Laporan Diskusi Kompas
Menggugat Praksis Pendidikan :
Dari “Kujana” Menjadi Sujana, Mungkinkah?
SUMBER
: KOMPAS, 01 Mei 2012
Pengantar Redaksi
Harian Kompas menyelenggarakan diskusi ”Menggugat
Praksis Pendidikan, Bagaimana?” dan peluncuran Yayasan Nusa Membaca di Jakarta,
23 April lalu. Tampil sebagai pembicara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, mantan
Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Paul Suparno SJ, serta praktisi
pendidikan Puspita Zorawar. Bertindak sebagai moderator A Doni A Kusuma.
Laporan disajikan di halaman 1, 7, dan 13 oleh St Sularto, Try Harijono, dan
Ester Lince Napitupulu.
Judul tulisan di atas dengan mudah dijawab,
sangat mungkin dan sangat bisa. Masalahnya, bagaimana semua itu dapat terjadi
lewat kegiatan pendidikan yang diselenggarakan selama ini? ST SULARTO
Topik seminar pun, ”menggugat praksis
pendidikan”, mempertanyakan dasar kegiatan pengubahan manusia dari tidak
terampil menjadi terampil, dari kecenderungan umum menjadi kujana (pintar,
terampil, tetapi berperilaku durjana) menjadi sujana (pintar sekaligus
arif-bijaksana).
Ilmu pengetahuan dan keterampilan idealnya
berpuncak membentuk manusia berwatak. Namun, yang terjadi sebaliknya. Praktik
korupsi merajalela di saat digalakkan usaha pemberantasan korupsi, ujian
nasional perlu diawasi polisi, dan diabaikannya rasa keadilan
masyarakat—sekadar menyebut contoh.
Kekuasaan yang seharusnya jadi alat
menyejahterakan rakyat dipermainkan. Dominasi pragmatisme dan komodifikasi
berlebihan. Komodifikasi merambah. Pelapukan mutu bangsa menjadi perasaan umum,
termasuk bidang kegiatan pendidikan yang seharusnya mengedepankan kejujuran.
Oleh karena itu, seloroh pembicara Daoed
Joesoef menarik. Katanya, ”Kalau mau tidak suka sama teman, usulkan jadi
menteri pendidikan.” Mengapa? Bidang kegiatan menteri pendidikan jadi sasaran
kritik, ketidakpuasan, dan kemarahan. Hampir semua persoalan dan masalah bersahut-sahutan.
Harapan perbaikan mutu bangsa, tidak saja
terampil dan bisa duduk sejajar dengan bangsa lain dalam era globalisasi,
dibebankan pada bidang pendidikan. Sebaliknya, undang-undang, peraturan, dan
kebijakannya tak pernah kondusif mendukung.
Seloroh itu terjawab oleh Mohammad Nuh
sebelumnya. Memperbaiki praksis pendidikan adalah tugas kita semua. Sikap
kritis dan marah-marah masyarakat merupakan representasi rasa memiliki. ”Hari
esok lebih baik daripada hari ini....”
Dominasi Pragmatisme
Menurut Paul Suparno, di Indonesia tidak ada
filosofi pendidikan. Pendapat itu didapatkannya dari tilikan dokumen yang
menjadi dasar kegiatan sejak beberapa tahun ini. Bahkan, dokumen rasional yang
mendasari UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pun tidak disertakan. Akibatnya,
masyarakat hanya tahu undang-undangnya, tetapi tidak tahu mengapa undang-undang
itu dirumuskan demikian dan diterima. Dalam segala permasalahan praksis
pendidikan, karena pendekatan pragmatis lebih menonjol, sulit ditemukan titik
temu.
Kekurangan ini berdampak beruntun dalam
kebijakan yang diambil, yang menyangkut apa yang dimaksudkan dengan pendidikan
nasional, tujuan, dan proses mencapainya. Padahal, UU No 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, rumusannya lebih dijabarkan. Dalam pasal UU itu, tujuan
pendidikan nasional adalah untuk ”mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya” (Pasal 4),
sementara dalam UU Tahun 2003 nuansa ini kurang tegas dan lebih menekankan segi
kognitif. Karena itu, menurut Suparno, walaupun UU dibuat tahun 1989, tetap
perlu dimasukkan secara eksplisit ”menjadi
manusia Indonesia yang Pancasilais, manusia Indonesia yang mau hidup dalam
kesatuan sebagai anak bangsa dalam perbedaan”.
Dominasi pragmatisme dalam kebijakan
pemerintahan pun tidak akan bertemu dengan pendekatan-pendekatan pedagogis dan
akademik, kecuali masing-masing mengambil posisi demi baiknya, atau menyitir
Mohammad Nuh ”hari esok lebih baik
daripada hari ini....” Kenyataannya, praksis pendidikan sekadar mengurus
pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan tidak ada urusan dengan
pengembangan karakter, mengesampingkan proses yang berarti mencederai prinsip
belajar sepanjang hidup yang dideklarasikan UNESCO di Jomtien, Thailand, tahun
1980-an.
Hakikat pendidikan sebagai bagian dari
kebudayaan dikesampingkan. Menurut Daoed Joesoef, hakikat ini dikesampingkan.
Kebudayaan disimplifikasi sebagai ekspresi artistik/asketik, mengesampingkan
makna kebudayaan dalam artian sistem nilai dan ide. Kebudayaan pun dibuang dari
ranah Pendidikan dan Kebudayaan, untungnya kemudian dikembalikan, meskipun
membawa makna kedalaman Pendidikan dan Kebudayaan sebagai wilayah kerja
Kemdikbud tetap sulit, sebab telanjur dikembangkan secara parsial dan dangkal.
Menjadi Lebih Manusiawi
Pendidikan, menurut Driyarkara (1980),
sebagai hominisasi dan humanisasi amatlah menekankan praksis pendidikan
(istilah Paulo Freire) tidak lepas dari lingkungan budaya. Lingkungan berperan
serta membentuk manusia lebih manusiawi yang membedakannya dengan derajat
ciptaan di bawahnya. Praksis pendidikan pun adalah pembudayaan, yang lebih
pragmatis-praktis berlawanan dengan penyelenggaraan sekolah unggulan, sekolah
elite, atau yang mau dirintis dengan rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI). Anak punya kemampuan akademik tinggi perlu bersama-sama dengan anak
kurang berkemampuan akademik, begitu juga yang kaya perlu bersama dengan yang
kurang mampu secara ekonomi.
Di sanalah manusia menyejarah. Manusia adalah
entitas posibilitas sekaligus aktualitas (Sastrapratedja, 2004). Manusia
berbuat (homo faber) tidak bisa
dipisahkan eksistensinya sebagai manusia berpengetahuan (homo sapiens) dengan basis berpikir dan bukan perbuatan atau naluri
belaka. Kebudayaan adalah interpretasi manusia atas kehidupannya (Ortega Y
Gasset, 1959) sebagai rangkaian pemecahan masalah dan solusinya. Praksis
pendidikan pun membantu manusia menjadi semakin manusiawi yang dicapai secara
manusiawi pula, membenarkan pendapat Immanuel Kant bahwa praksis pendidikan
yang tidak manusiawi sebenar-benarnya bukanlah pendidikan.
Pancasila dengan kelima silanya memuat dan
menawarkan nilai-nilai dasariah pembudayaan. Karena itu, benar yang disampaikan
Suparno, dalam amandemen terhadap UU Tahun 2003, yang perlu dilakukan adalah
mengkaji dasar-dasar praksis pendidikan yang diberikan dalam UU Sisdiknas Tahun
1989 dengan tambahan Pancasilais dan kebersamaan dalam budaya. Yang perlu
dilakukan bukan bongkar pasang parsial seperti selama ini, melainkan peninjauan
kembali secara radikal dasar UU menyangkut praksis pendidikan di Indonesia. Di
antaranya perlu ditegaskan prinsip-prinsip seperti kondisi kemajemukan
Indonesia yang memberi tempat bagi proses mengembangkan manusia Indonesia.
Selama peninjauan dasariah yang menyangkut
filosofi pendidikan (manusia Indonesia) ini dikesampingkan dan dianggap sebagai
sudah terberikan (given), membenarkan
kenyataan praksis pendidikan didekati secara politis-praktis. Turunannya,
pengembangan manusia Indonesia ditempatkan sebagai bagian dari komodifikasi
tangan kanan perekonomian yang dipercepat pemahaman dangkal tentang
globalisasi.
Penanganan guru yang tak pernah beres,
penganggaran kegiatan yang terkesan owel (tidak ikhlas), penyelenggaraan UN,
RSBI, dan seabrek persoalan akibat kegiatan yang bersumber pada pragmatisme
berlebihan, tak akan diperoleh kata putus semua pihak. Rasa memiliki tentang
persoalan pendidikan pun akan terus terjadi berupa protes dan penolakan. Tanpa
pembenahan di tingkat paling dasar, tanpa sadar praksis pendidikan di Indonesia
tinggal sebagai potensi antara dua bandul menjadikan manusia Indonesia itu
kujana dan bukan sujana.
Tanpa sadar, kita sendiri dan bersama
menggali liang kubur masing-masing! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar