Lain Lubuk Lain
Ikannya
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 11 Mei 2012
PADA
abad XVIII, tepatnya 1799, seorang anak berusia sekitar 10-11 tahun ditemukan
di tengah hutan Aveyron, Prancis. Anak itu belum pernah bertemu dan mengenal
manusia. Setelah satu tahun dirawat di rumah sakit, dia dipindahkan ke Paris.
Di sana dia menjadi bahan tontonan umum; bukan sebagai ‘noble savage’, orang buas yang luhur budi seperti gambaran
Rousseau, melainkan tampil sebagai manusia setengah binatang. Dia jorok,
menggeram, makan sampah dan kotoran dengan nikmatnya, serta tidak peduli
lingkungan sekitar.
Setelah
penelitian cukup lama, tim dokter yang beranggotakan dokter-dokter terkemuka
saat itu berkesimpulan anak tersebut berpura-pura atau memiliki kelainan jiwa.
Namun seorang dokter muda dalam tim, Jean-Marc Itard, tidak sependapat. Dia
kemudian mengambilnya dan merawatnya sendiri.
Selama
lima tahun, Itard berusaha mengubah makhluk itu menjadi manusia seutuhnya. Dia
yakin, sekalipun anak itu subnormal, bila diberi perhatian dan kasih sayang
serta diperkenalkan kepada peradaban dia mungkin akan berkembang menjadi
manusia.
Terbukti
ada kemajuan, memang. Dia menjadi bersih, bisa makan normal, mengenal dan
mengerti sejumlah kata, bahkan tahu arti kasih sayang. Setelah dewasa, dia pun
merasakan dan mengerti arti cinta antara laki-laki dan perempuan. Namun tanpa
pengalaman, dia serbacanggung. Pada 1828, di usia 40 tahun, ‘anak buas’ dari
Aveyron itu meninggal dunia, tanpa mengenal arti menjadi manusia seutuhnya.
Bukan Salah Bunda Mengandung
Kisah sejati tadi dipetik dari buku sosiologi yang
diterbitkan Richard L Roe, dibantu sekitar 40 konsultan dari berbagai universitas
AS. Buku itu kini menjadi koleksi Library
of Congress, AS. Paparan tadi untuk mendukung tesis: walaupun menurut
genetika atau organnya tiap manusia mampu berkembang, perkembangannya banyak
ditentukan masyarakat sekitarnya.
Program pembelajaran diperlukan agar anak didik mengenal
seperangkat nilai yang diangkat dari produkproduk kultural atau perilaku yang
ada, termasuk bahasa kepercayaan,
berbagai fakta, persepsi, perasaan, norma sosial, keterampilan teknis,
motivasi, dan bahkan emosi. Proses tersebut tidak hanya berlangsung pada masa
anak-anak, tetapi berjalan terus sampai manusia itu mati. Itu sesuai dengan
ajaran Islam, “Belajarlah sampai ajal menjemputmu.“ Dalam menanggapi ramainya
tawuran pelajar, bentrok antarwarga, dan berbagai demo buruh, timbul wacana:
apa sebab itu semua? Seorang ibu generasi masa `doeloe', yang mengikuti bedah
editorial Media Indonesia lewat Metro TV tentang tawuran pelajar, menyatakan
dahulu kaum pelajar tingkat atas datang dari keluarga kelas menengah ke atas
yang mendapat hak mengikuti pendidikan formal.
Hal
itu berbeda dengan sekarang--lapangan pendidikan terbuka untuk semua lapisan
masyarakat. Secara tidak langsung, dia barangkali ingin menyatakan latar
belakang kemampuan finansial dan intelektual orangtua ikut menentukan sikap dan
perilaku pelajar. Namun, para orangtua dari kalangan mana pun bercita-cita anak
mereka menyandang gelar sarjana karena anggapan bahwa tiap peningkatan
pendidikan bergerak seiring dengan kenaikan penghasilan.
Lagi
pula apakah pertimbangan politik dalam alam kebebasan ini memungkinkan kita
menjatah pendidikan? Bila yang diinginkan produk pendidikan yang bisa
dimanfaatkan secara efektif oleh masyarakat banyak, sebenarnya yang terbanyak
dibutuhkan bukan ahli-ahli pertanian/ industri lulusan perguruan tinggi,
melainkan tenaga kerja praktis untuk menggarap tanah atau bidang lainnya.
Akan
tetapi, apakah semua anak siap mental untuk dikelompok-kelompokkan dalam
masyarakat tani dan industri/ dagang di bawah, sedangkan masyarakat elite
terpelajar menempati lapisan atas? Bukankah kemungkinan tidak meneruskan
pendidikan bisa menjadi tekanan mental yang membuatnya marah?
Masalah Pendidikan Terus Bergulir
Masalah
pendidikan tidak henti-hentinya menjadi sorotan. Kita pun umumnya menyadari
perubahan zaman menuntut perubahan sikap dan perilaku kita semua, dari sang
pemimpin sampai sang pekerja. Jalan paling tepat ialah lewat pendidikan; lewat
rekayasa sosial. Awal pekan ini di UGM diselenggarakan Kongres Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan dalam Menghadapi Globalisasi. Ketua Umum Majelis
Luhur Tamansiswa Dr Sri Edi Swasono, dalam forum itu, berpesan kita jangan
mengabaikan doktrin kebangsaan dan kerakyatan. `Back to basic', kembali ke platform Pancasila dan UUD 1945.
Hampir
35 tahun lalu, 21 pakar pendidikan juga bertemu dan berembuk. Mereka pakarnya
pakar, diketuai Prof Dr Slamet Iman Santosa, dengan Prof Dr Sumitro
Djojohadikusumo sebagai wakil, dan Ki Suratman dari Tamansiswa sebagai
sekretaris. Kelompok yang disebut Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional itu
selama satu setengah tahun membicarakan konsep pendidikan nasional guna
mengantisipasi keadaan.
Menurut
teori psikologi sosial, sikap dan perilaku kita saling pengaruh-memengaruhi.
Namun faktanya, sikap kita sering kali tidak selalu mencerminkan perilaku kita.
Dalam kaitan ini, perubahan sikap tidak dengan sendirinya menghasilkan
perubahan perilaku. Orang yang menyatakan sepenuhnya menghayati falsafah
Pancasila belum tentu berperilaku sesuai dengan ajaran Pancasila.
Kenyataan
tersebut membuat para ahli psikologi sosial meneliti dan meneliti, mengapa kita
sering berbuat lain dari yang kita katakan? Jawabannya kini semakin jelas:
sikap dan perilaku kita dipengaruhi berbagai faktor. Sikap akan bisa sesuai
dengan perilaku bila faktor-faktor yang memengaruhi dipersempit. Kita sadar
akan kesenjangan itu. Perlu ada sistem yang mengingatkan dan memang harus
dilembagakan.
Lalu,
seandainya kita semua ini pasien, bagaimana bentuk rekayasa sosial menuju
masyarakat bermartabat? Masa depan makin rumit, penghidupan makin sulit. Secara
pribadi kita bisa mulai berusaha dari rumah sendiri, dengan kesadaran bahwa
masing-masing datang dari rumah yang berbeda dan kelas sosial yang berbeda
pula. PR kita: bagaimana saling menyesuaikan diri dalam masyarakat heterogen di
masa pancaroba. Sebab, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar