Rabu, 16 Mei 2012

Kemenangan Kapitalis Lokal


Kemenangan Kapitalis Lokal
Ferdy Hasiman ;  Peneliti di Indonesia Today
SUMBER :  KOMPAS, 16 Mei 2012


Nasionalisasi sektor pertambangan mulai terbuka, menyusul terbitnya PP No 24/2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Melalui PP ini, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) asing wajib mendivestasikan 51 persen saham secara bertahap setelah lima tahun berproduksi. Tahun ke-10, 51 persen saham telah dipegang peserta Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau korporasi lokal melalui pelelangan.

Namun, beberapa perusahaan asing pesimistis. Di antaranya Interpid Mining Ltd, perusahaan Australia yang mengoperasikan tambang emas Tumpang Putih di Jawa Timur, yang meragukan kesanggupan finansial pemerintah. Boleh jadi divestasi akan jatuh ke kapitalis lokal, seperti kasus divestasi 24 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara.

Pasca-Soeharto dan pemberlakuan UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah, konsentrasi pengusaha memang mengarah ke daerah karena IUP menjadi wewenang bupati. Sampai 2012, total IUP 10.235. Dari jumlah itu, hanya 4.151 IUP yang dinyatakan bersih dan 6.084 IUP ilegal.

Tambang rupanya jadi mainan baru bupati untuk konsolidasi politik lokal. Untuk biaya pilkada saja seorang calon harus punya dana minimal Rp 5 miliar. Padahal, uang itu tak sebanding dengan pendapatan bupati selama 5 tahun masa jabatannya. Realitas itu paling tidak memberi gambaran bahwa nasionalisasi pertambangan hanya memindahkan persoalan dari kapitalis global ke kapitalis lokal.

Daya Tawar Besar

Divestasi IUP asing ke pihak lokal menjadi berkah bagi bupati. Posisi tawar politiknya makin besar. IUP asing adalah barang bagus untuk dijual. Pandangan kapitalis lokal pun membelalak ke daerah. Mereka mulai cari strategi mendapat IUP/IUPK potensial itu. 

Caranya mudah. Tinggal melobi partai politik karena bupati umumnya berasal dari parpol.
Kapitalis lokal pun bisa memainkan peran ganda: jadi politikus sekaligus pengusaha. Tak heran jika banyak pengusaha sekarang menjadi pengurus dan penguasa parpol. Jika tak mendapat tempat di parpol, mereka menunggu proses akhir, yaitu pemilu, karena parpol butuh dana untuk kampanye.

Apalagi di alam demokrasi sekarang, korporasi memiliki posisi istimewa. Korporasi punya hak politik dan boleh menyumbang ke parpol. Kepentingan korporasi menancapkan pengaruh pada parpol melalui bantuan dana tak lain memudahkan mereka mendapat akses ke IUP asing itu.

Maka, nasionalisasi pertambangan akan membuka ruang besar untuk korupsi. Korupsi bisa terjadi dalam proses lelang. Prinsipnya, penawar tertinggi akan keluar sebagai pemenang. Namun, dalam praktiknya, siapa yang memiliki akses dengan kekuasaan akan jadi pemenang. Lelang memang selalu diumumkan ke publik melalui media agar kelihatan transparan. Namun, proses pengambilan keputusan di ruang tertutup tidak pernah transparan.

Akibatnya, yang keluar sebagai pemenang kemudian hanya segelintir pihak. Jika ada perusahaan baru keluar sebagai pemenang, perlu diteliti dulu profil pemilik serta hubungan dengan pengambil kebijakan dan parpol.

Boleh jadi, IUP/IUPK asing akan jatuh ke 40 orang kaya yang menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto nasional versi majalah Forbes, 2011. Apalagi kebanyakan di antara mereka berbisnis tambang. Kapitalis lokal ini akan makin gemuk karena aset-aset mereka akan bertambah besar. Nasionalisasi pertambangan pun menjadi perayaan kemenangan bagi kapitalis lokal untuk mengakumulasi modal.

Dalam kondisi semacam ini, kapitalis lokal-global makin menampilkan watak hiper-komersialnya. Mereka sesuka hati mencuri dan merampok sumber daya alam hanya untuk kepentingan komersial dan akumulasi modal.

Ke depan, ekspor bijih nikel akan terus meningkat di atas 800 persen dan ekspor tembaga di atas 1.100 persen (Kompas, 13/4/2012). Belum lagi jika menghitung cadangan batubara kita yang hanya 4.328 juta ton atau 0,5 persen dari total cadangan dunia. Itu artinya, tahun 2020 Indonesia akan krisis batubara. PLN akan mengimpor batubara dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik. Industri-industri domestik tercekik lantaran keterbatasan bahan baku. Dalam kondisi itu, gelombang pengangguran dan kemiskinan tak terbendung.

Realitas ini membenarkan laporan Bank Pembangunan Asia tahun 2012. Tingkat pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk Indonesia, meningkat tahun 2013. Namun, kesenjangan sosial kian melebar karena 20 persen total aset nasional dikuasai 5 persen orang terkaya. Kesetaraan antarwarga pun tergerogoti. Rakyat miskin akan terus tersingkir dan kehilangan hak sipil-politik.

Intervensi Negara

Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan aset-aset yang menyangkut kehidupan rakyat dikendalikan negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat akan tercapai jika pemerintah mengintervensi pengelolaan pertambangan.

Maka, jika pemerintah daerah tak sanggup ambil alih kepemilikan 51 persen saham, divestasi perlu dilakukan pemerintah pusat melalui perusahaan negara (BUMN). BUMN perlu bekerja sama dengan bank-bank BUMN untuk mendanai proses divestasi. Tinggal sekarang, tugas pemerintah melakukan reformasi perusahaan negara. Jauhkan BUMN dari politisi, kolusi dalam pengangkatan direksi, lalu ciptakan iklim kompetitif dan transparan.

Dana bagi hasil dipergunakan untuk membangun infrastruktur publik, meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan memenuhi hak hidup warga negara. Selain itu, pemerintah perlu mengurangi kerusakan lingkungan dan menggunakan SDA hanya untuk kebutuhan dasar.

Maka, pengolahan SDA jangan serampangan, tetapi perlu dibatasi. Pengolahan industri pertambangan hanya untuk memperkuat industri domestik, seperti pertanian dan manufaktur. Akhirnya, kebahagiaan bukan pada penguasaan teknologi pertambangan, melainkan sejauh mana pemimpin mempertahankan masa depan Indonesia berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar