Pasal 240 RKUHP Ancam
Kebebasan Ekspresi & Kriminalisasi Aktivis Andrian Pratama Taher : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 12 Juli 2022
Isu Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru masih memuat sejumlah pasal
kontroversi yang menuai perbincangan publik. Setelah pro-kontra terkait Pasal
218 RKUHP tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, kini Pasal 240
RKUHP juga menjadi sorotan. Pasal 240
RKUHP memuat tentang penghinaan terhadap pemerintahan yang sah. “Setiap orang
yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang
berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV," demikian bunyi Pasal 240 RKUHP yang rilis Juli 2022 sebagaimana
dilihat Tirto, Senin (11/7/2022). Selain Pasal
240, ada juga Pasal 241 yang menyasar pada orang-orang yang menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar di muka umum, memperdengarkan
rekaman maupun menyebarluaskan dengan teknologi informasi yang sah dengan isi
penghinaan dapat dipenjara 4 tahun penjara atau paling banyak pidana kategori
V. Peneliti
KontraS, Rozy Brilian mengakui bahwa Pasal 240 merupakan pasal yang
problematis, selain pasal penghinaan presiden dan penghinaan terhadap lembaga
negara. Ia menilai, pasal tersebut berpotensi kuat sebagai alat pembungkaman
suara publik. “Ini pasal
berbahaya dan problematis sekali untuk aktivis, selain pasal penghinaan
presiden dan penghinaan terhadap lembaga negara. Kami melihat pasal sangat
opresif dan akan dijadikan sebagai alat pembungkaman aktivis serta masyarakat
yang kritis," kata Royz kepada reporter Tirto, Senin (11/7/2022). Rozy
menambahkan, “Pasal 240 itu karet sekali karena objeknya ditujukan pada
pemerintahan yang sah di mana meliputi pemerintah pusat hingga daerah.” Rozy menilai,
ketentuan pidana seharusnya melindungi rakyat dalam berekspresi secara sah
dan konstitusi jika dikaitkan dalam konsep demokrasi. Ia menilai, regulasi
yang ada harus memberi ruang bagi publik untuk mengkritik kebijakan yang
tidak memuaskan. Keberadaan
pasal ini, kata Rozy, dikhawatirkan akan menjerat orang-orang yang
mengkritik, terutama ketika berbicara di media sosial. “Kami khawatir
bahwa pasal ini akan dengan mudahnya diberlakukan jika ada kritik baik yang
disampaikan secara langsung maupun lewat media sosial," kata Rozy. Di sisi lain,
meski delik Pasal 240 RKUHP bersifat materiil, tetapi ukuran dari kerusuhan
itu tidak jelas rumusannya. Ia menilai, keributan, keonaran, huru-hara
merupakan hal subjektif. Ia khawatir kritik yang berujung demonstrasi dan
menimbulkan kemacetan masuk klasifikasi delik tersebut. “Enggak masuk
akal sama sekali karena, kan, unsur pasalnya yang bermasalah, di [pasal] 240
itu misalnya penghinaan itu apa definisinya enggak jelas, mengakibatkan
kerusuhan pun karet, abstrak," tutur Rozy. Oleh karena
itu, Rozy menyarankan agar pasal-pasal bermasalah, termasuk pasal yang
mengancam kebebasan berekspresi agar dicabut, bukan dimodifikasi. “Kalau memang
mau demokratisasi seutuhnya, pasal-pasal bermasalah yang akan mengancam
kebebasan berekspresi ini harusnya dicabut, bukan dimodifikasi. KUHP itu
susunan Belanda yang pada waktu itu sebagai penjajah. Seharusnya RKUHP
merupakan bentuk anti-tesis dari pasal-pasal kolonial tersebut," kata
Rozy. Sementara itu,
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur memandang,
keberadaan Pasal 240 RKUHP berbahaya sehingga perlu dihapus. Ia malah menyebut
pasal tersebut lebih berbahaya daripada pasal penghinaan presiden di Pasal
218 RKUHP. “Penghinaan
itu adalah definisi yang sangat subjektif, tergantung orang yang merasa
terhinanya. Jadi ini kata penghinaan sendiri adalah sangat karet. Nah ketika
ditujukan kepada kata pemerintah itu akan menjadi semakin karet, pemerintah
yang mana?" kata Isnur kepada Tirto, Senin (11/7/2022). Isnur
menanyakan konteks pemerintah apakah berarti pemerintah pusat saja atau
hingga level kelurahan? Ia mengingatkan pegawai kelurahan juga bagian dari
pemerintah. Dengan kata lain, publik mudah menjadi korban kriminalisasi. “Pertama orang
mengkritik, tetapi kemudian yang dikritik merasa itu penghinaan, dia akan
kena. (Pasal 240 RKUHP) akan sangat bisa menjerat siapapun,” kata Isnur. Kedua, Isnur
mengingatkan bahwa posisi pemerintah bukan harus dilindungi, tetapi bertugas
memenuhi, menghormati dan menegakkan hak asasi manusia dan hukum. Dengan kata
lain, pemerintah bisa dikritik atau dimintai pertanggungjawaban ketika mereka
tidak mampu memenuhi tugas tersebut selayaknya amanat konstitusi. Ketiga, Isnur
khawatir pasal karet ini akan menjadi 'senjata' untuk membungkam suara kritis
publik. Ia khawatir upaya kriminalisasi akan nyata akibat pasal ini. “Selama ini
praktik bahwa pasal-pasal seperti ini adalah pasal yang memang dijadikan alat
buat membungkam, alat membuat melakukan kriminalisasi kepada orang yang
kritis. Bagaimana misalnya orang mengkritik kepada aparat kepolisian, kepada
misalnya bupati itu langsung dijadikan sasaran buat dikriminalisasi,"
kata Isnur. Isnur pun
mengingatkan Indonesia meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil
politik. Pemerintah, sebagaimana isi konvenan tersebut, seharusnya menjamin
rakyat untuk berekspresi dan berpendapat. Ia khawatir, seniman yang
mengkritik pemerintah lewat karya seni jadi terjerat pasal penghinaan. “Ini pasal
yang sangat berbahaya, sangat bisa mengancam demokrasi dan juga bisa
membungkam, bisa mengkriminalisasi banyak orang yang kritis," kata
Isnur. Penjelasan Pemerintah Tim
Sosialisasi RKUHP Kementerian Hukum dan HAM, Albert Aries menegaskan bahwa
Pasal 240 RKUHP adalah bentuk dekolonialisasi dan demokratisasi. Ia
beralasan, pemerintah berupaya merumuskan delik secara konkret. “Justru Pasal
240 RKUHP ini merupakan wujud dekolonisasi dan demokratisasi, karena sudah
dirumuskan sebagai delik materiil yang mensyaratkan harus adanya akibat,
yaitu berupa kerusuhan dalam masyarakat, sehingga kalau tidak ada akibat
tersebut maka penghinaan terhadap pemerintah tidak bisa dipidana dengan Pasal
240 RKUHP yang juga dirumuskan sebagai delik konkret (tidak abstrak),"
kata Aries kepada Tirto, Senin (11/7/2022). Aries
mengingatkan, pemerintah berupaya menjaring masukan publik dalam upaya
menyempurnakan RKUHP usai Presiden Jokowi menunda pengesahan RKUHP pada
September 2019. Penundaan tersebut juga sebagai upaya menyempurnakan RKUHP
yang sudah dibahas di tingkat I bersama DPR dan daftar inventaris masalah. Aries pun bisa
menjelaskan alasan pemerintah dengan melihat bahwa kemunculan Pasal 240 RKUHP
berdasarkan Pasal 154 KUHP. Pasal ini sudah diuji di Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah pun berupaya menilai sesuai dengan hasil persidangan MK saat
pengujian pasal tersebut. Ia pun
memastikan bahwa Pasal 240 RKUHP justru melindungi para aktivis maupun publik
dalam menyampaikan pendapat. “Justru para
aktivis dan masyarakat sangat dilindungi kedudukan hukum dan haknya untuk
menyatakan pendapat dengan adanya perumusan Pasal 240 KUHP sebagai delik
materiil yang mensyaratkan harus adanya berupa kerusuhan dalam masyarakat
baru bisa dipidana dengan pasal tersebut," kata Aries. Aries juga
menilai, publik perlu memahami pembeda kritik dan delik penghinaan, terutama
di media sosial. Ia mengingatkan bahwa kritik tidak bisa dipidana dengan pasal
apa pun di RKUHP. “Masyarakat
perlu senantiasa diedukasi untuk membedakan kritik dan delik (penghinaan).
Kritik di media sosial terhadap pemerintah atau kebijakannya jelas tidak
dapat dipidana dengan pasal apa pun di RKUHP, sehingga pasal ini tidak memiliki
alasan yang cukup logis untuk dicabut dari RKUHP," tutur Aries. ● |
Sumber
: https://tirto.id/pasal-240-rkuhp-ancam-kebebasan-ekspresi-kriminalisasi-aktivis-gtXn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar