Senin, 07 Mei 2012

Kepemilikan Asing di Bank

Kepemilikan Asing di Bank
A Tony Prasetiantono; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
SUMBER :  KOMPAS, 07 Mei 2012


Rencana pembelian 67,3 persen saham Asia Financial di Bank Danamon oleh DBS Group Singapura seharga 6,2 miliar dollar Singapura (setara Rp 45,2 triliun) telah memicu kontroversi yang cukup sengit. Baik Asia Financial maupun DBS Group adalah entitas bisnis yang sama-sama dimiliki Temasek Holdings Singapura. Peristiwa ini seperti ”menguak luka lama” industri perbankan Indonesia. Mengapa?

Dalam beberapa tahun ini—terutama sejak industri perbankan mengalami ”musim semi” setelah membukukan laba yang terus naik signifikan—kita seperti disadarkan mengenai betapa menariknya industri ini di mata investor asing. Kesadaran lain juga timbul atas betapa liberalnya industri perbankan sehingga investor asing bisa memiliki saham bank nasional hingga 99 persen. Situasi yang tidak terjadi di negara-negara tetangga.

Sementara itu, ironisnya, bank-bank besar kita justru kesulitan melakukan penetrasi pasar luar negeri. Bayangkan, BNI yang sudah punya cabang di Singapura sejak tahun 1955—atau sebelum Singapura merdeka—sulit membuka cabang baru di sana. Bank Mandiri juga susah masuk pasar Malaysia. Hal serupa terjadi di China.

Ironisnya, hal ini berbanding terbalik dengan penetrasi bank-bank Singapura dan Malaysia di Indonesia. Dari sinilah timbul isu menuntut hak asas resiprokalitas, yakni kemudahan yang sudah diberikan Bank Indonesia (BI) kepada bank asing hendaknya juga diimbangi dengan kemudahan setara oleh bank sentral atau otoritas perbankan di negara-negara tersebut.

Dengan latar belakang seperti ini, transaksi jual-beli saham mayoritas Bank Danamon oleh anak-anak perusahaan Temasek menjadi isu sensitif. Celakanya lagi, transaksi besar ini tidak lebih dulu diberitahukan kepada BI. BI pun merasa ”dilangkahi”, dan situasi menjadi runyam tatkala BI tidak serta-merta menyetujuinya.

Untuk melihat permasalahan ini secara lebih jernih dan komprehensif, kita harus menengok kejadian krisis ekonomi Indonesia tahun 1998. Kombinasi antara salah urus bank, ketidakhati-hatian pengelolaan bank, aji mumpung (moral hazard), terlalu agresifnya mencari utang luar negeri, serta krisis politik menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, telah menjerumuskan industri perbankan kita ke jurang yang dalam.

Kehancuran industri perbankan ditandai dengan rekapitalisasi bank yang mencapai Rp 431 triliun atau 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kondisi ini tergolong parah karena rekapitalisasi bank yang terjadi di negara-negara lain tidak ada yang sebesar itu. Misalnya, Cile (43 persen tahun 1981), Uruguay (32 persen, 1981), Jepang (122 persen, 1992), Venezuela (25 persen, 1994), Thailand (35 persen, 1997), Korea Selatan (28 persen, 1997), dan Malaysia (18 persen, 1997) [Djiwandono 2004].

Bank-bank penerima suntikan rekapitalisasi itu antara lain Bank Mandiri (Rp 175 triliun), BNI (Rp 62 triliun), BCA (Rp 60 triliun), Danamon (Rp 47 triliun), BRI (Rp 28 triliun) Niaga (Rp 9 triliun), Lippo (Rp 7,7 triliun), BII (Rp 6,6 triliun), Bali (Rp 5,3 triliun), dan Universal (Rp 4,6 triliun). Karena pemerintah tak punya uang tunai, rekapitalisasi dengan rekayasa akuntansi berupa penerbitan obligasi rekapitalisasi yang disuntikkan ke bank-bank sakit tersebut.

Sesudah direkapitalisasi dan direstrukturisasi, bank-bank itu kemudian didivestasi oleh pemerintah. Berhubung Indonesia sedang krisis, penting untuk mengundang investor asing membeli aset-aset itu.

Karena itulah, ketika Bank Mandiri dan Jamsostek sempat berniat membeli Bank Permata (tahun 2004), pemerintah menolaknya dan lebih memilih investor asing. Alasannya, Indonesia butuh masuknya devisa yang bisa memperkuat cadangan devisa. Dampak positifnya, dapat membantu apresiasi rupiah. Masuknya investor asing juga menjadi penanda pulihnya kepercayaan internasional atas Indonesia.

Berdasarkan latar belakang ini, kehadiran investor asing menjadi relevan dan dibutuhkan pada saat itu. Namun, kini zaman telah berubah drastis. Indonesia sudah meraih peringkat investment grade (layak investasi) sehingga investor asing lebih mudah diyakinkan untuk masuk ke Indonesia, baik melalui jalur penanaman modal asing maupun portofolio lewat pasar modal. Akibatnya, cadangan devisa yang dikuasai BI kini mencapai 114 miliar dollar AS. Jauh di atas level 21 miliar dollar AS (krisis tahun 1998) dan 60 miliar dollar AS (krisis 2008-2009).

Karena itu, sesungguhnya upaya Indonesia untuk menarik investor asing—khususnya di industri perbankan—tidaklah terlalu mendesak seperti dulu. Kebijakan mengizinkan investor asing memiliki hingga 99 persen saham perbankan nasional tidak lagi kuat relevansinya. Jika mengacu pengalaman negara lain (best practices), tak ada lagi negara yang punya model kebijakan yang dulu kita lakukan karena ”kepepet” itu.

Karena itu, logis jika kita perlu mengubah aturan itu. Jika sebuah bank dimiliki oleh kian banyak pemegang saham, maka hampir pasti terjadi mekanisme kontrol yang lebih efektif untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Ini sesuai dengan teori principal-agent oleh Michael Jensen dan William Meckling (1976), serta teori X-efficiency yang sebelumnya digagas Harvey Leibenstein (1966 dan 1976).

Kini tersedia dua opsi bagi BI. Pertama, kepemilikan asing dibatasi, misalnya menjadi 51 persen, tetapi tidak berlaku surut. Alasannya, dulu kita mengundang investor asing ”secara baik-baik” saat perekonomian Indonesia krisis. Ketika perekonomian kini membaik, investor asing tetap kita perlakukan secara ”baik-baik”.

Kedua, kepemilikan asing dibatasi menjadi 51 persen yang berlaku surut, tetapi disediakan periode transisi yang cukup, misalnya lima tahun. Setiap tahun saham mayoritas berkurang 10 persen, dijual ke pasar modal. Memang bisa timbul celah investor lama muncul dengan ”bendera” baru (special purpose vehicle). Namun di era global, sulit menjamin bahwa praktik itu tidak terjadi.

Namun, saya rasa tak akan ada regulasi BI yang tidak menyisakan celah. Di sektor finansial selalu ada rekayasa yang bisa dilakukan investor untuk ”mengakali” kebijakan otoritas finansial. Ini berlaku universal, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di mana saja. Krisis subprime mortgage di AS telah mengajarkan, sepintar apa pun The Fed dan otoritas pasar modal AS, tetap bisa kecolongan oleh akrobat para petualang.

Menjadi urgen bagi BI untuk membuat regulasi yang mendorong penguatan tata kelola (governance) bank. Mau opsi pertama atau kedua yang dipilih, tidak masalah. Yang penting hal itu ditempuh dengan mengedepankan prinsip keadilan bagi semua investor, baik lokal maupun asing. Prinsip ini penting untuk memelihara sentimen positif yang sedang kita miliki. ●

1 komentar:

  1. Lebih baik saham asing dikurangi, kalau kondisi sekarang memang sudah tidak relevan lagi. Informasi yang bagus. Trims, salam kenal. Selamat dan sukses selalu untuk Anda.

    Salam kompak:
    Obyektif Cyber Magazine
    (obyektif.com)

    BalasHapus