Bagaimana Wabah PMK
Meluas Akibat Lemahnya Karantina Aisha Shaidra : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 2
Juli
2022
DENGAN tegas Muhammad
Munawaroh menyatakan penanganan penyakit mulut dan kuku (PMK) sudah
terlambat. Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia
(PDHI) itu mengeluarkan pernyataan tersebut dalam rapat di kantor Badan
Nasional Penanggulangan Bencana pada Kamis, 23 Juni lalu, setelah melihat
wabah PMK kian menggila dalam waktu kurang dari dua bulan. Munawaroh juga menyoroti
peralihan penanganan PMK dari Kementerian Pertanian ke Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. BNPB mengkoordinasi Satuan Tugas Penanganan Penyakit
Mulut dan Kuku yang terdiri atas berbagai kementerian dan lembaga, termasuk
Kementerian Pertanian. Tugas Satgas Penanganan
PMK bermacam-macam, dari mengobati hewan yang terinfeksi hingga menjalankan
vaksinasi. "Satgas ini harus bisa membawa Indonesia kembali bebas dari
PMK. Saya tahu ini tidak mudah," kata Munawaroh kepada Tempo, Jumat 1
Juli lalu. Menurut Munawaroh, perlu
waktu lima tahun dan dana besar untuk mengembalikan status Indonesia bebas
PMK. Dia mengaku siap menerjunkan dokter hewan anggota PDHI dalam
pemberantasan PMK. Dalam rapat online bersama
Kementerian Sekretaris Negara pada 8 Mei lalu, PDHI memaparkan beberapa
langkah penanganan wabah, seperti pembatasan lalu lintas ternak, penutupan
daerah wabah, dan vaksinasi. PDHI pun menjelaskan masih kurang memadainya
struktur kelembagaan kesehatan hewan, termasuk lemahnya sistem karantina. PDHI juga mendapatkan
sejumlah temuan dari daerah. Munawaroh bercerita, hampir setiap hari dia
menerima video tentang kematian ternak akibat PMK sejak April lalu. Dia
menyesalkan respons Kementerian Pertanian yang terlambat menetapkan status
wabah di sejumlah daerah. Padahal status daerah
wabah sangat penting untuk membatasi lalu lintas ternak dan mencegah
penyebaran virus PMK. Presiden Joko Widodo pun sudah mengeluarkan instruksi
karantina atau lockdown dalam rapat kabinet terbatas pada 9 Mei lalu.
"Karena tidak dilaksanakan, akhirnya timbul kesulitan," ujar
Munawaroh. Kekhawatiran juga
diungkapkan Ketua III PDHI Bonifasius Suli Teruli. Dia mengatakan struktur
kelembagaan kesehatan hewan kurang memadai, penjagaan di gerbang karantina
hewan pun lemah. Lemahnya penjagaan, menurut Suli, didapati di kawasan yang
tidak memiliki balai karantina. Walhasil, wilayah-wilayah itu menjadi pintu
masuk hewan ilegal yang diduga membawa penyakit berbahaya seperti PMK.
"Pintu karantina ini tidak dijaga dengan baik sehingga kebobolan,"
tutur Suli. Padahal, Suli melanjutkan,
lembaga karantina berperan besar sebagai palang pintu untuk mencegah masuknya
penyakit berbahaya. “Apalagi perdagangan global yang nyaris tanpa batas
berperan dalam penyebaran penyakit," katanya. Hingga berita ini
diturunkan, belum ada tanggapan dari Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Sedangkan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Pertanian Kuntoro Boga
Andri mengatakan sudah berupaya berupaya mengendalikan PMK dengan pendekatan
berbasis zona. “Demi mencegah penyebaran virus.” Menurut Kuntoro pemerintah
tengah melakukan vaksinasi pada hewan rentan PMK dan membatasi lalu lintas
ternak. ••• INDIKASI masuknya hewan
ilegal akibat lemahnya pengawasan tecermin dalam pernyataan Kementerian
Pertanian pada Mei lalu, saat penyakit mulut dan kuku mulai merebak. Saat itu
Kementerian Pertanian menyatakan Aphthovirus yang menyebabkan PMK berasal
dari domba dan kambing yang masuk secara ilegal dari Malaysia atau Thailand. Pemerintah mencurigai
Kepulauan Riau sebagai pintu masuk hewan selundupan ini. Dari Pekanbaru,
domba dan kambing ini mungkin dibawa melalui jalur darat ke Lampung. Berbekal
surat keterangan kesehatan hewan dari Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung
Timur, hewan-hewan ini dibawa melintasi Pelabuhan Bakauheni menuju Jakarta
hingga tempat penampungan di Kebumen dan Wonosobo, Jawa Tengah. Tim Kementerian Pertanian
kemudian menelusuri peredaran ternak di Wonosobo. Di sana mereka memperoleh
informasi bahwa ada kemungkinan hewan selundupan masuk melalui sejumlah
daerah di sepanjang garis pantai Sumatera yang berbatasan dengan Malaysia dan
Thailand, seperti Sumatera Utara dan Aceh. Menteri Pertanian Syahrul
Yasin Limpo menyadari tingginya potensi penyebaran virus PMK melalui lalu
lintas ternak ilegal di jalur darat ataupun laut. Dia mengatakan selalu ada
yang menerobos “jalur tikus” untuk memasukkan hewan secara tidak sah.
"Dari sana virus PMK menyebar secara cepat,” ucapnya pada Jumat, 17 Juni
lalu. Jalur ternak ilegal juga
menjadi sorotan Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat dalam kunjungan
kerja ke Jawa Timur beberapa waktu lalu. Ketua Komisi Pertanian Sudin
mengatakan penjagaan di tempat karantina hewan sangat lemah dan tidak memadai
untuk mengawasi potensi penyebaran penyakit. "Pintu masuk hanya dijaga
dua petugas karantina yang hanya dilengkapi dua hand sprayer (penyemprot obat
antihama)," kata Sudin dalam rapat bersama Kementerian Pertanian pada
Senin, 27 Juni lalu. Kondisi tersebut, menurut
Sudin, menunjukkan kurang seriusnya Kementerian Pertanian dalam mencegah dan
menangani penyebaran PMK. Dia juga sempat mencecar perwakilan Kementerian
Pertanian dengan pertanyaan mengenai asal-usul virus PMK untuk memastikan
vaksin yang akan digunakan. "Bagaimana mau tahu vaksinnya kalau
asal-muasalnya tidak tahu?” tuturnya. Kementerian Pertanian baru
mengungkapkan temuan Aphthovirus serotipe O dengan strain HIND2001 yang
diduga menyebabkan wabah PMK. Temuan ini diungkapkan di Laboratorium Pusat
Veteriner Farma Surabaya pada 11 Mei lalu. Tipe ini, menurut Direktur
Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian Nasrullah, merupakan tipe umum yang
tersebar di Asia Tenggara. Temuan itu lantas
dimintakan konfirmasi kepada lembaga riset asal Inggris, Pirbright Institute.
Berbeda dengan dugaan sebelumnya, sumber Tempo di Kementerian menyebutkan
kemungkinan besar virus PMK menular pertama kali di Aceh. "Setelah
dikirim ke laboratorium referensi PMK di Inggris bisa ditelusuri spesimen DNA
yang tertua adalah yang berasal dari Aceh," ucapnya. Indonesia telah melaporkan
kasus PMK yang terjadi sejak 14 April 2022 kepada Badan Kesehatan Hewan Dunia
(OIE). Dalam berkas “Pemberitahuan Segera” bertanggal 9 Mei 2022, pemerintah
menyatakan penanganan kasus ini sedang berjalan dan perkembangannya akan
dilaporkan setiap pekan. Pemerintah belum bisa memastikan sumber infeksi,
tapi vaksinasi akan menjadi tindakan utama. Indonesia juga telah mengirim
sampel ke laboratorium referensi OIE untuk menentukan strain virus sebagai
acuan pembuatan vaksin. Kepala BNPB sekaligus
Ketua Satuan Tugas Penanganan PMK Suhariyanto mengatakan akan menjalankan
pendekatan seperti saat menangani pandemi Covid-19. Pada tahap pencegahan,
satgas akan mengetes hewan yang dicurigai terinfeksi PMK. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar