Rabu, 13 Juli 2022

Pembukaan Sawah Baru Food Estate oleh TNI Dinilai Boros Anggaran

Agoeng Wijaya :   Jurnalis Tempo

KORAN TEMPO, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

SUDAH sebulan Rusli puyeng. Kepala Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, itu terus-terusan mendapat keluhan dari warganya. Mereka adalah kelompok tani yang lahannya baru kelar dibuka lewat pekerjaan ekstensifikasi, bagian dari proyek food estate Kalimantan Tengah. Masyarakat meminta Rusli memikirkan bagaimana cara agar alat berat yang dulu membuka lahan itu bisa kembali ke lahan lokasi proyek. "Bingung juga saya karena kan enggak semudah itu," kata Rusli kepada Tempo, Senin, 11 Juli 2022.

 

Akar masalahnya ada di lahan seluas 218 hektare yang baru kelar disulap menjadi calon sawah baru beberapa waktu lalu di sisi selatan kawasan permukiman desa. Kondisi lahan yang akan dikelola lima kelompok tani itu dinilai masih jauh dari layak disebut sebagai sawah. "Tanggul belum rapi, bekas tebangan kayu masih di lokasi, jalan usaha tani dan irigasi juga belum ada," kata Rusli. "Sedangkan kontraktor pelaksana sudah pindah ke lokasi pembukaan lahan berikutnya."

 

Rusli dan warganya bingung apakah lahan semacam itu yang dimaksud oleh pemerintah, ketika masa sosialisasi dulu, sebagai sawah siap tanam. "Dulu kami semangat karena katanya tinggal tanam. Kami mengira akan mudah," ujar Rusli. "Kalau tahu begini jadinya, kami dulu minta target luasan dikurangi saja." 

 

Desa Pilang, sekitar 30 menit perjalanan darat dari Kota Palangka Raya, menjadi salah satu lokasi pembukaan sawah baru alias ekstensifikasi food estate Kalimantan Tengah. Lahan seluas 218 hektare yang kelar dibuka tersebut merupakan bagian dari rencana sawah baru Desa Pilang seluas total 1.060 hektare untuk 17 kelompok tani.

 

Calon sawah-sawah baru itu tersebar di sisi selatan, timur, dan utara pusat desa. Meski sebagian wilayahnya beririsan dengan area Blok C eks pengembangan lahan gambut (PLG), menurut Rusli, lahan-lahan yang akan dijadikan sawah baru kali ini berada di luar bekas area proyek era Orde Baru tersebut. Kebanyakan lahan itu merupakan tanah yang sudah lama ditinggalkan para pendahulu masyarakat Desa Pilang.

 

Kamis, 7 Juli lalu, tim Tempo sempat menengok salah satu lahan hasil ekstensifikasi di Desa Pilang. Perlu 15 menit menaiki perahu kelotok untuk menuju hamparan sawah baru di tepi Sungai Kahayan tersebut. Ranting-ranting kayu bekas pembukaan lahan berserakan di mana-mana. Genangan air juga memenuhi lahan tersebut.

 

Di pusat desa, yang terletak tak jauh dari tepi Jalan Trans Kalimantan dari Palangka Raya menuju Pulang Pisau, tumpukan karung pupuk nitrogen, fosfor, dan kalium (NPK) tersebar di beberapa lokasi. Ada juga karung kapur dolomit yang biasa dipakai untuk menetralkan keasaman tanah. Semuanya ditutup terpal biru yang usang dan mulai sobek di sana-sini.

 

Di tengah ketidakpastian soal kelayakan hasil land clearing menjadi sawah baru pada proyek food estate, tiga dari lima kelompok tani yang lahannya telah dibuka mencoba peruntungan. Mereka berencana memulai penanaman atas saran tenaga penyuluh pertanian. "Dua kelompok tani tidak mau karena lahan masih begitu," kata Rusli.

 

Menurut dia, benih yang akan ditanam dibeli secara swadaya. Bantuan benih dari pemerintah, yang datang hampir bersamaan dengan pupuk sekitar November tahun lalu, telah kedaluwarsa. "Benih kedaluwarsa sudah ditumbuk, dijadikan pakan terbak, lalu dijual buat beli benih baru," kata Rusli.

 

Meski mendukung keputusan tiga kelompok tani di wilayahnya tersebut, Rusli tetap diliputi keraguan bahwa inisiatif itu bakal menghasilkan. "Karena tingkat keterampilan mereka, sebenarnya kebiasaan kami itu berladang," ujarnya. "Apalagi di lahan baru seperti itu. Harapan saya, fasilitas pendukungnya segera dibangun. Tapi entah, mungkin tahun depan."

 

Kegiatan ekstensifikasi merupakan satu dari kegiatan utama Kementerian Pertanian dalam program food estate di Kalimantan Tengah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada Juni 2020. Selain melakukan ekstensifikasi, Kementerian Pertanian bertugas meningkatkan kemampuan lahan pertanian yang telah ada atau intensifikasi.

 

Sejak awal, rencana pelaksanaan proyek strategis nasional yang melibatkan banyak kementerian dan lembaga tersebut menuai kritik karena rentan gagal. Program yang dibiayai anggaran negara ini dilaksanakan di bekas area PLG, proyek pemerintahan Presiden Soeharto yang pada 27 tahun lalu berakhir berantakan.

 

Kini, dua tahun berjalan pada periode kedua pemerintahan Jokowi, program tersebut kembali menjadi sorotan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam laporan hasil pemeriksaan atas pelaksanaan program food estate yang dipublikasikan pada Juni lalu, mengungkap seabrek permasalahan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah; Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; dan Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. 

 

Pada proyek food estate di Kalimantan Tengah, auditor mencatat besarnya potensi pemborosan anggaran. Pekerjaan ekstensifikasi, yang dilakukan Kementerian Pertanian dengan menggandeng Komando Resor Militer 102/Panju Panjung, ada di tengah persoalan tersebut.

 

Audit BPK Ungkap Potensi Pemborosan Anggaran

 

Masalah yang dihadapi Rusli dan warga Desa Pilang sebenarnya juga dialami sejumlah desa di Kapuas dan Pulang Pisau, yang sebelumnya menjadi lokasi ekstensifikasi pada 2020 dan 2021. Selama dua tahun anggaran tersebut, seperti disebutkan dalam laporan BPK, Kementerian Pertanian menggeber pembukaan sawah baru di lahan seluas total 16,65 ribu hektare. Target pekerjaan tersebar di Blok A, B, C, dan D eks PLG, serta di luar eks PLG.

 

Persoalannya terjadi setelah pada Mei 2021 rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian memutuskan pekerjaan intensifikasi dan ekstensifikasi difokuskan pada Blok A eks PLG saja. Keputusan itu juga diikuti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang semestinya bekerja beriringan dengan Kementerian Pertanian dalam penyiapan berbagai fasilitas infrastruktur pendukung di lokasi proyek food estate.

 

Akibatnya, lokasi ekstensifikasi di Blok B, C, dan D eks PLG serta di luar eks PLG menjadi bermasalah. Kegiatan pembukaan sawah baru di lokasi tersebut, yang totalnya seluas 8.075 hektare dengan biaya, berpotensi tak dapat dimanfaatkan untuk budi daya pertanian yang optimal karena tak ada infrastruktur air yang memadai.

 

Pemeriksaan fisik tim pemeriksa BPK pada Oktober 2021 memperkuat temuan tersebut. Kala itu, dalam catatan auditor, sedikitnya 1.937 hektare lahan sawah baru di 16 desa berisiko tak bisa segera ditanami setelah pekerjaan ekstensifikasi usai. Infrastruktur tata kelola air di lahan tersebut tak berfungsi karena saluran irigasi sekunder dipenuhi sedimentasi dan tumbuhan air. Lahannya juga terendam, tidak dapat membuang kelebihan air.

 

Permasalahan itu bisa merembet ke urusan biaya. BPK menghitung, total nilai pekerjaan di lokasi ekstensfikasi yang berpotensi tak dapat dimanfaatkan dan menjadi pemborosan anggaran itu mencapai Rp 129,2 miliar. Angka tersebut dihitung dari harga satuan pekerjaan dalam perjanjian antara Dinas Pertanian Kabupaten Pulang Pisau dan Komando Resor Militer 102/Panju Panjung, satuan teritorial TNI Angkatan Darat untuk wilayah Kalimantan Tengah yang beroperasi di bawah Kodam XII/Tanjungpura. Perjanjian yang diteken pada Mei 2021 itu menyepakati harga satuan pekerjaan senilai Rp 16 juta per hektare untuk kegiatan seluruh lokasi target ekstensifikasi di Pulang Pisau dan Kapuas.

 

Penentuan harga satuan pekerjaan yang dipukul rata itu juga dipersoalkan BPK. Semestinya, harga satuan pekerjaan disesuaikan dengan volume pekerjaan di setiap lokasi proyek. Perhitungannya merujuk pada analisis harga satuan pekerjaan (AHSP), standar harga satuan (SHS) di setiap kabupaten, dan harga satuan riil hasil survei. Dalam catatan BPK, jika ditetapkan sesuai dengan ketentuan, harga satuan pekerjaan ekstensifikasi di setiap lokasi berbeda-beda pada rentang Rp 11-28 juta per hektare.

 

Gara-gara harga satuan yang dipukul rata itu, total nilai kontrak pekerjaan di calon sawah baru seluas 16,6 ribu hektare ini mencapai Rp 266,29 miliar. Sedangkan jika harga disesuaikan dengan kondisi lokasi proyek, BPK menghitung, anggaran kegiatan semestinya cuma Rp 242 miliar. Selisih hitungan ini, yang sebesar Rp 24,28 miliar, dianggap sebagai potensi kelebihan pembayaran. Ada juga potensi kelebihan pembayaran akibat kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 12,17 miliar yang disebabkan oleh lokasi pekerjaan ditengarai merupakan lahan sawah existing.

 

Semua temuan itu memang baru hitungan di atas kertas. Namun audit BPK juga mengungkap persoalan lain dari pekerjaan yang dilakoni tentara. Realisasi biaya sedikitnya senilai Rp 15,77 miliar untuk sarana-prasarana kegiatan, misalnya, dinilai tak sesuai dengan peraturan pengadaan barang dan jasa serta pedoman swakelola.

 

Temuan realisasi biaya yang tak sesuai dengan ketentuan itu mencuat setelah diketahui bahwa pekerjaan land clearing dan land levelling dilakoni oleh pihak ketiga. Pengadaan bahan bakar minyak dan sewa alat berat yang berbiaya tinggi, misalnya, dilaksanakan oleh PT IPP. Penunjukan pihak penyedia barang ini dipilih langsung oleh Komandan Korem 102/Panju Panjung. Pembayaran invoice senilai Rp 15,77 miliar juga dilakukan secara tunai. 

 

BPK mencatat, dalam periode pemeriksaan, total realisasi pembayaran untuk pekerjaan ekstensifikasi di Pulang Pisau dan Kapuas mencapai Rp 140,02 miliar. Masalahnya, pembayaran per tahapan pekerjaan itu dilakukan tanpa adanya laporan kemajuan proyek.

 

Kepada pemeriksa BPK, tim pengawas Dinas Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas membenarkan tak adanya evaluasi dan pelaporan mingguan, baik jadwal, penggunaan alat berat, maupun tenaga kerja. Laporan harian, mingguan, dan bulanan secara berjenjang ke Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian pun nihil. Pembayaran hanya merujuk pada laporan dari Korem 102/Panju Panjung yang tak didukung dokumen perhitungan volume pekerjaan terpasang.

 

Auditor menyatakan telah meminta penjelasan dan dokumen-dokumen pelaksanaan kerja sama tersebut kepada Korem 102/Panju Panjung. "Namun, sampai pemeriksaan berakhir, Komandan Korem 102/ Panju Panjung tidak bersedia memberikan penjelasan dan tidak memberikan dokumen tersebut," demikian pernyataan BPK dalam laporan hasil pemeriksaan program food estate di Kementerian Pertanian.

 

Tak adanya evaluasi dan pelaporan hasil pekerjaan ini juga terjadi pada pekerjaan senilai Rp 8,99 miliar dalam kegiatan intensifikasi yang melibatkan militer. Lagi-lagi, pengaturan upah pengolahan lahan di kegiatan ini juga diserahkan kepada Korem 102/Panju Panjung. Dari angka tersebut, BPK menemukan realisasi pembayaran berupa uang makan dan uang transportasi Bintara Pembina Desa (Babinsa) senilai Rp 5,47 miliar yang tak sesuai dengan pedoman swakelola. Adapun sisanya, senilai Rp 3,51 miliar, berupa biaya sarana prasarana kegiatan intensifikasi yang pertanggungjawabannya tak sesuai dengan ketentuan.

 

Hingga kemarin, Markas Besar TNI Angkatan Darat, yang membawahkan Korem 102/Panju Panjung, tidak dapat menanggapi temuan BPK soal pelaksanaan kegiatan tentara pada proyek food estate di Kalimantan Tengah. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Tatang Subarna, menyatakan masih menghimpun data lantaran temuan itu berhubungan dengan pekerjaan pada 2021. "Dan pejabatnya (Komandan Korem 102/Panju Panjung) sudah ganti," kata Tatang kepada Tempo.

 

Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Erwin Noorwibowo, tak menampik berbagai temuan BPK tersebut. Menurut dia, beberapa temuan potensi pemborosan dalam kegiatan ekstensifikasi disebabkan oleh audit BPK yang digelar ketika pekerjaan masih berlangsung. Dia tak menampik adanya persoalan pada bukti pertanggungjawaban pelaksanaan pekerjaan di tangan Korem 102/Panju Panjung. "Bukti kelengkapan itu yang terkadang mereka (Korem 102/Panju Panjung) lalai menyiapkannya," kata Erwin saat ditemui di kompleks Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Senin, 11 Juli 2022.

 

Namun dia memastikan Kementerian Pertanian telah membenahi berbagai permasalahan dalam temuan BPK itu. "Kementerian telah merespons dan menindaklanjuti temuan BPK, baik pada kegiatan intensifikasi maupun ekstensifikasi," ujar Erwin. "Kami telah memberikan klarifikasi secara tertulis dan menyampaikan data disertai bukti-bukti yang dipersyaratkan BPK."

 

Erwin menuturkan penunjukan Korem 102/Panju Panjung sebagai pelaksana kegiatan dalam proyek food estate di Kalimantan Tengah itu mempertimbangkan kemampuan TNI Angkatan Darat, yang juga memiliki Direktorat Zeni Angkatan Darat (Ditziad). "Secara teknis, (Ditziad) mampu melaksanakan konstruksi food estate ini," kata Erwin. Sekretaris Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Hermanto, menambahkan bahwa beratnya kondisi di lokasi proyek memerlukan pelaksana pekerjaan yang bisa segera bergerak.

 

Bibit Masalah Sejak Seleksi Calon Sawah Baru

 

Bibit semrawutnya kegiatan pembukaan lahan untuk sawah baru ini ditengarai telah disemai sejak pelaksanaan kegiatan survei, investigasi, dan desain (SID). Tahapan ini dilakukan untuk menilai layak atau tidaknya suatu lahan dijadikan lokasi ekstensifikasi. Pekerjaan ini dilakoni tim Universitas Palangka Raya, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), yang bertindak sebagai pelaksana dengan mekanisme swakelola.

 

Kepada Tempo, seorang mantan pelaksana kegiatan survei food estate Kalimantan Tengah mengungkapkan, kegiatan pengecekan lapangan di desa-desa target pada tahun lalu diburu waktu. Tim pelaksana SID dibentuk pada Maret 2021. Dalam kurun setengah tahun, survei ditargetkan bisa mendapatkan sekitar 22 ribu hektare lahan yang siap disulap menjadi sawah baru.

 

Penilaian dalam survei dan investigasi itu, kata dia, dilakukan terhadap berbagai indikator kelayakan kondisi lain, termasuk masalah sosial, seperti ada atau tidaknya potensi konflik sosial. Namun, gara-gara dikejar target, berbagai persyaratan itu hanya bergigi di atas kertas. Dalam praktiknya, menurut sumber Tempo, banyak lahan yang sebenarnya tak memenuhi indikator kelayakan justru ditetapkan sebagai calon lokasi sawah baru. "Ada daerah dengan kedalaman gambut 1,5 meter diloloskan, padahal ada syarat maksimal kedalaman 1 meter," ujarnya.

 

Di lapangan, dia bercerita, waktu yang mendesak agaknya juga dihadapi pelaksana kegiatan pembukaan lahan. Pada beberapa kali kejadian, kontraktor berikut alat beratnya sudah datang ke lokasi target kendati survei di tempat yang sama belum tuntas. "Padahal semestinya ada penilaian akhir lebih dulu. Tidak tahu juga bagaimana hasilnya," kata mantan anggota staf Universitas Palangka Raya tersebut.

 

BPK, dalam laporan hasil pemeriksaan atas proyek food estate, sebenarnya juga menyoroti pelaksanaan kegiatan SID ini. Auditor menilai dokumen dan proses penyusunan kerangka acuan kerja SID belum sesuai dengan ketentuan. Hal yang sama juga terjadi pada realisasi biaya serta pertanggungjawaban hasil pekerjaan survei, investigasi, dan desain.

 

Laporan BPK menyebutkan pembayaran untuk seluruh kegiatan SID telah terealisasi sepenuhnya senilai Rp 15 miliar. Ini merupakan nilai kontrak baru setelah sebelumnya hanya senilai Rp 11,25 miliar. Masalahnya, auditor menilai kesesuaian seluruh biaya tersebut terhadap kebutuhan proyek tidak dapat diukur. Kerangka acuan kerja, misalnya, hanya mengatur kualifikasi tim SID tanpa ada kejelasan berapa jumlah personel yang dibutuhkan.

 

Akibatnya, BPK menemukan seabrek masalah pada realisasi biaya miliaran rupiah dalam kegiatan SID, dari personel, sewa kendaraan, hingga pengadaan peralatan. Pertanggungjawaban hasil pekerjaan itu pun dinilai tak memenuhi ketentuan.

 

Kepada BPK, seperti tertulis dalam laporan hasil audit program food estate di Kementerian Pertanian, pelaksana kegiatan SID pada LPPM Universitas Palangka Raya menyatakan berbagai masalah itu terjadi karena ketidaktahuan dan tak adanya penjelasan dalam petunjuk teknis. "Pelaksana pekerjaan SID didesak untuk segera menghasilkan desain ekstensifikasi karena Kementerian Pertanian ingin segera melaksanakan pekerjaan fisik pembukaan lahan dan dilaksanakan hampir secara bersamaan dengan pelaksanaan desain," demikian laporan BPK, merujuk pada penjelasan pelaksana survei, investigasi, dan desain tersebut.

 

Adapun Erwin Noorwibowo juga menegaskan bahwa kegiatan ekstensifikasi food estate di Kalimantan Tengah telah disertai survei, investigasi, dan desain yang disusun dengan berbagai kriteria penilaian yang ketat. Kendati begitu, kata dia, dalam SID pasti ada yang tak sempurna. "Ini kan nanti di-review terus. Namanya SID bukan harga mati, di lapangan disesuaikan dengan kondisi," kata Erwin, kemarin. ●

 

Sumber :  https://koran.tempo.co/read/berita-utama/475050/pembukaan-sawah-baru-food-estate-oleh-tni-dinilai-boros-anggaran

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar