Kepala
Daerah dan Lapangan Kerja
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN SINDO, 03 November
2016
Di
tengah pilkada ( bahkan ada yang rasa pilpres), izinkan saya untuk
mengingatkan para calon kepala daerah tentang tugas berat yang bakal
diembannya selaku pemimpin. Di negara-negara maju, setiap pemimpin—entah dia
presiden, gubernur, atau wali kota—selalu dinilai dari dua hal. Pertama,
seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Kedua, keberhasilannya
mengurangi tingkat pengangguran. Dua ukuran ini biasanya jalan beriringan.
Artinya kalau tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tinggi, biasanya angka
penganggurannya menurun. Sebaliknya kalau pertumbuhan ekonominya rendah,
angka pengangguran pasti tinggi.
Namun,
bisa juga yang terjadi tidak seperti itu. Maksud saya, bisa saja tingkat
pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi angka penganggurannya juga tidak
berkurang alias masih tetap tinggi. Mengapa? Saya akan membahas soal ini
kemudian. Hanya yang jelas, ini membuat beban untuk menjadi seorang pimpinan,
baik pimpinan negara atau daerah, menjadi semakin tidak ringan. Itu sebabnya
saya sungguh tak habis mengerti kalau sekarang masih banyak orang yang
seolah-olah berlomba ingin menjadi pemimpin.
Genjot
Investasi
Pengangguran
memang menjadi masalah di banyak negara, termasuk negara kita. Menurut data
Badan Pusat Statistik, tahun 2015 jumlah pengangguran kita mencapai 7,6 juta,
atau meningkat 5,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Celakanya, persentase
terbesar pengangguran ini ada di usia produktif, yakni 15-24 tahun. Kalau mau
dipersentasekan, jumlahnya mencapai 6,2% terhadap total tenaga kerja. Saya
tak ingin mengulas dampak sosial dari tingginya angka pengangguran. Anda
pasti tahu, jelas serius dampaknya.
Maka
saking seriusnya, mestinya pengangguran tak hanya menjadi urusan pemerintah
pusat. Masalah ini juga harus menjadi urusan pemerintah daerah (baca, kepala
daerah). Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kalau bicara teori,
mengatasi pengangguran itu simpel saja, yakni dengan menggenjot investasi.
Saya kira semua calon kepala daerah dan wakilnya yang sedang kampanye tahu
persis soal ini. Kalau sampai tidak tahu, saya rekomendasikan, jangan pilih
pasangan tersebut! Saya yakin, mengatasi
pengangguran dan menggenjot investasi juga akan
menjadi salah satu janji penting saat kampanye dari pasangan calon kepala
daerah.
Hanya
sayangnya setelah terpilih, banyak kepala daerah yang lupa akan
janji-janjinya. Padahal, banyak yang sampai mau menandatangani kontrak
politik segala, tapi tetap saja mereka lupa. Buktinya sederhana. Lihat
perda-perda barunya. Kita sering mendengar curhat dari para pebisnis tentang
betapa sulitnya menanamkan modal di daerah. Izinnya banyak, prosedurnya
berbelit-belit, tidak jelas dan tak pernah bisa tahu kapan selesainya. Lalu,
kalau perusahaannya sudah beroperasi, banyak pihak menjadikannya sebagai sapi
perah. Pungli. Mulai kewajiban memberi donasi sampai uang saku ini dan itu.
Di
bidang yang saya geluti, pendidikan, pun begitu. Beberapa hari lalu saya
hadir di sebuah diskusi. Di sana ada seorang rektor yang mengeluh soal betapa
sulitnya ketika perguruan tinggi memperluas jaringan di luar kota. Kalau saya
bilang luar Jakarta, itu tidak berarti nun jauh di sana. Lokasinya masih
seputar Jabodetabek. Anda tahu bukan hadirnya perguruan tinggi akan
menciptakan banyak sekali bisnis baru. Misalnya bisnis kos-kosan, warung
makan, laundry hingga fotokopi. Lalu akan ada toko buku. Kalau jumlah
mahasiswa terus bertambah, minimarket bakal bermunculan.
Mahasiswa
atau dosen sesekali pasti sakit juga. Maka di situ pasti bakal ada klinik
kesehatan dan rumah sakit. Belum lagi jasa pengiriman uang, katering, dan
sebagainya. Oleh karena lokasi calon kampus tersebut hanya sedikit di luar
Jakarta, saya yakin akan banyak pengembang yang tertarik untuk membangun
apartemen bagi para mahasiswa. Buktinya sudah ada. Coba saja Anda klik
Google, cari apartemen kos, pasti ada sejumlah penawaran investasi di sana.
Dengan adanya apartemen ini, kalau orang tua mahasiswa dari daerah datang
mengunjungi anaknya, mereka tak perlu repot-repot cari hotel atau tempat
penginapan.
Begitu
juga kalau mereka datang untuk kelak menghadiri wisuda anaknya. Intinya adalah hadirnya perguruan tinggi yang bermutu
tersebut akan membuka banyak peluang bisnis dan sekaligus menciptakan
lapangan kerja baru di daerah tersebut. Saya yakin setiap kepala daerah pasti
tahu soal ini. Tapi, ini pahitnya, mengapa sang rektor tadi sampai mengeluh
soal betapa berbelit- belitnya mengurus perizinan bagi pembukaan kampus
barunya? Alasannya bermacam- macam. Ada dokumen yang kurang, mesti
berkoordinasi dengan instansi lain, atau sedang diproses—tetapi tak jelas
kapan selesainya.
Belum
lagi gangguannya, banyak sekali yang cari-cari alasan, mulai yang benar dan
penting sampai yang dicari-cari. Kalau mau ketemu sang kepala daerah, juga
tak kalah sulit. Ada saja alasannya. Sedang rapat dinas, sedang bepergian ke
luar kota, dan sejuta alasan lainnya. Buat Anda yang pernah berbisnis di
daerah, kalau alasannya sudah macam-macam seperti itu, tentu mudah
membacanya, ujung-ujungnya duit, bukan? Tapi, bukankah pemerintah sedang
gencar-gencarnya memberantas pungli dan korupsi? Jadi, mana janjinya soal
investor friendly dan penciptaan lapangan kerja tadi? Mungkin sudah menguap
ke langit.
Toxic
Leader
Itu
satu soal. Tapi kini alhamdulillah, puji Tuhan, mulai muncul kepala-kepala
daerah yang serius ingin bekerja. Buat mereka yang serius, satu hal yang
ingin saya titip, buatlah kebijakan yang berdampak pada penciptaan lapangan
kerja. Ini tidak mudah. Pasti alot tawar-menawarnya.
Banyak
yang bakal melawan Anda, baik itu preman berjubah orang baik, politisi sampai
pegawai sendiri. Kalau Anda telat minum obat, dijamin bakal sulit mengontrol
emosi. Jadi Anda harus siap cukup satu periode, tapi amat berarti. Investasi
yang paling banyak menyerap tenaga kerja secara nasional sesungguhnya ada di
bidang pertanian. Tapi sekarang ini, banyak pebisnis yang tidak suka
berinvestasi di sektor pertanian. Alasannya simpel, harga komoditi sedang
anjlok.
Investasi
di sektor pertanian menjadi tidak menarik lagi. Sekarang ini yang sedang tren
adalah investasi di sektor jasa dan perdagangan. Anda lihat, di mana-mana
anak-anak muda mengembangkan bisnis e-commerce. Ini memang bisnis yang sedang
naik daun, tetapi penyerapan tenaga kerjanya tidak banyak. Salah satu sektor
yang serapan tenaga kerjanya tinggi adalah industri manufaktur. Hanya, jenis
manufaktur yang seperti apa? Kalau padat karya,
ok.
Kalau
padat modal, ini yang mesti dipertimbangkan karena sejumlah sebab. Pasalnya,
Anda tahu banyak SDM di daerah yang kualitasnya pas-pasan. Mereka kalau tidak
lulusan SMP, ya paling lulusan SMA. Jelas, mereka tidak siap langsung kerja.
Mesti dididik dan dilatih dulu. Jadi, perusahaan mesti keluar biaya tambahan.
Itu sebabnya sekarang banyak perusahaan manufaktur
lebih suka investasi dengan mendatangkan teknologi. Investasinya tinggi,
tetapi mesin tidak pernah mengenal lelah dan tidak pernah melakukan aksi
unjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah.
Hasilnya, mungkin investasi meningkat, pertumbuhan ekonomi
naik terus, tetapi pengangguran di daerah bakal tetap tinggi.
Di sinilah Anda, sebagai kepala daerah, mesti lihai melakukan tawar-menawar
dan berpikir komprehensif. Namun satu hal: tak ada jalan pintas. Artinya,
Anda juga harus mau melakukan investasi jangka panjang yang berakibat positif
bagi pengganti Anda. Ya pendidikan, kesehatan, pengaturan, dan sebagainya.
Jangan malah ”selingkuh” dengan industri
dan lupa dengan janji menciptakan lapangan kerja baru. Kalau seperti itu,
Anda bakal disebut sebagai toxic leader.
Mau menjadi pemimpin beracun? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar