Kemenangan
Kapitalis Lokal
Ferdy Hasiman ; Peneliti
di Indonesia Today
SUMBER : KOMPAS, 16
Mei 2012
Nasionalisasi sektor pertambangan mulai
terbuka, menyusul terbitnya PP No 24/2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Melalui PP ini, pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) asing wajib
mendivestasikan 51 persen saham secara bertahap setelah lima tahun berproduksi.
Tahun ke-10, 51 persen saham telah dipegang peserta Indonesia, yaitu pemerintah
pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
atau korporasi lokal melalui pelelangan.
Namun, beberapa perusahaan asing pesimistis.
Di antaranya Interpid Mining Ltd, perusahaan Australia yang mengoperasikan tambang
emas Tumpang Putih di Jawa Timur, yang meragukan kesanggupan finansial
pemerintah. Boleh jadi divestasi akan jatuh ke kapitalis lokal, seperti kasus
divestasi 24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara.
Pasca-Soeharto dan pemberlakuan UU No 32/2004
tentang Otonomi Daerah, konsentrasi pengusaha memang mengarah ke daerah karena
IUP menjadi wewenang bupati. Sampai 2012, total IUP 10.235. Dari jumlah itu,
hanya 4.151 IUP yang dinyatakan bersih dan 6.084 IUP ilegal.
Tambang rupanya jadi mainan baru bupati untuk
konsolidasi politik lokal. Untuk biaya pilkada saja seorang calon harus punya
dana minimal Rp 5 miliar. Padahal, uang itu tak sebanding dengan pendapatan
bupati selama 5 tahun masa jabatannya. Realitas itu paling tidak memberi
gambaran bahwa nasionalisasi pertambangan hanya memindahkan persoalan dari
kapitalis global ke kapitalis lokal.
Daya Tawar Besar
Divestasi IUP asing ke pihak lokal menjadi
berkah bagi bupati. Posisi tawar politiknya makin besar. IUP asing adalah
barang bagus untuk dijual. Pandangan kapitalis lokal pun membelalak ke daerah.
Mereka mulai cari strategi mendapat IUP/IUPK potensial itu.
Caranya mudah.
Tinggal melobi partai politik karena bupati umumnya berasal dari parpol.
Kapitalis lokal pun bisa memainkan peran
ganda: jadi politikus sekaligus pengusaha. Tak heran jika banyak pengusaha
sekarang menjadi pengurus dan penguasa parpol. Jika tak mendapat tempat di
parpol, mereka menunggu proses akhir, yaitu pemilu, karena parpol butuh dana
untuk kampanye.
Apalagi di alam demokrasi sekarang, korporasi
memiliki posisi istimewa. Korporasi punya hak politik dan boleh menyumbang ke
parpol. Kepentingan korporasi menancapkan pengaruh pada parpol melalui bantuan
dana tak lain memudahkan mereka mendapat akses ke IUP asing itu.
Maka, nasionalisasi pertambangan akan membuka
ruang besar untuk korupsi. Korupsi bisa terjadi dalam proses lelang.
Prinsipnya, penawar tertinggi akan keluar sebagai pemenang. Namun, dalam
praktiknya, siapa yang memiliki akses dengan kekuasaan akan jadi pemenang.
Lelang memang selalu diumumkan ke publik melalui media agar kelihatan
transparan. Namun, proses pengambilan keputusan di ruang tertutup tidak pernah
transparan.
Akibatnya, yang keluar sebagai pemenang
kemudian hanya segelintir pihak. Jika ada perusahaan baru keluar sebagai
pemenang, perlu diteliti dulu profil pemilik serta hubungan dengan pengambil
kebijakan dan parpol.
Boleh jadi, IUP/IUPK asing akan jatuh ke 40
orang kaya yang menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto nasional versi
majalah Forbes, 2011. Apalagi kebanyakan di antara mereka berbisnis tambang.
Kapitalis lokal ini akan makin gemuk karena aset-aset mereka akan bertambah
besar. Nasionalisasi pertambangan pun menjadi perayaan kemenangan bagi
kapitalis lokal untuk mengakumulasi modal.
Dalam kondisi semacam ini, kapitalis
lokal-global makin menampilkan watak hiper-komersialnya. Mereka sesuka hati
mencuri dan merampok sumber daya alam hanya untuk kepentingan komersial dan
akumulasi modal.
Ke depan, ekspor bijih nikel akan terus
meningkat di atas 800 persen dan ekspor tembaga di atas 1.100 persen (Kompas,
13/4/2012). Belum lagi jika menghitung cadangan batubara kita yang hanya 4.328
juta ton atau 0,5 persen dari total cadangan dunia. Itu artinya, tahun 2020
Indonesia akan krisis batubara. PLN akan mengimpor batubara dalam jumlah besar
untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik. Industri-industri domestik tercekik
lantaran keterbatasan bahan baku. Dalam kondisi itu, gelombang pengangguran dan
kemiskinan tak terbendung.
Realitas ini membenarkan laporan Bank
Pembangunan Asia tahun 2012. Tingkat pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk
Indonesia, meningkat tahun 2013. Namun, kesenjangan sosial kian melebar karena
20 persen total aset nasional dikuasai 5 persen orang terkaya. Kesetaraan
antarwarga pun tergerogoti. Rakyat miskin akan terus tersingkir dan kehilangan
hak sipil-politik.
Intervensi Negara
Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan aset-aset
yang menyangkut kehidupan rakyat dikendalikan negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat akan tercapai
jika pemerintah mengintervensi pengelolaan pertambangan.
Maka, jika pemerintah daerah tak sanggup
ambil alih kepemilikan 51 persen saham, divestasi perlu dilakukan pemerintah
pusat melalui perusahaan negara (BUMN). BUMN perlu bekerja sama dengan
bank-bank BUMN untuk mendanai proses divestasi. Tinggal sekarang, tugas
pemerintah melakukan reformasi perusahaan negara. Jauhkan BUMN dari politisi,
kolusi dalam pengangkatan direksi, lalu ciptakan iklim kompetitif dan
transparan.
Dana bagi hasil dipergunakan untuk membangun
infrastruktur publik, meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
memenuhi hak hidup warga negara. Selain itu, pemerintah perlu mengurangi
kerusakan lingkungan dan menggunakan SDA hanya untuk kebutuhan dasar.
Maka, pengolahan SDA jangan serampangan,
tetapi perlu dibatasi. Pengolahan industri pertambangan hanya untuk memperkuat
industri domestik, seperti pertanian dan manufaktur. Akhirnya, kebahagiaan
bukan pada penguasaan teknologi pertambangan, melainkan sejauh mana pemimpin
mempertahankan masa depan Indonesia berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar