Hasil
Analisis PPATK dan Pajak
Muhammad
Yusuf ; Kepala
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
Kandidat
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 23 Mei 2012
Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, saya terus
merasa galau. Kenapa kita terus berpikir atau mencari hal-hal yang kurang
signifikan? Belum lama ini, koran menulis bahwa pegawai negeri sipil yang
berpenghasilan Rp 2 juta tidak akan dikenai pajak. Sebelumnya, kita mendengar
pula kehebohan akan dipungutnya pajak bagi warung makan sekelas warung Tegal
untuk mendongkrak pendapatan Pemerintah Provinsi DKI. Sekalipun sempat ditunda,
wacana ini terus digulirkan untuk dapat direalisasi.
Saya tidak pada posisi menilai apakah hal
yang seperti ini perlu dilakukan atau tidak, tapi lebih pada mengajak kita
semua melihat hal yang lebih besar guna menggalang pendapatan negara melalui
pemungutan pajak yang dilakukan secara efektif dan efisien. Tengok saja Laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diterima oleh Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) sampai Maret 2012, yakni ada 90.392 kasus yang
dilaporkan oleh 359 penyedia jasa keuangan (PJK). Sementara itu, yang
disampaikan kepada penyidik sebanyak 1.951 hasil analisis. Adapun Laporan
Transaksi Keuangan Tunai, transaksi yang dilakukan senilai Rp 500 juta dalam
sehari sebanyak 10.724.364 laporan yang dilakukan oleh 398 PJK, sedangkan
Laporan Pembawaan Uang Tunai, baik ke dalam maupun ke luar negeri, sebesar Rp
100 juta per hari sebanyak 7.296 laporan yang diperoleh dari Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai melalui 11 lokasi pelaporan.
Katakanlah, sampai saat ini, penyidik baru
berhasil menindaklanjuti 10 persen dari hasil analisis yang disampaikan oleh
PPATK secara pidana. Tapi, dari sisi lain, pihak-pihak terlapor tersebut dapat
dijerat dengan pendekatan lain, dengan mengejar kewajiban pajak yang harus
dibayarkannya kepada negara. Saya merasa yakin dana besar yang dimiliki oleh
para terlapor itu tidak dan/atau belum dibayar pajaknya sesuai dengan ketentuan
yang ada.
Bila saja semua aparat penegak hukum, baik
penyidik, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea dan Cukai, maupun instansi
terkait lainnya dapat berkoordinasi, bekerja dengan baik dan optimal, serta
bahu-membahu, niscaya kita bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah. Selain itu, kita dapat berusaha bertahan hidup dengan
tidak terbebani pajak dari penghasilan mereka yang relatif kecil.
Pada kondisi lain, kita melihat beberapa
perusahaan besar di bidang perkebunan ditengarai telah melakukan manipulasi
restitusi pajak atau tidak membayar pajak sebagaimana mestinya dengan nilai Rp
7,2 triliun. Begitu juga perusahaan-perusahaan yang berada di bawah naungan
Asian Agri Group yang diduga telah melakukan penggelapan pajak dengan cara
melakukan pengecilan nilai pajak. Kerugian negara atas penggelapan pajak ini
diperkirakan senilai Rp 1,2 triliun lebih. Namun, sayangnya, penanganan perkara
itu untuk sementara "distop", karena majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat berpendapat pengajuan berkas perkara tersebut oleh jaksa penuntut
umum dalam persidangan bersifat prematur.
Guna menggenjot pendapatan negara, salah
satunya atau bahkan porsi yang terbesar adalah dengan memungut pajak kepada
masyarakat, baik pegawai negeri, karyawan, perusahaan, maupun obyek pajak
lainnya. Akan muncul masalah bila dalam proses pemungutan itu dirasakan ada
ketidakadilan. Pegawai yang rutin dipotong pajak penghasilannya dan pengusaha
yang membayar pajak akan merasa dizalimi bila perusahaan-perusahaan besar
tersebut seenaknya mengemplang pajak senilai triliunan rupiah tanpa ada
penegakan hukum yang jelas. Selain itu, ketidakadilan yang ada akan merusak
iklim persaingan usaha yang sehat dan produktivitas bekerja. Bila hal ini tidak
dirawat dan ditata secara baik, pada akhirnya akan dapat mematikan daya saing
Indonesia di kancah internasional. Selain itu, akan timbul dampak yang buruk,
tidak hanya pada perekonomian Indonesia secara makro, tapi juga budaya dalam
berbangsa dan bernegara.
Pencucian Uang
Pencucian uang merupakan kejahatan
terorganisasi (organized crime) yang sering kali dilakukan dengan
teknik-teknik dan modus operandi yang terus berkembang, dengan menggunakan
teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup canggih. Acap kali pola yang
dimainkan begitu kompleks, sehingga diperlukan pengetahuan khusus dalam
menelusuri aliran dana yang dilakukan dan menilai kewajaran dari transaksi yang
dilakukan para pelaku.
Selain melalui lembaga keuangan serta
penyedia barang dan jasa, pencucian uang kerap dilakukan dengan transaksi
perdagangan internasional (trade base money laundering). Untuk
memudahkan, kita ambil gambaran terkait dengan kasus perusahaan, misalnya PT X
menggunakan pola mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari
beban pajak yang semestinya yang dibayarkan dengan cara mengalirkan laba yang
diperolehnya ke negara lain, seperti Mauritius, Hong Kong, Makau, dan British
Virgin Island. Surat pemberitahuan tahunan kelompok usaha PT X kepada
Direktorat Jenderal Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi.
Penggelapan pajak ini dapat dilihat dari
indikasi adanya transaksi mencurigakan yang dilakukan lewat penyedia jasa
keuangan dengan mengalirkan uang yang diduga berasal dari hasil kejahatan di
bidang perpajakan ke perusahaan afiliasi di luar negeri yang ternyata fiktif.
Penyimpangan perpajakan ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 huruf v Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, yang menyebutkan hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh
dari tindak pidana di bidang perpajakan. Uang hasil kejahatan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam sistem keuangan sebagai upaya mengaburkan atau
menyembunyikan uang hasil kejahatan sehingga seolah-olah menjadi uang yang sah.
Dalam contoh kasus lain dapat dilihat bahwa
pegawai (A) bekerja sama dengan kantor akuntan publik melakukan markup
biaya jasa konsultan pada BUMN X. Selisih antara biaya jasa konsultan yang
dibayarkan oleh BUMN X dan biaya jasa konsultan yang wajar (hasil markup
biaya jasa konsultan) diserahkan kepada A sebesar Rp 3 miliar untuk dibagikan
kepada oknum pihak-pihak terkait. Dalam mengalihkan dana dari rekening BUMN
tersebut ke rekening pribadi, pelaku menggunakan empat rekening yang dibuka di
dua bank berbeda.
Sebagian uang hasil korupsi tersebut
ditransfer ke dealer mobil untuk membeli dua unit mobil mewah. Untuk
mempersulit penelusuran dana yang masuk ke rekening berasal dari hasil korupsi
pada BUMN X, pelaku melakukan transaksi pemindahan dana dari rekening satu ke
rekening lain, serta sebagian besar transaksi penarikan dana dilakukan secara
tunai. Dalam kasus ini, dapat dilakukan dua pendekatan, pertama, pihak penyidik
dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait dengan kasus korupsi dan
tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku. Di sisi lain, Ditjen
Pajak dapat mengejar pajak dari harta yang dimiliki oleh pelaku dan pihak-pihak
lain yang terkait.
Dalam kata lain, bila penyidik Kepolisian RI
atau Kejaksaan Agung mengalami kesulitan dalam mencari alat bukti atas laporan
hasil analisis yang disampaikan oleh PPATK untuk diajukan ke pengadilan, tidak
berarti ia bebas melenggang. Penyidik perpajakan dapat melakukan penyidikan
secara bersamaan atau menindaklanjuti kasus yang sama dengan melihat dari sisi
pelanggaran perpajakan yang dilakukan oleh terlapor.
Bukankah dalam rezim hukum perpajakan
"semua penghasilan yang mengakibatkan bertambahnya kekayaan harus dipungut
pajaknya", atau pertambahan kekayaan baik itu berasal dari uang haram atau
uang sah, semuanya harus dibayar pajaknya? Ide tersebut dapat dilaksanakan jika
terjadi kesamaan persepsi dan kehendak antara aparat penegak hukum dan Ditjen
Pajak dalam menyikapi hasil analisis PPATK. "Taxes, after all, are dues
that we pay for the privileges of membership in an society," kata
Franklin D. Roosevelt. Jangan sampai perusahaan telah mendapatkan kemudahan
perpajakan, kemudian mengemplang pajak, tapi pemiliknya tetap menjadi anggota
terhormat di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar