Senin, 11 November 2019

Revisi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan

INDUSTRI PETERNAKAN
Revisi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan
Oleh :  ROCHADI TAWAF
KOMPAS, 11 November 2019

Tanggal 20 Oktober 2019, Jokowi resmi dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya.

Pada periode pertamanya, di sektor pertanian, pembangunan peternakan dirasakan paling memprihatinkan. Dalam kaitan ini, Jokowi berjanji dalam pidato perdananya, dia akan menyederhanakan segala bentuk regulasi yang menghambat pengembangan UMKM (baca peternakan rakyat). Karut-marut pembangunan peternakan lima tahun terakhir terjadi pada komoditas sapi potong, sapi perah, dan unggas. Untuk industri sapi potong, kini berada pada kondisi deindustrialisasi atau ”sunset”. Hal ini ditunjukkan oleh lebih dari 14 perusahaan feedloter telah bangkrut dan mengancam sekitar 30 industri sapi potong sisanya. Padahal, industri ini telah berkontribusi triliunan rupiah selama puluhan tahun pada pembangunan peternakan rakyat perdesaan.

Karut-marut bisnis sapi potong berdampak pula terhadap pembangunan peternakan sapi perah rakyat. Terutama tatkala harga daging tinggi sementara harga susu anjlok, telah terjadi depopulasi sapi perah hingga 30 persen. Di era sebelum krisis ekonomi tahun 1997, kontribusi susu segar dalam negeri (SSDN) mampu menembus 50 persen dari kebutuhan nasional. Namun, kini hanya mampu berkontribusi 18 persen.

Selain itu, munculnya sekitar tujuh korporasi mega-industri persusuan di negeri ini jelas-jelas akan melumpuhkan bisnis peternakan rakyat di bawah naungan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Di sini pun tak tampak keberpihakan pemerintah, terutama dengan dicabutnya Permentan Nomor 26/2017 menjadi Permentan No 30/2018 dan kemudian menjadi Permentan No 33/2018. Esensinya memberikan kebebasan ke industri pengolahan susu untuk tak bermitra dan tak menyerap produksi peternakan rakyat.

Di industri perunggasan pun peternakan rakyat seolah dibuat jadi tak berdaya. Diawali dengan langkanya bibit ayam (DOC), afkir dini, dan kasus surplus produksi jagung. Pada kasus ini pemerintah mengklaim produksi jagung nasional sekitar 33 juta ton pada 2018 sehingga tak perlu impor lagi. Memang faktanya impor jagung turun, tetapi impor gandum sebagai pengganti bahan baku pakan naik tajam.

Fakta lain, harga jagung melambung tinggi. Ini indikasi tak adanya pasokan. Akibatnya, biaya produksi usaha ternak unggas meningkat. Namun, di sisi lain harga karkas ayam di pasaran tidak turut naik. Justru yang terjadi sebaliknya, harga ayam hidup di tingkat petani anjlok di bawah harga pokoknya.

Pada kondisi ini pemerintah mengklaim pula bahwa produksi ayam di dalam negeri sudah kelebihan pasokan (over supply). Anehnya, harga di konsumen tak turun sebagai akibat over supply, sementara di pasar produknya terserap seperti tak ada gejala kelebihan produksi. Kesemua fenomena ini berdampak negatif terhadap pengembangan usaha peternakan rakyat di perdesaan.

Pendekatan pembangunan

Selama lima tahun terakhir, pemerintah tak konsisten dalam menggunakan konsep dasar pembangunan peternakan nasional. Konsep pembangunan yang digunakan beragam, antara lain ketahanan, kedaulatan atau kemandirian pangan, bahkan swasembada protein hewani.

Sesungguhnya konsep-konsep itu pendekatannya berbeda-beda. Misalnya ketahanan pangan, menganut upaya ketersediaan pangan baik produk sendiri maupun impor tak jadi masalah.

Sementara konsep kemandirian pangan yang diterjemahkan sebagai swasembada pangan mengatur ketersediaan pangan lokal dengan kandungan impornya maksimum 10 persen.

Adapun kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (UU Pangan No 18/2012).

Penetapan tujuan pembangunan peternakan itu membawa konsekuensi pada pelaksanaan operasionalnya. Kata ”keberpihakan” menjadi faktor penentu terhadap konsep pendekatan pembangunan yang selama ini digunakan.

Model pendekatan yang dipakai selama ini adalah sistem agribisnis yang di introduksikan berkisar 2001- 2004. Konsep ini lahir di AS, 1950-an, berbasis korporasi.

Sementara di dalam negeri lebih dari 90 persen usaha peternakan dikelola rakyat dengan pola farming system yang lebih dikenal dengan konsep ekonomi kerakyatan. Apabila ditelaah lebih lanjut, karut-marut pembangunan peternakan ini bermuara pada perbenturan sistem agribisnis (korporasi) dengan farming system (peternakan rakyat).

Sepertinya pemerintah memaksakan sistem agribisnis di tengah-tengah kondisi farming system. Karena dalam sistem agribisnis efisiensi bisnis akan tercapai jika dilakukan secara ”agribisnis vertikal”. Artinya, pengusaha peternakan dituntut menguasai subsistem agribisnis dari hulu (pra-produksi), budidaya, sampai hilir (pasca-produksi).

Hal ini yang telah dan tengah terjadi sehingga peternak rakyat kini menjadi buruh di kandangnya sendiri. Tiada kebebasan berusaha ternak karena seluruh sistem dikuasai korporasi, sarana produksi harganya ditentukan, berdampak terhadap rendahnya kualitas produksi hasil usaha peternakan rakyat.

Revisi UU PKH

Konsep apa pun yang akan digunakan pemerintah dalam membangun peternakan  seharusnya mampu menjembatani dalam transformasi sistem agribisnis yang berbasis korporasi di tengah-tengah masyarakat yang berbudaya usaha tani (farming system). Selama ini dirasakan sebagian besar kebijakan strategis dilakukan atas dasar hasil rapat tanpa dasar kajian akademik.

Sesungguhnya yang diperlukan ialah kebijakan berbasis kajian akademik yang berpihak kepada peternak rakyat, serta perlindungan terhadap produksi domestik.

Untuk itu, perlu dilakukan harmonisasi seluruh kebijakan yang ada, terutama kebijakan yang kontra produktif.  Harmonisasi yang paling mendasar harus dimulai dari merevisi UU No 41/2014 jo UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang disahkan terburu-buru menjelang akhir masa kepemimpinan SBY.

UU ini sudah digugat empat kali di Mahkamah Konstitusi oleh kelompok peternak sapi, peternak unggas, dan masyarakat umum. Revisi terhadap UU PKH ini kian diperlukan, terutama dengan terjadinya perubahan paradigma akibat revolusi industri 4.0 di era digital dan hadirnya UU No 11/2014 tentang keinsinyuran yang ditindaklanjuti dengan PP No 25/2019.

Dalam kebijakan ini, bidang ilmu peternakan merupakan profesi sehingga  kehadiran SDM sarjana peternakan menjadi keharusan di setiap subsistem produksi peternakan. Kewajiban menghadirkan profesi sarjana peternakan pada setiap lini sistem produksi akan mampu memperbaiki kinerja pembangunan peternakan nasional sesuai harapan Jokowi. Semoga.

Harmonisasi yang paling mendasar harus dimulai dari merevisi UU No 41/2014 jo UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang disahkan terburu-buru menjelang akhir masa kepemimpinan SBY.

(Rochadi Tawaf ; Anggota Grup Diskusi Laboratorium Ekonomi Agribisnis Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar