Senin, 07 Mei 2012

Hidup Harmoni Menuju Kebahagiaan

Hidup Harmoni Menuju Kebahagiaan
Mahathera Nyanasuryanadi; Ketua umum Dewan Pimpinan Sangha Agung Indonesia
SUMBER :  SUARA KARYA, 07 Mei 2012


Setiap bulan Waisak, umat Buddha Indonesia dan seluruh dunia merayakan Tri Suci Waisak. Peringatan Waisak ditujukan untuk mengenang tiga peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan guru Agung Buddha Gautama.

Secara historis tercatat pada 623 SM di Taman Lumbini, Pangeran Sidharta Gautama lahir. Tahun 588 SM, Buddhagaya petapa Sidharta Gautama mencapai pencerahan sempurna atau ke-Buddhaan. Kemudian, tahun 543 SM, Sang Sidharta wafat di hutan Sala milik suku Malla, di Kusinara.

Ketiga peristiwa itu tampak biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Namun, apabila kita renungkan secara lebih mendalam, akan tersirat 'mutiara-mutiara' kemanusiaan universal tak terbatas. Buddha Gautama mampu menggunakan waktu hidup dengan sempurna terdorong oleh semangat altruistik berupa dorongan kasih terhadap derita makhluk-makhluk dan derita kerusakan dunia.

Sang Sidharta mengorbankan karier dan kemewahan duniawi yang cemerlang dengan memilih hidup sederhana, mengoptimalkan potensi diri dengan praktik langsung menuju jalan pembebasan. Sidharta Gautama tidak pernah berhenti berkarya, berbagi, mengajar, hingga akhir hidup-Nya. Dialah inspirator transformasi dari kegelapan kepada pencerahan, kebahagiaan dan pembebasan. Ajaran Dharma ajaran Buddha, menjadi inspirasi bagi banyak peradaban luhur di seluruh dunia sampai sekarang, baik di bidang kemanusiaan, penyelamatan lingkungan, seni dan budaya, maupun ilmu pengetahuan.

Kesemuanya menekankan pada dua aspek utama ajaran Buddha, yakni kasih atau kepedulian dan kebijaksanaan. Pencapaian Buddha bukanlah suatu kebetulan, atau sebuah misteri sehingga hanya pribadi Sidharta yang mampu mencapainya. Buddha berarti insan yang telah bangkit, mengetahui, dan memahami. Kapasitas untuk menjadi bangkit, memahami, dan mengasihi merupakan hakikat Kebuddhaan. Seseorang yang mampu mendisiplinkan diri, menata moralitas, mengoptimalkan potensi mental dengan cara benar, akan mampu mengalami kebahagiaan dari pencerahan.

Teks klasik Maha Dsatipna Sutta memberikan harapan yang jelas apabila kita berlatih dengan cara benar, memelihara perhatian penuh (eling) mengikuti metode seperti yang telah dipraktikkan Sidharta Gautama. Dalam periode tertentu manusia akan mengalami kebahagiaan tertinggi dari pencerahan. Cara berlatihnya dengan menggunakan perangkat indera, tubuh, dan batin yang dimiliki manusia, sangat manusiawi dan jauh dari jebakan spekulatif.

Buddha memandang potensi manusia secara positif di samping secara realistis memberikan rambu-rambu pentingnya keterampilan dalam menghadapi hidup yang kaya dengan tantangan. Bahkan, kelahiran sebagai manusia dianggap sebagai sebuah keberuntungan yang sangat istimewa. Dalam teks Maha Bodhipatha Krama atau yang lebih dikenal sebagai Lamrim Chenmo karya Atisa Dipakarasrijana dinyatakan, bahwa dengan tubuh manusia, seseorang mengembangkan benih Buddha (bodhicitta) sebagai dasar jalan menuju keadaan pencerahan. Terlahir sebagai manusia adalah sebuah keberuntungan besar sehingga harus dipergunakan sebaik-baiknya.

Mengikuti jalan Buddha bukanlah jalan yang pasrah, menyerahkan diri kepada sesuatu yang Adi Kodrati sembari berharap bahwa segala sesuatunya akan beres dengan sedirinya. Jalan Buddha adalah jalan berlatih, berkontribusi, bukan jalan berpasrah. Yang dibutuhkan adalah pemahaman dan pengertian yang benar mengenai latihan.

Buddha sangat mengharapkan para siswa untuk berlatih dengan rajin. Dalam teks Dhammadayada Sutta Buddha menasehati para siswa agar menjadi manusia pembelajar agar bisa menjadi pewaris kebenaran dharma-Nya bukan menjadi pewaris materi. Menjadi pewaris kebenaran akan jauh lebih berharga dari pada pewaris apa pun dengan latihan perhatian atau sadar penuh terhadap keberlangsungan batin dan jasmani atau latihan mawas diri dan latihan kasih atau hidup harmoni.

Sesungguhnya hidup harmoni dengan sesama dan dengan alam semesta membutuhkan latihan mawas diri. Latihan ini menjadi gerbang menuju pemahaman jernih bahwa alam semesta dengan segala isinya memiliki hubungan erat dan saling membutuhkan. Sesuatu yang disebut pribadi atau diri manusia menurut ajaran Buddha sesungguhnya terbuat dari elemen-elemen bukan diri. Bahkan, jiwa dalam agama Buddha dipandang sebagai kumpulan agregat semata. Kebenaran ini akan terlihat dengan sangat jelas manakala berlatih mawas diri secara intensif.

Latihan merenungkan makanan yang kita makan, pakaian, dan berbagai fasilitas lain yang dipergunakan merupakan buah karya alam dan melibatkan manusia tak terhitung banyaknya. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri. Hal ini membuktikan kebenaran Buddha bahwa segala sesuatu saling terkait sehingga stiap insan manusia dituntut saling menghargai sesama dan alam semesta. Dhus, mawas diri dan hidup harmoni menjadi semakin relevan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia sebagai sebuah mozaik kehidupan majemuk dengan kekayaan suku, agama, ras, budaya sangat membutuhkan ajaran mawas diri dan hidup harmoni.

Secara kreatif cendekiawan Buddhis Nusantara di abad 14, Mpu Tantular telah menulis risalah Kakawin Sutasoma yang menceritakan intisari kesunyataan melalui perjalanan hidup Bodhisattva Sutasoma. Karya agung ini menjadi sangat terkenal karena di dalamnya termuat gagasan luhur dalam seloka mangkang jinatwa lawan iwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa.

Kata Bhinneka Tunggal Ika diadopsi, dijadikan sebagai jangkar pemersatu bangsa Indonesia sampai sekarang. Ini merupakan contoh luhur nenek moyang kita yang memahami ajaran Buddha secara kreatif dam menggali nilai-nilainya, bukan hanya menerima teks kitab suci secara pasif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar