Sabtu, 16 November 2019

Pemuda Era Ekonomi Digital

EKONOMI DIGITAL
Pemuda Era Ekonomi Digital

Oleh :  FAIZAL ADHIM
KOMPAS, 16 November 2019

Dilantiknya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) merupakan angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia, Nadiem yang disebut mewakili sosok pemuda dan juga berlatar belakang perusahaan digital diindikasikan bakal banyak membawa gebrakan-gebrakan baru. Diperkirakan arah kebijakan Mendikbud banyak mengadopsi keterampilan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sehingga pemuda Indonesia memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia usaha saat ini.
Pada awal Oktober 2019 kerjasama antara Google, Temasek dan Bain Company merilis sebuah laporan yang berjudul e-Conomy SEA 2019. Dalam laporan tersebut Indonesia didaulat sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi digital tercepat dan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dengan pencapaian angka 40 miliar dollar AS pada tahun 2019, terjadi peningkatan empat kali lipat sejak tahun 2015 dengan rata-rata pertumbuhan 4,9% per tahun. Melihat tren pertumbuhan dalam kurun waktu tersebut, maka Google, Temasek, dan Bain memproyeksikan pada tahun 2025 pertumbuhan ekonomi digital Indonesia akan berada pada angka 130 miliar dollar AS. Pencapaian tersebut menandakan Indonesia tengah berada pada era digitalisasi ekonomi dimana sektor perekonomian ditopang oleh kegiatan yang berbasis teknologi, internet dan sibernatika.
Pengoptimalisasian digitalisasi ekonomi tidak terlepas dari peran kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Inovasi dan kreativitas merupakan syarat utama dalam keberhasilan digitalisasi ekonomi, SDM yang kreatif dan inovatif tentu menjadi aset yang sangat berharga bagi pembangunan perekonomian bangsa ini. Baru-baru ini WorldWorld Economic Forum (WEF) merilis Global Competitiveness Index (GCI) yang menempatkan Indonesia pada posisi 50 dari 141 negara. Padahal tahun lalu Indonesia berada di peringkat 45 dari 140 negara. Dalam penilaian tersebut terdapat 12 pilar yang menjadi indikator daya saing suatu negara. Indonesia mendapat nilai paling rendah pada pilar kapabilitas inovasi dengan angka 37,7 dari nilai maksimal 100. Selanjutnya dengan predikat terburuk kedua adalah pilar adopsi  TIK yang juga hanya mendapat skor 55 dari nilai maksimal 100.
Tingkat pendidikan pelajar Indonesia juga sangat rendah yang tercermin dari peringkat studi yang dilakukan Organization for Economic CO-operation and Development (OECD) yaitu Programe for International Student Assessment (PISA). Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 72 negara yang disurvei, kemampuan membaca pelajar Indonesia menurut hasil survei PISA 2015 meraih nilai 397, angka ini jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 493. Hal tersebut juga terjadi pada skor kompetensi sains sebesar 403  yang juga di bawah rata-rata OECD yaitu 493. Terlebih lagi skor kompetensi matematika yang hanya 386, sangat tertinggal dari rata-rata skor yaitu 490. Hal tersebut menandakan SDM Indonesia belum memiliki kemampuan literasi dan analisis yang baik, padahal kemampuan tersebut merupakan bekal utama dalam berinovasi.
Tidak heran jika Indeks Modal Manusia Indonesia (IMM) juga membawa kabar buruk. Berdasarkan di lingkup Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati peringkat ke-6 di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sedangkan Indonesia hanya unggul dari Kamboja, Myanmar, Laos, dan Timor Leste. Secara global, Singapura juga menduduki peringkat nomor wahid dengan skor 0,88 jauh dibandingkan Indonesia yang hanya mendapat skor 0,53. IMM digunakan untuk mengukur derajat manusia sebagai modal suatu negara. Indeks ini mengukur kontribusi kesehatan dan pendidikan untuk melihat produktivitas generasi pekerja yang akan datang. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah SDM Indonesia sudah siap untuk menghadapi digitalisasi ekonomi?
Padahal apabila peningkatan teknologi diikuti dengan peningkatan kualitas SDM maka berpotensi meningkatkan pendapatan negara dan juga membuka banyak lapangan pekerjaan baru. Seperti yang dilansir pada laporan Oxford Economics, pada tahun 2016 setiap 10% penetrasi mobile internet di Asia Tenggara berpotensi meningkatkan 58,1 miliar dollar AS produk domestik bruto dan membuka satu juta lapangan pekerjaan baru. Ditambah dengan adanya Palapa Ring konektivitas internet ke seluruh jaringan di Indonesia bukan lagi mustahil. Terlebih lagi Indonesia akan memasuki era bonus demografi dimana jumlah angkatan kerja yang didominasi pemuda lebih banyak dibandingkan dengan bukan angkatan kerja yang didominasi anak-anak dan lansia. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah agar memprioritaskan peningkatan dan pemerataan edukasi berbasis digital.
Pemuda Jadi Kunci
Tentunya momen emas ini tak bisa dilewatkan pemerintah dengan hanya berdiam diri.  Jika Indonesia ingin meraih proyeksi $130 miliar pada tahun 2025, maka pemerintah   harus mulai berbenah dalam membuat peta arah kebijakan yang relevan. Target peningkatan produktivitas dan daya saing akan bergantung pada bagaimana pemuda Indonesia meningkatkan nilai tambahnya. Jargon ‘SDM unggul’ yang digaungkan akhir-akhir ini pun harus dibarengi dengan langkah serius.
Dengan ditunjang kualitas pendidikan, teknologi dan riset yang memadai, pemuda-pemudi tanah air dapat memiliki bekal untuk meningkatkan keterampilan, kreativitas, penguasaan teknologi serta efisiensi produksi. Digitalisasi seharusnya mampu menjadi pendorong pembangunan ekonomi maka semestinya kinerja TIK berbasis digital menjadi motor penggerak yang transformatif dalam pembangunan ekonomi. Meningkatkan kualitas pemuda tak semudah membalikan telapak tangan, untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan dukungan dari pemerintah, terutama dukungan kebijakan seputar pendidikan, keterampilan dan pembangunan infrastruktur yang berbasis pada teknologi digital.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi langkah strategis pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk membangun pemuda di era digitalisasi ekonomi. Pertama, pengintegrasian data yang berhubungan dengan ekonomi digital. Saat ini data-data khususnya terkait ekonomi digital masih minim pengintegrasiannya. Dengan terpusatnya data maka akan banyak juga riset-riset terkait ekonomi digital yang tentunya juga akan berdampak pada peningkatan inovasi.
Kedua, adalah peningkatan kerjasama antara pemerintah, institusi pendidikan dan pihak swasta terutama perusahaan rintisan bebasis teknologi. Hal ini dibutuhkan mengingat penetrasi perusahaan rintisan berbasis teknologi sangat berdampak pada pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kerjasama tersebut bisa berbentuk kolaborasi pada pelayanan, pengadaan sarana-prasarana hingga riset-riset tentang ekonomi digital. Dengan skema kerjasama yang apik dan menguntungkan dua belah pihak maka akan menjadi pantikan masyarakat untuk berkontribusi serta berkompetisi di tengah digitalisasi ekonomi.
Terakhir, diperlukan perombakan dalam pelayanan di bidang pendidikan yang mampu menunjang ekonomi digital. Perihal fundamental seperti tenaga pendidik, konten pengetahuan, lingkungan belajar, kurikulum, bahan ajar, dan administrasi. Sistem pendidikan juga perlu mengadopsi keterampilan TIK sehingga siswa mulai mengenal digitalisasi dan ekonomi digital. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk sinkronisasi dengan dunia usaha agar tercipta keharmonisan kurikulum pendidikan dan kebutuhan di dunia usaha, yang bermuara pada pengentasan persoalan gap keterampilan serta pengangguran.
Adanya langkah strategis tersebut menjadi perhatian pemerintah dalam merancang kebijakan, sebab pemuda merupakan aset vital dalam pembangunan suatu bangsa. Mendikbud anyar di periode baru merupakan momentum ideal untuk mulai mengharmonisasikan tujuan. Agar kelak slogan ‘SDM unggul’ yang didengungkan pemerintah bukan merupakan jargon semata. ***

Faizal Adhim ; Asisten Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (Indef)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar