Selasa, 01 Mei 2012

Menggugat Praksis Pendidikan : Dari “Kujana” Menjadi Sujana, Mungkinkah?


Laporan Diskusi Kompas
Menggugat Praksis Pendidikan :
Dari “Kujana” Menjadi Sujana, Mungkinkah?
SUMBER : KOMPAS, 01 Mei 2012


Pengantar Redaksi
Harian Kompas menyelenggarakan diskusi ”Menggugat Praksis Pendidikan, Bagaimana?” dan peluncuran Yayasan Nusa Membaca di Jakarta, 23 April lalu. Tampil sebagai pembicara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, mantan Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Paul Suparno SJ, serta praktisi pendidikan Puspita Zorawar. Bertindak sebagai moderator A Doni A Kusuma. Laporan disajikan di halaman 1, 7, dan 13 oleh St Sularto, Try Harijono, dan Ester Lince Napitupulu.

Judul tulisan di atas dengan mudah dijawab, sangat mungkin dan sangat bisa. Masalahnya, bagaimana semua itu dapat terjadi lewat kegiatan pendidikan yang diselenggarakan selama ini? ST SULARTO

Topik seminar pun, ”menggugat praksis pendidikan”, mempertanyakan dasar kegiatan pengubahan manusia dari tidak terampil menjadi terampil, dari kecenderungan umum menjadi kujana (pintar, terampil, tetapi berperilaku durjana) menjadi sujana (pintar sekaligus arif-bijaksana).

Ilmu pengetahuan dan keterampilan idealnya berpuncak membentuk manusia berwatak. Namun, yang terjadi sebaliknya. Praktik korupsi merajalela di saat digalakkan usaha pemberantasan korupsi, ujian nasional perlu diawasi polisi, dan diabaikannya rasa keadilan masyarakat—sekadar menyebut contoh.

Kekuasaan yang seharusnya jadi alat menyejahterakan rakyat dipermainkan. Dominasi pragmatisme dan komodifikasi berlebihan. Komodifikasi merambah. Pelapukan mutu bangsa menjadi perasaan umum, termasuk bidang kegiatan pendidikan yang seharusnya mengedepankan kejujuran.

Oleh karena itu, seloroh pembicara Daoed Joesoef menarik. Katanya, ”Kalau mau tidak suka sama teman, usulkan jadi menteri pendidikan.” Mengapa? Bidang kegiatan menteri pendidikan jadi sasaran kritik, ketidakpuasan, dan kemarahan. Hampir semua persoalan dan masalah bersahut-sahutan.

Harapan perbaikan mutu bangsa, tidak saja terampil dan bisa duduk sejajar dengan bangsa lain dalam era globalisasi, dibebankan pada bidang pendidikan. Sebaliknya, undang-undang, peraturan, dan kebijakannya tak pernah kondusif mendukung.

Seloroh itu terjawab oleh Mohammad Nuh sebelumnya. Memperbaiki praksis pendidikan adalah tugas kita semua. Sikap kritis dan marah-marah masyarakat merupakan representasi rasa memiliki. ”Hari esok lebih baik daripada hari ini....”

Dominasi Pragmatisme

Menurut Paul Suparno, di Indonesia tidak ada filosofi pendidikan. Pendapat itu didapatkannya dari tilikan dokumen yang menjadi dasar kegiatan sejak beberapa tahun ini. Bahkan, dokumen rasional yang mendasari UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pun tidak disertakan. Akibatnya, masyarakat hanya tahu undang-undangnya, tetapi tidak tahu mengapa undang-undang itu dirumuskan demikian dan diterima. Dalam segala permasalahan praksis pendidikan, karena pendekatan pragmatis lebih menonjol, sulit ditemukan titik temu.

Kekurangan ini berdampak beruntun dalam kebijakan yang diambil, yang menyangkut apa yang dimaksudkan dengan pendidikan nasional, tujuan, dan proses mencapainya. Padahal, UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, rumusannya lebih dijabarkan. Dalam pasal UU itu, tujuan pendidikan nasional adalah untuk ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya” (Pasal 4), sementara dalam UU Tahun 2003 nuansa ini kurang tegas dan lebih menekankan segi kognitif. Karena itu, menurut Suparno, walaupun UU dibuat tahun 1989, tetap perlu dimasukkan secara eksplisit ”menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais, manusia Indonesia yang mau hidup dalam kesatuan sebagai anak bangsa dalam perbedaan”.

Dominasi pragmatisme dalam kebijakan pemerintahan pun tidak akan bertemu dengan pendekatan-pendekatan pedagogis dan akademik, kecuali masing-masing mengambil posisi demi baiknya, atau menyitir Mohammad Nuh ”hari esok lebih baik daripada hari ini....” Kenyataannya, praksis pendidikan sekadar mengurus pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan tidak ada urusan dengan pengembangan karakter, mengesampingkan proses yang berarti mencederai prinsip belajar sepanjang hidup yang dideklarasikan UNESCO di Jomtien, Thailand, tahun 1980-an.

Hakikat pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan dikesampingkan. Menurut Daoed Joesoef, hakikat ini dikesampingkan. Kebudayaan disimplifikasi sebagai ekspresi artistik/asketik, mengesampingkan makna kebudayaan dalam artian sistem nilai dan ide. Kebudayaan pun dibuang dari ranah Pendidikan dan Kebudayaan, untungnya kemudian dikembalikan, meskipun membawa makna kedalaman Pendidikan dan Kebudayaan sebagai wilayah kerja Kemdikbud tetap sulit, sebab telanjur dikembangkan secara parsial dan dangkal.

Menjadi Lebih Manusiawi

Pendidikan, menurut Driyarkara (1980), sebagai hominisasi dan humanisasi amatlah menekankan praksis pendidikan (istilah Paulo Freire) tidak lepas dari lingkungan budaya. Lingkungan berperan serta membentuk manusia lebih manusiawi yang membedakannya dengan derajat ciptaan di bawahnya. Praksis pendidikan pun adalah pembudayaan, yang lebih pragmatis-praktis berlawanan dengan penyelenggaraan sekolah unggulan, sekolah elite, atau yang mau dirintis dengan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Anak punya kemampuan akademik tinggi perlu bersama-sama dengan anak kurang berkemampuan akademik, begitu juga yang kaya perlu bersama dengan yang kurang mampu secara ekonomi.

Di sanalah manusia menyejarah. Manusia adalah entitas posibilitas sekaligus aktualitas (Sastrapratedja, 2004). Manusia berbuat (homo faber) tidak bisa dipisahkan eksistensinya sebagai manusia berpengetahuan (homo sapiens) dengan basis berpikir dan bukan perbuatan atau naluri belaka. Kebudayaan adalah interpretasi manusia atas kehidupannya (Ortega Y Gasset, 1959) sebagai rangkaian pemecahan masalah dan solusinya. Praksis pendidikan pun membantu manusia menjadi semakin manusiawi yang dicapai secara manusiawi pula, membenarkan pendapat Immanuel Kant bahwa praksis pendidikan yang tidak manusiawi sebenar-benarnya bukanlah pendidikan.

Pancasila dengan kelima silanya memuat dan menawarkan nilai-nilai dasariah pembudayaan. Karena itu, benar yang disampaikan Suparno, dalam amandemen terhadap UU Tahun 2003, yang perlu dilakukan adalah mengkaji dasar-dasar praksis pendidikan yang diberikan dalam UU Sisdiknas Tahun 1989 dengan tambahan Pancasilais dan kebersamaan dalam budaya. Yang perlu dilakukan bukan bongkar pasang parsial seperti selama ini, melainkan peninjauan kembali secara radikal dasar UU menyangkut praksis pendidikan di Indonesia. Di antaranya perlu ditegaskan prinsip-prinsip seperti kondisi kemajemukan Indonesia yang memberi tempat bagi proses mengembangkan manusia Indonesia.

Selama peninjauan dasariah yang menyangkut filosofi pendidikan (manusia Indonesia) ini dikesampingkan dan dianggap sebagai sudah terberikan (given), membenarkan kenyataan praksis pendidikan didekati secara politis-praktis. Turunannya, pengembangan manusia Indonesia ditempatkan sebagai bagian dari komodifikasi tangan kanan perekonomian yang dipercepat pemahaman dangkal tentang globalisasi.

Penanganan guru yang tak pernah beres, penganggaran kegiatan yang terkesan owel (tidak ikhlas), penyelenggaraan UN, RSBI, dan seabrek persoalan akibat kegiatan yang bersumber pada pragmatisme berlebihan, tak akan diperoleh kata putus semua pihak. Rasa memiliki tentang persoalan pendidikan pun akan terus terjadi berupa protes dan penolakan. Tanpa pembenahan di tingkat paling dasar, tanpa sadar praksis pendidikan di Indonesia tinggal sebagai potensi antara dua bandul menjadikan manusia Indonesia itu kujana dan bukan sujana.

Tanpa sadar, kita sendiri dan bersama menggali liang kubur masing-masing! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar