Padahal, yang harus bertanggung jawab atas karya jurnalistik yang telah dipublikasikan adalah penanggung jawab redaksi, bukan lagi individu jurnalis.

Selalu dikatakan bahwa jurnalis adalah ujung tombak bisnis media. Kepada jurnalislah media menggantungkan diri untuk mendapatkan sumber yang kredibel, informasi yang berbobot, dan membuat kemasan berita menarik. Namun, seperti ujung tombak yang tak berperisai, jurnalis sering dibiarkan sendirian tanpa perlindungan berarti ketika menghadapi momentum-momentum kekerasan. Jurnalis juga sering secara langsung menerima konsekuensi yang seharusnya ditanggung oleh lembaga tempat ia bekerja.

Masalah Serius

Keselamatan jurnalis masih menjadi masalah serius di Indonesia. Tahun 2012, dalam catatan LBH Pers telah terjadi 85 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk: ancaman verbal, perampasan peralatan liputan, penganiayaan ringan dan berat, hingga upaya pembunuhan. Pelakunya bisa aparat, pejabat, artis, satpam, dan preman suruhan.

Frekuensi kekerasan tidak menurun pada triwulan pertama 2012. Pada rentetan demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM beberapa minggu lalu, beberapa kali terjadi perampasan kamera milik kamerawan stasiun televisi oleh aparat keamanan.
Jika jurnalis menjadi korban kekerasan, perusahaan media yang pertama-tama harus memberikan perlindungan. Jika kekerasan langsung mengancam keselamatan jurnalis atau keluarga, penanganan harus bersifat segera dan tidak dapat ditunda- tunda, termasuk jika kekerasan itu terjadi di pelosok. Tanggung jawab media semestinya mencakup biaya pengobatan, proses evakuasi, pengumpulan data, koordinasi dengan asosiasi berbagai pihak terkait, dan pendampingan hukum.

Namun, faktanya tidak selalu demikian. Dalam banyak kasus, ketika ada jurnalis yang menjadi korban kekerasan, bukan media tempat jurnalis itu bekerja yang getol memberikan pendampingan, melainkan lembaga seperti LBH Pers atau organisasi wartawan, di antaranya AJI, IJTI, dan PWI. Juga ketika beberapa jurnalis terancam pemidanaan dan disibukkan oleh rentetan pemeriksaan polisi gara-gara berita yang ditulisnya, perusahaan media terkesan acuh tak acuh.

Perusahaan media tak jarang melihat proses pemidanaan sebagai masalah pribadi jurnalis meskipun jelas sekali bahwa ancaman pidana dipicu oleh kegiatan jurnalistiknya.

Memprihatinkan

Pendek kata, perlindungan terhadap keselamatan jurnalis di Indonesia masih memprihatinkan. Pokok masalahnya bukan hanya negara dan aparat keamanan yang belum mampu menjalankan amanat bahwa keselamatan wartawan dilindungi negara, melainkan juga kurangnya komitmen perusahaan media.

Reaksi perusahaan media terhadap kasus kekerasan dan pemidanaan yang dialami jurnalisnya mencerminkan relasi industrial yang timpang. Para jurnalis dituntut bekerja keras menggali kasus-kasus korupsi, penebangan liar, konflik pertanahan, ataupun segala isu sensitif dan wilayah rawan konflik pula. Merekalah yang harus berhadapan dengan politisi yang gelap mata, pengusaha bermasalah, dan preman suruhan.

Sungguhpun demikian, mereka rata-rata tidak dibekali jaminan keselamatan dan asuransi. Penghasilan mereka pun kecil, tidak menjamin kesejahteraan. Belum lagi jika status jurnalis hanyalah kontributor yang dibayar per berita. Jika mereka mengalami kecelakaan atau menghadapi tuntutan hukum karena masalah jurnalistik, belum jelas benar sejauh mana keterlibatan medianya untuk membiayai pengobatan atau memberi pendampingan hukum.

Bisnis media adalah bisnis yang sangat bergantung pada kepercayaan publik. Kepercayaan ini ditentukan oleh kualitas informasi, berita, dan wacana yang disajikan. Semua kualitas ini ditentukan oleh para jurnalis yang langsung terjun ke medan peliputan. Maka, sudah seharusnya jika perusahaan media dan segenap pemangku kepentingan pers bersama-sama mencari solusi untuk meningkatkan jaminan keselamatan jurnalis. ●

1 komentar:

  1. Tulisan yang menarik. Memang begitu kenyataannya. Sudah lama kehidupan jurnalis memang belum sejahtera.

    BalasHapus