Hidup Harmoni Menuju Kebahagiaan
Mahathera Nyanasuryanadi; Ketua umum Dewan Pimpinan
Sangha Agung Indonesia
SUMBER : SUARA
KARYA, 07 Mei 2012
Setiap bulan Waisak, umat Buddha Indonesia dan
seluruh dunia merayakan Tri Suci Waisak. Peringatan Waisak ditujukan untuk
mengenang tiga peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan guru Agung Buddha
Gautama.
Secara historis tercatat pada 623 SM di Taman
Lumbini, Pangeran Sidharta Gautama lahir. Tahun 588 SM, Buddhagaya petapa
Sidharta Gautama mencapai pencerahan sempurna atau ke-Buddhaan. Kemudian, tahun
543 SM, Sang Sidharta wafat di hutan Sala milik suku Malla, di Kusinara.
Ketiga peristiwa itu tampak biasa saja dan tidak
ada yang istimewa. Namun, apabila kita renungkan secara lebih mendalam, akan
tersirat 'mutiara-mutiara' kemanusiaan universal tak terbatas. Buddha Gautama
mampu menggunakan waktu hidup dengan sempurna terdorong oleh semangat
altruistik berupa dorongan kasih terhadap derita makhluk-makhluk dan derita
kerusakan dunia.
Sang Sidharta mengorbankan karier dan kemewahan
duniawi yang cemerlang dengan memilih hidup sederhana, mengoptimalkan potensi
diri dengan praktik langsung menuju jalan pembebasan. Sidharta Gautama tidak
pernah berhenti berkarya, berbagi, mengajar, hingga akhir hidup-Nya. Dialah
inspirator transformasi dari kegelapan kepada pencerahan, kebahagiaan dan
pembebasan. Ajaran Dharma ajaran Buddha, menjadi inspirasi bagi banyak
peradaban luhur di seluruh dunia sampai sekarang, baik di bidang kemanusiaan,
penyelamatan lingkungan, seni dan budaya, maupun ilmu pengetahuan.
Kesemuanya menekankan pada dua aspek utama
ajaran Buddha, yakni kasih atau kepedulian dan kebijaksanaan. Pencapaian Buddha
bukanlah suatu kebetulan, atau sebuah misteri sehingga hanya pribadi Sidharta
yang mampu mencapainya. Buddha berarti insan yang telah bangkit, mengetahui,
dan memahami. Kapasitas untuk menjadi bangkit, memahami, dan mengasihi
merupakan hakikat Kebuddhaan. Seseorang yang mampu mendisiplinkan diri, menata
moralitas, mengoptimalkan potensi mental dengan cara benar, akan mampu
mengalami kebahagiaan dari pencerahan.
Teks klasik Maha Dsatipna Sutta memberikan
harapan yang jelas apabila kita berlatih dengan cara benar, memelihara
perhatian penuh (eling) mengikuti metode seperti yang telah dipraktikkan Sidharta
Gautama. Dalam periode tertentu manusia akan mengalami kebahagiaan tertinggi
dari pencerahan. Cara berlatihnya dengan menggunakan perangkat indera, tubuh,
dan batin yang dimiliki manusia, sangat manusiawi dan jauh dari jebakan
spekulatif.
Buddha memandang potensi manusia secara positif
di samping secara realistis memberikan rambu-rambu pentingnya keterampilan
dalam menghadapi hidup yang kaya dengan tantangan. Bahkan, kelahiran sebagai
manusia dianggap sebagai sebuah keberuntungan yang sangat istimewa. Dalam teks
Maha Bodhipatha Krama atau yang lebih dikenal sebagai Lamrim Chenmo karya Atisa
Dipakarasrijana dinyatakan, bahwa dengan tubuh manusia, seseorang mengembangkan
benih Buddha (bodhicitta) sebagai dasar jalan menuju keadaan pencerahan.
Terlahir sebagai manusia adalah sebuah keberuntungan besar sehingga harus
dipergunakan sebaik-baiknya.
Mengikuti jalan Buddha bukanlah jalan yang
pasrah, menyerahkan diri kepada sesuatu yang Adi Kodrati sembari berharap bahwa
segala sesuatunya akan beres dengan sedirinya. Jalan Buddha adalah jalan
berlatih, berkontribusi, bukan jalan berpasrah. Yang dibutuhkan adalah
pemahaman dan pengertian yang benar mengenai latihan.
Buddha sangat mengharapkan para siswa untuk
berlatih dengan rajin. Dalam teks Dhammadayada Sutta Buddha menasehati para
siswa agar menjadi manusia pembelajar agar bisa menjadi pewaris kebenaran
dharma-Nya bukan menjadi pewaris materi. Menjadi pewaris kebenaran akan jauh
lebih berharga dari pada pewaris apa pun dengan latihan perhatian atau sadar
penuh terhadap keberlangsungan batin dan jasmani atau latihan mawas diri dan
latihan kasih atau hidup harmoni.
Sesungguhnya hidup harmoni dengan sesama dan
dengan alam semesta membutuhkan latihan mawas diri. Latihan ini menjadi gerbang
menuju pemahaman jernih bahwa alam semesta dengan segala isinya memiliki
hubungan erat dan saling membutuhkan. Sesuatu yang disebut pribadi atau diri
manusia menurut ajaran Buddha sesungguhnya terbuat dari elemen-elemen bukan
diri. Bahkan, jiwa dalam agama Buddha dipandang sebagai kumpulan agregat
semata. Kebenaran ini akan terlihat dengan sangat jelas manakala berlatih mawas
diri secara intensif.
Latihan merenungkan makanan yang kita makan,
pakaian, dan berbagai fasilitas lain yang dipergunakan merupakan buah karya
alam dan melibatkan manusia tak terhitung banyaknya. Tidak ada manusia yang
mampu hidup sendiri. Hal ini membuktikan kebenaran Buddha bahwa segala sesuatu
saling terkait sehingga stiap insan manusia dituntut saling menghargai sesama
dan alam semesta. Dhus, mawas diri dan hidup harmoni menjadi semakin relevan
dalam hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia sebagai sebuah mozaik kehidupan
majemuk dengan kekayaan suku, agama, ras, budaya sangat membutuhkan ajaran
mawas diri dan hidup harmoni.
Secara kreatif cendekiawan Buddhis Nusantara di
abad 14, Mpu Tantular telah menulis risalah Kakawin Sutasoma yang menceritakan
intisari kesunyataan melalui perjalanan hidup Bodhisattva Sutasoma. Karya agung
ini menjadi sangat terkenal karena di dalamnya termuat gagasan luhur dalam seloka
mangkang jinatwa lawan iwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma
mangrwa.
Kata Bhinneka Tunggal Ika diadopsi, dijadikan
sebagai jangkar pemersatu bangsa Indonesia sampai sekarang. Ini merupakan
contoh luhur nenek moyang kita yang memahami ajaran Buddha secara kreatif dam
menggali nilai-nilainya, bukan hanya menerima teks kitab suci secara pasif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar