Bagaimana Petinggi
ACT Mengutak-atik Laporan Keuangan Raymundus Rikang : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
SURAT Kementerian Sosial
bertarikh 5 Juli 2022 mengagetkan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu
Khajar. Ia tak menyangka Kementerian Sosial melalui surat bernomor
133/HUK/2022 akan mencabut izin pengumpulan uang dan barang lembaganya. “Kami
membayangkan keputusan itu menunggu data yang dikirim tim pengawas dari
Kementerian Sosial,” kata Ibnu di Menara 165, markas pusat ACT di Pasar
Minggu, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Juli lalu. Pada hari yang sama dengan
keluarnya pencabutan izin, Kementerian Sosial mengundang Ibnu dan pengurus
ACT untuk mengklarifikasi dugaan penyelewengan sumbangan kemanusiaan.
Undangan itu menyusul laporan investigasi majalah Tempo berjudul “Kantong
Bocor Dana Umat”. Liputan itu mengungkap dugaan penyelewengan donasi untuk
kepentingan petinggi ACT dan keluarganya. Ibnu Khajar mengklaim
salah satu keputusan rapat yang dicatat dalam notula forum klarifikasi adalah
kunjungan lapangan petugas Kementerian ke kantor ACT. Kegiatan itu rencananya
digelar untuk mengklarifikasi sejumlah penyimpangan donasi dan memeriksa
dokumen perusahaan. Menurut Ibnu, kunjungan itu tak pernah terlaksana. “Itu
tercantum dalam minutes of meeting dengan Kementerian Sosial,” ujarnya. Seorang pejabat ACT
menjelaskan, Kementerian Sosial sebenarnya sempat mengirim petugas ke kantor
ACT. Tapi mereka berkunjung pada Senin, 4 Juli lalu, sehari sebelum pertemuan
di Kementerian. Narasumber itu mengungkapkan perwakilan Kementerian Sosial
akhirnya pulang lantaran tak memperoleh informasi yang memuaskan dari pegawai
ACT yang ditemuinya. Pencabutan izin ACT
terjadi saat Menteri Sosial Tri Rismaharini sedang naik haji. Adalah Menteri
Sosial ad interim, Muhadjir Effendy, yang membatalkan izin pengumpulan donasi
ACT karena menemukan indikasi pelanggaran regulasi. Ia merujuk Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan yang
membatasi pembiayaan usaha dari pengumpulan donasi maksimal sebesar 10
persen. Muhadjir menyatakan Ibnu
Khajar mengaku memakai rata-rata 13,7 persen dari dana sumbangan untuk
mengongkosi operasional yayasan, tatkala hadir di forum klarifikasi di
hadapan pejabat Kementerian. “Kami mencabut izin karena ada indikasi
pelanggaran, sampai menunggu hasil pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal,”
kata mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu. Muhadjir adalah kader
Muhammadiyah—lembaga yang juga memiliki lembaga kemanusiaan Lazismu. Ia
mengklaim pencabutan izin tersebut bukti pemerintah responsif terhadap
keresahan masyarakat. Ia pun berjanji bakal menyisir izin-izin lembaga
pengumupul donasi publik lain yang sejenis dengan ACT. Adapun Kepala Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana
mengatakan pejabat Kementerian Sosial sempat berkoordinasi dengannya sebelum
mencabut izin ACT. Hasil penelusuran PPATK menyebutkan adanya aliran duit
donasi ke petinggi Yayasan ACT. “Pejabat Kementerian Sosial menanyakan soal
hasil pelacakan PPATK,” ujar Ivan. Dua mantan petinggi ACT
yang mengetahui penyusunan laporan keuangan Aksi Cepat Tanggap mengkonfirmasi
bahwa potongan donasi di lembaga itu jauh lebih tinggi dibanding ketentuan 10
persen. Potongan tinggi itu telah “dihalalkan” dengan adanya fatwa tertulis
Dewan Pengawas ACT, yaitu potongan donasi diperbolehkan hingga 30 persen.
Namun penerbitan fatwa tersebut hanya diketahui oleh kalangan terbatas di
ACT. Tempo menelusuri sejumlah
laporan keuangan ACT. Pada 2019, ACT mencatat sumbangan kemanusiaan ke
rekening yayasan mencapai Rp 396,8 miliar. ACT mendapat Rp 105,7 miliar atau
setara dengan 21 persen dari total donasi kemanusiaan yang masuk untuk
membiayai yayasan yang diperkirakan sebesar Rp 502,5 miliar. Sedangkan pada
2020, dari sekitar Rp 373,7 miliar sumbangan yang masuk, sebesar 18,5 persen
digunakan untuk menjalankan roda yayasan. Presiden ACT Ibnu Khajar
membenarkan adanya izin dari Dewan Pengawas ACT memotong sumbangan 30 persen,
di luar zakat, untuk biaya operasional yayasan. Namun ia mengklaim kesempatan
itu tidak pernah digunakan. “Ditoleransi jika ada hal luar biasa seperti
untuk masuk ke wilayah Papua,” ujar Ibnu pada Senin, 4 Juli lalu. Ibnu
mengklaim laporan keuangan ACT telah diaudit dan mendapat opini tertinggi,
yaitu wajar tanpa pengecualian. Padri Achyarsyah, auditor
laporan keuangan ACT tahun 2020 pada firma Heliantono & Rekan, membantah
ada pesanan predikat wajar tanpa pengecualian. “Itu obyektif berdasarkan
hasil asesmen kami,” tutur doktor akuntansi dari Universitas Padjadjaran,
Bandung, ini. Ekonom Yanuar Rizky
membenarkan analisis yang dilakukan oleh Tempo terhadap laporan keuangan ACT.
Ia menyatakan jurnal finansial yang mendapat peringkat wajar tanpa
pengecualian hanya menunjukkan lembaga itu telah membuat laporan keuangan
yang sesuai dengan standar akuntasi. “Namun belum tentu laporan itu sesuai
dengan kondisi sebenarnya,” kata Yanuar. Dua mantan petinggi ACT
mengatakan laporan finansial yang diserahkan ke kantor akuntan publik tak
pernah menunjukkan kondisi riil di lembaga itu. Menurut keduanya, laporan
keuangan selalu diutak-atik agar bisa mendapatkan predikat “wajar tanpa
pengecualian”. Mereka menyatakan petinggi ACT khawatir penurunan status akan
menurunkan jumlah donasi. Informasi tersebut
tercatat dalam dua notula berkategori rahasia yang didapat Tempo. Notula itu
merekam rapat antara petinggi ACT dan PT Hydro Perdana Retailindo, perusahaan
yang pernah dimiliki Aksi Cepat Tanggap, pada triwulan pertama 2020. Kala itu
Hydro berstatus kritis karena dililit utang besar. Sebagian utang itu muncul
lantaran perusahaan yang mengelola jaringan minimarket Sodaqo Mart tersebut
menyalurkan miliaran rupiah ke para petinggi ACT. Dalam notula disebutkan
bahwa diperlukan berbagai langkah darurat yang tidak boleh diketahui publik
agar laporan keuangan ACT tahun 2019 bisa mendapat predikat wajar tanpa
pengecualian. Dua peserta rapat membenarkan isi dokumen tersebut. Direktur
Legal ACT, Decyantini Lompatan, yang hadir dalam pertemuan itu, enggan
menanggapi pertanyaan Tempo. “Saya sudah tidak bekerja di ACT sejak awal
2020,” ucapnya. Sejumlah narasumber yang
ditemui Tempo sejak Januari hingga awal Juli lalu mengatakan bahwa akrobat
pencatatan akuntasi diperlukan untuk menutupi aliran duit ke pimpinan ACT.
Dua di antaranya menyatakan pengeluaran operasional untuk Presiden ACT bisa
mencapai Rp 700 juta sebulan. Jumlah itu di luar gaji sekitar Rp 250 juta. Presiden ACT Ibnu Khajar
dan mantan Presiden ACT, Ahyudin, tak menanggapi permintaan wawancara Tempo.
Namun, saat bertandang ke kantor Tempo pada 1 Juli 2022, Ahyudin membenarkan
segala kebutuhannya ditanggung oleh ACT. Ia juga mengklaim berhak mendapat
berbagai fasilitas untuk menunjang kinerjanya. “Itu saya terima dari sumber
yang legal karena hak saya sebagai pemimpin organisasi,” ujarnya. ••• PENCABUTAN izin Aksi Cepat
Tanggap juga terkait dengan dugaan aliran dana yayasan ke organisasi teroris.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana
mengatakan lembaganya sudah melacak transaksi mencurigakan dari yayasan dan
perusahaan yang terafiliasi dengan ACT sejak 2014. Ivan mengaku sudah
memberikan data awal kepada aparat penegak hukum pada 2020. Menurut Ivan, bank
kemudian berbondong-bondong memasok data transaksi terkait dengan ACT setelah
dugaan penyelewengan dana kemanusiaan terbongkar pada awal Juli lalu. “Itu
sifatnya informasi awal. Polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
tentu membutuhkan waktu untuk menyelidikinya hingga tuntas,” kata Ivan kepada
Tempo di kantornya, Jumat, 8 Juli lalu. Hingga Kamis, 7 Juli lalu,
PPATK telah membekukan 300 rekening milik ACT yang tersebar di 41 penyedia
jasa keuangan. Lembaga intelijen keuangan itu juga menemukan transfer dari luar
negeri ke akun ACT sepanjang 2014-2022 yang totalnya mencapai Rp 65 miliar.
Adapun aliran dana ke luar negeri mencapai Rp 52 miliar. “Kemungkinan besar
akan terus bertambah,” tutur Ivan. Dua mantan petinggi ACT mengatakan Aksi
Cepat Tanggap memiliki 500-600 rekening. PPATK juga menemukan 17
kali transfer dari rekening pengurus ACT ke negara-negara yang berisiko
tinggi, seperti Turki, Bosnia, Suriah, dan India, dengan total Rp 1,7 miliar.
Menurut Ivan, transaksi itu dilakukan oleh individu ataupun yayasan. Salah
satu transfer ditujukan kepada seseorang yang diduga terafiliasi dengan
jaringan teroris Al-Qaidah. Menurut Ivan, sosok ini pernah ditangkap oleh
otoritas Turki bersama 19 orang lain. PPATK telah memetakan pola
aliran dana ACT. Yayasan ACT, misalnya, pernah menggunakan model transfer
langsung ke pihak penerima ataupun memakai entitas perantara sebelum mengirim
ke kelompok target. Ada juga duit sumbangan yang diputar dulu ke anak
perusahaan sebelum disalurkan ke pihak penerima. Seorang penegak hukum yang
mengetahui penyelidikan dana ACT ke kelompok teror mengatakan ada sejumlah
entitas yang terafiliasi dengan pengurus dan pendiri ACT yang ditengarai
kerap mengirim duit ke negara berisiko tinggi. Antara lain, PT Agro Wakaf
Corpora, Yayasan Global Zakat, dan Yayasan Global Wakaf. Dalam akta Global Zakat
dan Global Wakaf, Presiden ACT Ibnu Khajar berstatus sebagai pembina. Adapun
bekas Presiden ACT Ahyudin tertera sebagai pendiri yayasan. Ibnu dan Ahyudin
tercatat sebagai pemilik saham mayoritas PT Agro Wakaf melalui PT Insan
Madani Investama. Di akta PT Insan, Ibnu menjabat direktur utama dan memiliki
150 lembar saham senilai Rp 150 juta. Adapun Ahyudin menjadi komisaris utama
yang menguasai 475 lembar saham, ekuivalen dengan Rp 475 juta. PPATK pun menemukan lalu
lintas pendanaan antarlembaga amal di Indonesia. Transaksi ini melibatkan ACT
dan sejumlah organisasi filantropi lain. “Mereka berputar-putar saja di
situ,” kata Ivan. Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus 88 Antiteror mengaku telah
menerima data transaksi mencurigakan yang dibuat PPATK. Kepala Bagian Bantuan
Operasi Densus 88 Komisaris Besar Aswin Siregar mengungkapkan timnya sedang
mendalami transfer yayasan ke negara rawan aksi teror. Direktur Pencegahan BNPT
Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan akan bekerja sama dengan lembaga
di luar negeri untuk menelusuri data transaksi yang dipasok PPATK. Ia
mendesak pemerintah merevisi aturan mengenai pengumpulan sumbangan agar ada
sanksi yang lebih berat bagi lembaga yang menyelewengkan dana. “Celah ini
dipakai kelompok teror untuk menggalang dana dari organisasi amal,” ujarnya. Presiden ACT Ibnu Khajar
membantah jika lembaganya mendanai kegiatan terorisme. Ia heran ACT dikaitkan
dengan aktivitas teror kendati sering mengundang sejumlah pejabat pemerintah
dan melibatkan aparat saat menyalurkan bantuan kemanusiaan. “Dana untuk
kelompok teroris itu dana yang mana?” katanya. Pada Jumat, 8 Juli lalu,
Ibnu Khajar dan Ahyudin diperiksa penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian
RI. Ahyudin mengatakan polisi baru mendalami materi tentang aspek legal dan
tugas pimpinan Yayasan ACT. Menurut dia, penyidik belum masuk ke perkara
dugaan transfer ke organisasi teroris. “Belum sampai ke sana,” tuturnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar