Jumat, 04 Mei 2012

BBM : Benar-Benar Membingungkan


BBM : Benar-Benar Membingungkan
Khudori; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
 Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
SUMBER : SINDO, 04 Mei 2012


Jika disurvei dan ditanyakan apa yang membuat publik bingung dalam tiga bulan terakhir, bukan mustahil responden menjawab bahan bakar minyak (BBM). Ketenangan masyarakat terganggu sejak pemerintah melansir rencana kenaikan harga BBM, Februari lalu.
Sejak itu aksi demonstrasi terjadi di banyak tempat. Ketika aksi mengalami eskalasi, kehidupan masyarakat terganggu.Rencana dibiarkan mengambang lama dan membawa dampak sosial, ekonomi, dan bahkan politik.Ujung semua ini adalah ketidakpastian. Salah satu tugas penting sebuah pemerintahan adalah menghadirkan kepastian. Tanpa hadirnya kepastian, baik kepastian hukum,kepastian berusaha maupun kejelasan kebijakan, pada hakikatnya sebuah negara sama saja tidak ada pemerintahan.

Tragisnya, kondisi itu yang tiga bulan terakhir dirasakan sebagian besar rakyat Indonesia. Kebijakan pengendalian BBM bersubsidi untuk menyelamatkan APBN agar tidak jebol itu maju-mundur, tak kunjung ditetapkan,bahkan mulurmungkret hingga tujuh kali sejak 2010.Yang muncul hanya sebuah “Lima Jurus Hemat BBM”yang disosialisasikan kemarin.

Dari kebijakan itu pemerintah terlihat kebingungan dalam mencari solusi sehingga solusi yang keluar kelihatannya tidak akan menyelesaikan masalah pelik konsumsi BBM Indonesia. Kalau kita coba tengok ke belakang, rencana yang disosialisasikan sudah begitu banyak. Pertama-tama dulu sempat digulirkan konsep smart card, yaitu pembatasan BBM bersubsidi antara angkutan umum dan mobil pribadi.

Kemudian muncul konsep pembatasan berdasarkan kapasitas mesin, tahun pembuatan kendaraan,hingga melarang semua kendaraan pribadi mengonsumsi premium. Tapi semua hanya wacana, tak kunjung dieksekusi. Pemerintah pernah melibatkan tim ahli dari UGM, ITB, dan UI untuk mengkaji secara akademis soal pembatasan BBM bersubsidi.

Hasilnya,muncul opsi menaikkan harga premium Rp500 per liter, menjaga batas atas harga pertamax, dan penjatahan. Hasil kajian masuk peti es. Nasib serupa terjadi dengan rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil pribadi berdasarkan kapasitas silinder mesin (cylinder capacity/cc). Rencana ini muncul setelah opsi kenaikan harga BBM 1 April kandas di DPR.

 Pekan ketiga April, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggulirkan wacana hanya mobil di bawah 1.500 cc yang boleh mengonsumsi BBM bersubsidi.Mobil berkapasitas 1.500 cc ke atas wajib memakai BBM nonsubsidi. Menteri Perindustrian MS Hidayat bahkan menyebutkan Presiden SBY akan mengumumkan kebijakan itu pada 24 April 2012. Publik kembali dibuat bingung karena pada 24 April tak ada keputusan kebijakan BBM.

Saat itu Menko Perekonomian Hatta Rajasa malah menyebutkan segala opsi pengendalian BBM bersubsidi masih didalami dan akan diumumkan pada waktu yang tepat, entah kapan. Di sisi lain, saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan, 26 April 2012, Presiden SBY memastikan kebijakan pengendalian BBM dimulai 1 Mei. Sampai artikel ini dibuat, kepastian belum ada. Publik tetap dibekap kebingungan oleh beragam wacana yang dilemparkan pemerintah tanpa satu pun dieksekusi.

Padahal,siapa pun mestinya sadar betul, ongkos ketidakpastian berimplikasi ke mana-mana. Bagi pemerintah, ketidakpastian akan menaikkan anggaran subsidi setidaknya Rp5 triliun tiap bulan. Anggaran subsidi BBM dan listrik yang dialokasikan di APBN-P 2012 sebesar Rp202 triliun, bahkan bisa meledak hingga Rp340 triliun bila kegamangan sikap dipelihara. Bagi rakyat, ketidakpastian akan berbuah spekulasi, kenaikan hargaharga kebutuhan pokok, termasuk memicu inflasi.

Pemerintah mestinya paham postulat ketidakpastian melahirkan kekacauan. Kalau keraguan dan ketidakpastian terus dirawat, amat mungkin masyarakat bertindak sendiri-sendiri, lalu investor pergi. Kebijakan soal BBM yang mulur-mungkret itu memang benar-benar membingungkan rakyat. Sebelum muncul Lima Jurus Hemat BBM, kelihatannya pemerintah bakalmengambil opsi pengendalian BBM bersubsidi bagi mobil pribadi berdasarkan kapasitas silinder mesin.

Kebijakan ini bukan tanpa persoalan. Berbagai mobil yang beredar di Indonesia sebagian besar mempunyai dua kelas mesin. Bagaimana petugas SPBU membedakannya? Jika tujuannya membatasi penggunaan BBM bersubsidi, mengapa harus ada pembedaan? Dari segi jumlah, mobil yang kapasitas mesin di bawah 1.500 cc tergolong paling banyak. Data penjualan tahun 2011, mobil di bawah 1.500 cc terjual 466.905 unit, mobil di atas 1.500 cc terjual 124.256 unit,dan di atas 3.000 cc terjual kurang 5.000 unit.

Itu baru mobil berbahan bakar bensin, belum termasuk yang mengonsumsi solar. Pemerintah kini terjebak dalam perbedaan kaya-miskin. Padahal, berulangkali pemerintah sendiri mengatakan agar tidak membeda-bedakan kelas karena bisa memicu kecemburuan sosial.Pemerintah sendiri belum memiliki definisi jelas tentang kaya itu. Orang kaya digeneralisasi sebagai mereka yang memiliki mobil.

Ketimbang orang yang naik motor,bisa jadi yang naik mobil lebih kaya.Tapi kayanya orang yang membeli mobil bekas atau mobil baru dengan mencicil tentu berbeda dengan mereka yang beli Jaguar. Salah besar mengategorikan mereka sama dengan kelompok superkaya. Apakah orang kaya sama dengan kelas menengah menurut Bank Dunia (2010) yang berjumlah 134 juta?

Dari definisi kelompok menengah (penghasilan USD2–20 per hari), hampir separo berpendapatan kurang USD6/hari. Tentu kurang tepat memasukkan mereka sebagai kelompok kaya. Kriteria orang kaya yang salah mudah memunculkan moral hazarddan pasar gelap. Apa alternatifnya? Pemerintah tetap bisa berpatokan pada kuota BBM bersubsidi: 40 juta kiloliter.

Pemerintah membagi 40 juta kiloliter itu kepada rumah tangga yang ada.Tiap rumah tangga diberi kupon membeli BBM subsidi, tiap bulan misalnya. Untuk rumah tangga yang mengonsumsi BBM bersubsidi lebih banyak dari jatah, kelebihanya harus dibeli dengan harga pasar. Demikian pula sebaliknya.

Cara ini tergolong adil: mereka yang membakar lebih banyak BBM harus membayar lebih besar. Cara ini ditempuh Iran. Lewat sosialisasi yang lama dan persiapan matang, Iran yang kaya minyak mampu membatasi konsumsi BBM tanpa kehebohan. Ini bisa jadi opsi Indonesia. Mau?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar