Kamis, 03 Mei 2012

Karakter Bangsa


Karakter Bangsa
Hajriyanto Y Thohari; Wakil Ketua MPR RI
SUMBER : SINDO, 03 Mei 2012


Oscar Washington Tabarez, pelatih nasional sepak bola Uruguay,dalam wawancara dengan Kompas seusai pertandingan melawan tim nasional Indonesia di Stadion Bung Karno, Senayan,6 Oktober 2010, dengan skor 7–1 itu, memberikan saran yang sangat menarik: “Indonesia harus menatap ke depan dan mengutamakan pembinaan pemainpemain muda. Penting juga ditanamkan sejak awal agar mereka cinta pada bangsanya.” (Kompas, 8 Oktober 2010).

Sangat menarik Tabarez menghubungkan sepak bola dan cinta bangsa.Apakah saran yang sangat spontan dan tulus itu disampaikan karena Tabarez tidak melihat sama sekali keuletan dan kegigihan pemainpemain Indonesia di lapangan sebagai indikasi kuatnya rasa cinta mereka pada bangsanya?

Apakah sebagai pelatih yang berpengalaman panjang menggembleng para pemain, dia tidak menyaksikan militansi mereka untuk berjuang mengejar dan merebut bola demi menjunjung tinggi harkat, martabat, dan kehormatan bangsanya? Oscar Tabarez tidak mengatakan hal itu secara eksplisit, kecuali menyarankan “tanamkan sejak awal agar mereka cinta pada bangsanya!”.

Banalisasi Kemerosotan

Saran Tabarez itu mengingatkan kita pada sorotan tajam dari berbagai pihak bahwa telah terjadi erosi dan dekadensi karakter bangsa yang meliputi patriotisme,nasionalisme, etika, dan rasa percaya diri sebagai bangsa. Banalisasi dari kemerosotan karakter ini ditunjukkan dalam bentuk antara lain semakin masifnya tindak korupsi yang sudah sampai pada level membahayakan eksistensi negara.

Alih-alih kaderisasi dan regenerasi koruptor berjalan dengan sangat sukses dan banal yang ditandai dengan pembelian pelaku korupsi di negeri ini. Lihat saja antropologi dan sosiologi korupsi di negeri ini. Para pelaku korupsi adalah pejabat-pejabat negara lintas trias politika legislatif, eksekutif, yudikatif, dan last but not least partai-partai politik. Artinya, para pelaku korupsi adalah orang-orang yang mengerti dengan sangat baik taksonomi dan anatomi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Mereka adalah orangorang yang tahu betul bahwa postur APBN/APBD dari tahun ke tahun tidak berubah secara signifikan: 60% habis untuk anggaran rutin dan biaya barang, 20% habis untuk mencicil utang negara, dan hanya 20% untuk belanja modal anggaran pembangunan. Mereka juga tahu sekali bahwa 75–80% APBD habis untuk biaya barang. Betapa tragisnya, sudah tahu anggaran pembangunan yang benar-benar untuk rakyat porsinya kecil masih juga mereka sampai hati mengorupsinya.

Rasanya tidak mungkin perilaku koruptif itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki rasa cinta pada bangsa dan negaranya. Bukankah sangat sederhana untuk menyadari bahwa korupsi adalah tindakan subversi yang jauh lebih membahayakan bangsa dan negara ini dari pada invasi ideologi atau militer asing? Negara ini benar-benar akan ambruk manakala perilaku koruptif tidak bisa dihentikan dengan segera.

Saya melihat korupsi sudah bukan lagi budaya,melainkan sudah menjadi pandangan dunia (world view) bangsa ini. Ini persoalan nation and character building. Ada yang salah dalam pembangunan manusia Indonesia selama ini.

Ironisnya banalisasi kemerosotan karakter ini terjadi pada saat dasar- dasar konstitusional kita menegaskan bahwa pembangunan karakter, yakni untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi sasaran dan tujuan utama pendidikan nasional. Seperti diungkapkan dalam kata-kata bijak: the crown and glory of life is character, juga dalam kalimat Justice Antonin Scalia: the only thing in the world not for sale is character.

Pemimpin dan Karakternya

Kita telah banyak mendengar laporan tentang kegagalan karakter suatu bangsa. Ini bukan merupakan sesuatu yang baru: banyak bangsa mengalami kejatuhan atau penurunan karakter. Hanya, barangkali yang sangat mengganggu pikiran kita adalah frekuensi kegagalan yang terjadi sekarang ini di negeri ini,luas dan mendalamnya akibat dari kegagalan tersebut, serta jangkauan kegagalan yang dialami yang meliputi hampir setiap bidang kehidupan.

Para pemimpin mempunyai tanggung jawab terhadap pembangunan karakter. Karena karakter tidak diajarkan,tetapi ditanamkan,ditumbuhkan,dan dikembangkan melalui contoh, para pemimpin seharusnya mempunyai karakter ideal yang dapat menjadi model bagi komunitasnya. Para pemimpin harus sadar bahwa karakter mereka akan memengaruhi produktivitas, budaya, dan reputasi bangsa yang mereka pimpin, baik dalam level paling kecil yaitu keluarga maupun level besar yaitu negara.

Mereka harus mengembangkan positive leadership character di dalam lingkungan mereka dengan menggali dan menemukan kembali nilai-nilai yang sebenarnya merupakan karakter yang ada dalam bangsa itu sendiri. Seorang pelatih Basketball Hall of Fame, John Wooden, mengatakan bahwa a life not lived for others is not a live, and that there is no greater joy than doing something for others (Wooden, 1997).

Ungkapan ini langsung masuk ke dalam inti makna dari “apa arti menjadi pemimpin.” Menjadi pemimpin dalam hal karakter artinya adalah bahwa hidup itu bukan hanya mengenai apa yang dapat kita penuhi atau capai, tetapi mengenai sikap peduli pada—dan berbuat sesuai dengan— kebutuhan orang lain. Setiap pemimpin (dan kita semua pada sejatinya adalah pemimpin) di level apa pun mempunyai tanggung jawab yang melekat untuk mengembangkan dirinya, termasuk dalam hal ini kapasitas karakter kepemimpinan (leadership character)-nya.

Artinya, seorang pemimpin harus menjadi teladan terkemuka.Seperti dikatakan dalam ungkapan: to lead is to influence, para pemimpin harus menjadi contoh karena memang karakter tidak diajarkan, tetapi diberikan melalui contoh atau teladan. Pertanyaannya, sebenarnya apa yang hilang dari kepemimpinan yang ada sekarang ini?

Walaupun kita semua setuju bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang amat penting, tampaknya kita juga lebih setuju bahwa kita mempunyai masalah dengan kinerja dari para pemimpin kita baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan partai-partai politik. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan fakta terjadi defisit kepemimpinan (leadership deficit) di Indonesia.

Akhirnya, sebagai penutup, pujangga Shakespeare mengatakan, my honor is my life/ both are born in one/ take honor from me/ and my life is done. Walhasil, yang perlu diingat adalah bahwa jika sebagai seorang pemimpin kita membiarkan selfishness, ketidakjujuran, dan kepalsuan ada pada diri kita sendiri, kita tidak perlu heran jika kita melihat sifat-sifat buruk di atas akan ada dan tersebar di dalam masyarakat dan di dunia. Percayalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar