INDUSTRI PETERNAKAN
Revisi UU Peternakan dan Kesehatan
Hewan
Oleh : ROCHADI TAWAF
KOMPAS, 11 November 2019
Tanggal 20
Oktober 2019, Jokowi resmi dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya.
Pada periode
pertamanya, di sektor pertanian, pembangunan peternakan dirasakan paling
memprihatinkan. Dalam kaitan ini, Jokowi berjanji dalam pidato perdananya, dia
akan menyederhanakan segala bentuk regulasi yang menghambat pengembangan UMKM
(baca peternakan rakyat). Karut-marut pembangunan peternakan lima tahun
terakhir terjadi pada komoditas sapi potong, sapi perah, dan unggas. Untuk
industri sapi potong, kini berada pada kondisi deindustrialisasi atau ”sunset”.
Hal ini ditunjukkan oleh lebih dari 14 perusahaan feedloter telah bangkrut dan
mengancam sekitar 30 industri sapi potong sisanya. Padahal, industri ini telah
berkontribusi triliunan rupiah selama puluhan tahun pada pembangunan peternakan
rakyat perdesaan.
Selain itu,
munculnya sekitar tujuh korporasi mega-industri persusuan di negeri ini
jelas-jelas akan melumpuhkan bisnis peternakan rakyat di bawah naungan Gabungan
Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Di sini pun tak tampak keberpihakan pemerintah,
terutama dengan dicabutnya Permentan Nomor 26/2017 menjadi Permentan No 30/2018
dan kemudian menjadi Permentan No 33/2018. Esensinya memberikan kebebasan ke
industri pengolahan susu untuk tak bermitra dan tak menyerap produksi
peternakan rakyat.
Di industri
perunggasan pun peternakan rakyat seolah dibuat jadi tak berdaya. Diawali
dengan langkanya bibit ayam (DOC), afkir dini, dan kasus surplus produksi
jagung. Pada kasus ini pemerintah mengklaim produksi jagung nasional sekitar 33
juta ton pada 2018 sehingga tak perlu impor lagi. Memang faktanya impor jagung
turun, tetapi impor gandum sebagai pengganti bahan baku pakan naik tajam.
Fakta lain,
harga jagung melambung tinggi. Ini indikasi tak adanya pasokan. Akibatnya,
biaya produksi usaha ternak unggas meningkat. Namun, di sisi lain harga karkas
ayam di pasaran tidak turut naik. Justru yang terjadi sebaliknya, harga ayam
hidup di tingkat petani anjlok di bawah harga pokoknya.
Pada kondisi
ini pemerintah mengklaim pula bahwa produksi ayam di dalam negeri sudah
kelebihan pasokan (over supply). Anehnya, harga di konsumen tak turun sebagai
akibat over supply, sementara di pasar produknya terserap seperti tak ada
gejala kelebihan produksi. Kesemua fenomena ini berdampak negatif terhadap
pengembangan usaha peternakan rakyat di perdesaan.
Pendekatan pembangunan
Selama lima
tahun terakhir, pemerintah tak konsisten dalam menggunakan konsep dasar
pembangunan peternakan nasional. Konsep pembangunan yang digunakan beragam,
antara lain ketahanan, kedaulatan atau kemandirian pangan, bahkan swasembada
protein hewani.
Sesungguhnya
konsep-konsep itu pendekatannya berbeda-beda. Misalnya ketahanan pangan,
menganut upaya ketersediaan pangan baik produk sendiri maupun impor tak jadi
masalah.
Sementara
konsep kemandirian pangan yang diterjemahkan sebagai swasembada pangan mengatur
ketersediaan pangan lokal dengan kandungan impornya maksimum 10 persen.
Adapun
kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan
hak bagi masyarakat menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal (UU Pangan No 18/2012).
Penetapan
tujuan pembangunan peternakan itu membawa konsekuensi pada pelaksanaan
operasionalnya. Kata ”keberpihakan” menjadi faktor penentu terhadap konsep
pendekatan pembangunan yang selama ini digunakan.
Model
pendekatan yang dipakai selama ini adalah sistem agribisnis yang di
introduksikan berkisar 2001- 2004. Konsep ini lahir di AS, 1950-an, berbasis
korporasi.
Sementara di
dalam negeri lebih dari 90 persen usaha peternakan dikelola rakyat dengan pola
farming system yang lebih dikenal dengan konsep ekonomi kerakyatan. Apabila
ditelaah lebih lanjut, karut-marut pembangunan peternakan ini bermuara pada
perbenturan sistem agribisnis (korporasi) dengan farming system (peternakan
rakyat).
Sepertinya
pemerintah memaksakan sistem agribisnis di tengah-tengah kondisi farming
system. Karena dalam sistem agribisnis efisiensi bisnis akan tercapai jika
dilakukan secara ”agribisnis vertikal”. Artinya, pengusaha peternakan dituntut
menguasai subsistem agribisnis dari hulu (pra-produksi), budidaya, sampai hilir
(pasca-produksi).
Hal ini yang
telah dan tengah terjadi sehingga peternak rakyat kini menjadi buruh di
kandangnya sendiri. Tiada kebebasan berusaha ternak karena seluruh sistem
dikuasai korporasi, sarana produksi harganya ditentukan, berdampak terhadap
rendahnya kualitas produksi hasil usaha peternakan rakyat.
Revisi UU PKH
Konsep apa
pun yang akan digunakan pemerintah dalam membangun peternakan seharusnya mampu menjembatani dalam
transformasi sistem agribisnis yang berbasis korporasi di tengah-tengah
masyarakat yang berbudaya usaha tani (farming system). Selama ini dirasakan
sebagian besar kebijakan strategis dilakukan atas dasar hasil rapat tanpa dasar
kajian akademik.
Sesungguhnya
yang diperlukan ialah kebijakan berbasis kajian akademik yang berpihak kepada
peternak rakyat, serta perlindungan terhadap produksi domestik.
Untuk itu,
perlu dilakukan harmonisasi seluruh kebijakan yang ada, terutama kebijakan yang
kontra produktif. Harmonisasi yang
paling mendasar harus dimulai dari merevisi UU No 41/2014 jo UU No 18/2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang disahkan terburu-buru
menjelang akhir masa kepemimpinan SBY.
UU ini sudah
digugat empat kali di Mahkamah Konstitusi oleh kelompok peternak sapi, peternak
unggas, dan masyarakat umum. Revisi terhadap UU PKH ini kian diperlukan,
terutama dengan terjadinya perubahan paradigma akibat revolusi industri 4.0 di
era digital dan hadirnya UU No 11/2014 tentang keinsinyuran yang
ditindaklanjuti dengan PP No 25/2019.
Dalam
kebijakan ini, bidang ilmu peternakan merupakan profesi sehingga kehadiran SDM sarjana peternakan menjadi
keharusan di setiap subsistem produksi peternakan. Kewajiban menghadirkan
profesi sarjana peternakan pada setiap lini sistem produksi akan mampu
memperbaiki kinerja pembangunan peternakan nasional sesuai harapan Jokowi.
Semoga.
Harmonisasi
yang paling mendasar harus dimulai dari merevisi UU No 41/2014 jo UU No 18/2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang disahkan terburu-buru menjelang
akhir masa kepemimpinan SBY.
(Rochadi Tawaf ; Anggota Grup Diskusi
Laboratorium Ekonomi Agribisnis Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar