Laporan Diskusi Kompas
Menggugat Praksis Pendidikan :
Kuncinya Pendidikan
SUMBER
: KOMPAS, 01 Mei 2012
Bonus demografi memang sudah di depan mata.
Struktur penduduk dengan dominasi usia muda yang produktif akan membawa
keuntungan yang luar biasa secara sosial dan ekonomi pada Indonesia. Ditambah
dukungan komoditas dan energi yang dimiliki bangsa ini, era keemasan bangsa
Indonesia—yang diprediksi 2020-2030—tinggal dalam genggaman.
Namun, jendela peluang dari bonus demografi
ini tak berjalan linier. Butuh prasyarat untuk mencapainya. Masih banyak
pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Selain faktor ekonomi dan demografi, kualitas
sumber daya manusia dari sisi kesehatan dan pendidikan juga ikut menentukan.
Bahkan, bisa dikatakan, faktor pendidikan inilah yang menjadi kunci.
Persoalannya, di sektor pendidikan inilah
justru masih banyak tersimpan masalah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), pada 2010, dari sekitar 40 juta angkatan kerja, 49,5 persen hanya
berpendidikan SD. Mereka yang berpendidikan setingkat SMP sekitar 19,1 persen
dan setingkat SMA/SMK sekitar 23,4 persen. Adapun yang diploma sekitar 2,8
persen serta D-4 dan S-1 sekitar 4,8 persen.
Pada 2015, diprediksi angka ini akan berubah,
tetapi tidak terlalu mencolok. Untuk tingkat SD diprediksi sekitar 44 persen,
SMP 20 persen, SMA 16 persen, SMK 10 persen, sedangkan diploma dan S-1
masing-masing hanya sekitar 4 dan 6 persen.
Namun, untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dari sisi pendidikan juga tidak mudah karena rata-rata lama
sekolah (RLS) secara nasional masih 5,8 tahun. Artinya, masih banyak anak yang
tidak tamat sekolah dasar.
Angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs secara
nasional juga baru mencapai 98,2 persen. Adapun APK untuk SMA/MA/SMK secara
nasional lebih rendah lagi, hanya 70,53 persen.
Artinya, masih banyak anak yang tak mengenyam
pendidikan yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Di sisi lain, masih ada
selisih APK 28 persen antara SMP dan SMA atau sekitar 3,5 juta anak yang tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/MA/SMK dengan berbagai alasan.
Kesenjangan
Selain APK yang masih rendah di jenjang
pendidikan dasar dan menengah, masalah lain yang harus dihadapi adalah terjadi
kesenjangan antardaerah yang sangat lebar. Di jenjang pendidikan menengah, dari
497 kabupaten/kota, 235 di antaranya hanya mencapai APK 47,3 persen. Artinya,
di kabupaten/kota tersebut masih sangat banyak warga yang tidak bisa menikmati
bangku SMA/MA/SMK.
Provinsi Lampung, Sulawesi Barat, Riau, Papua
Barat, Kalimantan Barat, dan banyak provinsi lain, tergolong rendah APK-nya
untuk pendidikan menengah. Namun, tidak hanya luar Jawa, provinsi di Pulau
Jawa, seperti Jawa Barat dan Banten, juga tergolong rendah APK-nya: tak sampai
61 persen atau di bawah rata-rata nasional yang sudah 70,53. Adapun DKI Jakarta
dan Yogyakarta partisipasi pendidikannya tergolong tinggi.
Selain APK, kualitas guru pengajar juga
menjadi persoalan tersendiri. Jangan tanya di tingkat pendidikan dasar, di
tingkat pendidikan menengah pun dari 440.168 guru SMA/SMK baru 92 persen yang
berkualifikasi S-1 atau D-4.
Jadi, makin berat tantangan yang harus
dihadapi dalam persoalan pendidikan. Tak heran jika melalui serangkaian langkah
yang dilakukan, pemerintah realistis dan coba menetapkan target APK untuk
pendidikan menengah 97 persen pada 2020.
Selain membangun sekolah baru, juga dilakukan
serangkaian kebijakan, seperti mempermudah akses bagi yang berminat serta mulai
mengucurkan bantuan operasional sekolah (BOS) meski jumlahnya masih terbatas.
Tak Sekadar Angka
Di luar angka-angka tersebut, persoalan
pendidikan juga menghadapi berbagai persoalan serius. Dalam seminar itu
terungkap konsep pendidikan yang visioner dan futuristik sehingga mampu
bersaing di masa depan masih belum jelas. Filsafat pendidikan nasional belum
punya. Cita-cita pendidikan ”manusia seutuhnya” masih mengawang-awang.
Bahkan, ada kecenderungan, pembangunan di
bidang pendidikan hanya diarahkan untuk kepentingan ekonomi. Adapun pembangunan
karakter ataupun pendidikan karakter selama puluhan tahun diabaikan.
Kini, bahkan ada kecenderungan, pendidikan
yang berdasarkan kebudayaan bangsa sendiri ditinggalkan dan diganti pendidikan
berlabel internasional yang tak jelas konsepnya. Penyelenggara pendidikan merasa
bangga dan sudah merasa ”internasional” jika menggunakan bahasa Inggris sebagai
pengantar. Padahal, selain mengkhianati Sumpah Pemuda, konsep pendidikan
seperti ini tidak jelas serta merendahkan bangsa sendiri.
Bahasa Indonesia dianggap terbelakang. Padahal,
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mengakui
bahasa Indonesia sebagai bahasa modern karena sudah dapat dipakai untuk
membahas hal-hal abstrak serta menjelaskan berbagai persoalan ilmu pengetahuan
dan filsafat secara jernih.
Penyelenggara pendidikan juga lebih
menekankan segi kognitif untuk kelulusan siswa. Adapun karakter baik masih
diabaikan. Padahal, karakter baik inilah yang semestinya mendapat tekanan utama
karena kerusakan moral sudah meluas di institusi pendidikan. Mencontek dan
ketidakjujuran menjadi hal yang lumrah di kalangan siswa. Plagiat menjadi hal
yang biasa di sebagian kalangan guru, dosen, bahkan calon guru besar.
Institusi pendidikan pun secara terstruktur
menciptakan eksklusivisme dan diskriminasi di tengah masyarakat: tidak
mendorong pembauran. Rintisan sekolah bertaraf internasional adalah contoh
konkret untuk kasus ini.
Di sisi lain, institusi pendidikan tak serius
mendorong terciptanya hidup rukun dalam perbedaan. Setiap perbedaan
diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, termasuk tawuran. Tidak coba
diselesaikan melalui dialog, diskusi, dan adu argumentasi untuk mencari
kebaikan.
Berbagai persoalan inilah yang antara lain
menjadi pekerjaan rumah di bidang pendidikan. Pembangunan pendidikan tidak
sekadar mengejar pencapaian sisi kognitif dan angka-angka saja, tetapi lebih
penting dari itu membangun siswa yang kreatif dan bermoral baik. Tanpa karakter
dan moral baik, jendela peluang dari bonus demografi akan membawa masalah bagi
bangsa ini.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar