Senin, 18 November 2019

PR Kabinet Jokowi untuk Papua

POLITIK LOKAL PAPUA
PR Kabinet Jokowi untuk Papua

Oleh :  ARYA FERNANDES

KOMPAS, 18 November 2019


Pemerintahan Presiden Jokowi memulai periode kedua dengan situasi politik domestik kurang menguntungkan, yaitu turunnya kepuasan publik terhadap pemerintahan, maraknya aksi demonstrasi mahasiswa terkait revisi UU KPK, dan konflik di Papua.

Survei Litbang Kompas pada 17 November 2019 menemukan turunnya kepuasan publik terhadap pemerintahan dalam satu tahun terakhir. Pada April 2018 tingkat kepuasan publik sebesar 72,2 persen, turun menjadi 65,3 persen pada Oktober 2018. Pada Maret 2019 turun lagi menjadi 59,6 persen dan Oktober 2019 menjadi 58,8 persen. Di tengah situasi ini, mampukah pemerintah mengembalikan kepercayaan dan kepuasan publik pada pemerintahan?

Tulisan ini khusus mengulas kondisi yang tengah terjadi di Papua dan mengetengahkan beberapa alternatif politik dan kelembagaan untuk mencari solusi kondisi di Papua. Setidaknya dari sisi politik kelembagaan, ada dua hal yang harus mendapatkan prioritas pemerintahan ke depan terkait Papua.

Pertama, mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan 20 tahun Otonomi Khusus (Otsus) Papua terutama terkait penggunaan, distribusi dan dampak dana Otus terhadap pembangunan manusia Papua. Dengan dana Otsus yang besar, belum terasa perbaikan dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang masih rendah dan tingkat kemiskinan dan kesenjangan yang masih tinggi. Dalam 20 tahun ke depan, juga perlu dirancang cetak biru (blue print) yang jelas mengenai arah kebijakan Papua terkait pelayanan dasar, seperti akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan yang berkualitas, peningkatan kesejahteraan serta penegakan HAM.

Kedua, mengevaluasi peran dan tata kelola pemerintahan lokal dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.  Dalam 20 tahun terakhir, peran pemerintahan lokal dan DPRD belum berjalan dengan baik.

Korupsi politik masih membayangi sejumlah daerah di Papua. Begitu juga soal kepemimpinan kepala daerah dalam pemilihan langsung yang belum sepenuhnya efektif dalam menjalankan roda pemerintahan.

Di beberapa daerah, bahkan aktivitas di kantor pemerintahan ’lumpuh’ karena tidak terdapat aktivitas pelayanan yang baik dan DPRD tidak melakukan fungsi kontrol dan menyalurkan aspirasi warga.

Ke depan, perlu dirancang solusi politik dan kelembagaan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan lokal serta meningkatkan partisipasi masyarakat Papua untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Tiga inisiatif

Ada tiga hal yang dapat menjadi diskursus terkait penciptaan tata kelola pemerintahan lokal yang bersih dan melayani, yaitu diskursus soal pentingnya mengkaji kembali pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung untuk Papua dan Papua Barat dan mengkaji soal keberadaan partai lokal serta keberadaan badan baru yang mengurusi Papua dan Papua Barat.

Inisiatif pertama adalah membenahi tata kelola pemerintahan lokal di Papua dengan mengkaji kembali pelaksanaan pilkada secara langsung oleh masyarakat. Lemahnya tata kelola pemerintahan di Papua dan Papua Barat tampak dari Indeks Tata Kelola Pemerintahan yang dilakukan oleh Kemitraan (2008 dan 2012). Indeks tersebut diukur dari angka 1 (sangat buruk) sampai 10 (sangat baik).

Temuan Kemitraan menunjukkan indeks Papua dan Papua Barat berada di bawah rata-rata nasional, baik pada 2008 atau 2012. Di tengah peningkatan rata-rata indeks tata kelola nasional, indeks di Papua justru mengalami penurunan. Untuk Papua turun dari 5,01 pada 2008 menjadi 4,88 pada 2012. Sementara kondisi di Papua Barat lebih baik yang naik dari 4,37 pada 2008 menjadi 4,48 pada 2012. Indeks rata-rata nasional sebesar 5,1 (tahun 2008) dan 5,7 (2012).  Jika diturunkan pada empat arena yang dibuat oleh Kemitraan (2012), penurunan di Papua berada pada aspek pemerintahan yang merosot dari 4,52 (2008) ke 4,35 (2012); birokrasi dari 4,57 menjadi 4,25 dan masyarakat ekonomi dari 6,49 ke 5,36 serta naik pada aspek masyarakat sipil dari 5,33 ke 6,24. Sementara di Papua Barat hanya turun pada arena birokrasi dari 4,02 menjadi 3,55.

Dari sisi proses pelaksanaan pilkada, Papua dan Papua Barat selalu mendapatkan sorotan merah. Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 yang dikeluarkan Bawaslu, Provinsi Papua dan Papua Barat berada di atas rata-rata nasional kerawanan pemilu. Rapor merah potensi kerawanan di Papua juga terlihat dalam Pilkada 2018 dengan potensi kerawanan paing tinggi. Proses penyelenggaraan pilkada yang bermasalah ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Perludem (2017). Temuan Perludem menunjukkan adanya dugaan penggelembungan jumlah pemilih di daerah-daerah yang menerapkan sistem noken.

Di daerah tersebut, jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk. Sebagai contoh, jumlah pemilih dalam DPT pilkada di Kabupaten Tolikara sebesar 216.261 jiwa. Padahal, jumlah penduduk di kabupaten tersebut berdasarkan data BPS hanya 136.576 jiwa. Dalam penerapan sistem noken, juga tak ada standardisasi baku yang disepakati penyelenggara pemilu (Pasaribu, 2017). Menurut Pasaribu, terdapat beberapa metode dalam penggunaan sistem noken, yaitu melalui pesta bakar batu terlebih dulu, pemilihan oleh kepala suku, pemilih mencoblos surat suara lalu memasukkan ke noken, pemilih memasukkan surat suara ke kantong noken, atau pemilih berbaris di depan noken dan dihitung Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Perbedaan metode noken itu bisa saja dimanfaatkan oleh broker politik untuk memobilisasi para tetua adat, kepala suku atau bermain mata dengan penyelenggara pemilu. Dan kepala daerah terpilih dengan mekanisme yang tidak memiliki standar yang baku itu dikhawatirkan tak memiliki komitmen publik yang tinggi karena proses pemilihan yang tak transparan dan potensi penggunaan politik uang yang tinggi. Dari sisi kinerja, kepala daerah yang dipilih melalui sistem noken tak punya tuntutan untuk bekerja secara maksimal karena suara yang didapatkan berasal dari mobilisasi politik melalui pengerahan kepala suku dan tokoh-tokoh politik lokal. Sistem noken juga membuat sistem kompetisi jadi lemah karena tak ada kontestasi yang berarti di antara calon.

Evaluasi metode pemilihan kepala daerah di Papua dan Papua Barat mungkin bisa menjadi solusi untuk membuat tata kelola pemerintahan bisa berjalan bersih dan efektif. Pemilihan mungkin dapat dibagi berdasarkan beberapa kluster, yaitu daerah-daerah yang dapat melaksanakan pemilihan secara langsung, daerah-daerah yang kepala daerahnya dipilih oleh DPRD atau daerah-daerah yang kepala daerahnya ditetapkan secara langsung oleh pemerintahan pusat dengan mempertimbangkan masukan dari DPRD. Misalnya, daerah pesisir mungkin bisa tetap mempertahankan sistem pemilihan langsung, sedangkan daerah-daerah di pegunungan yang sebagian besar menggunakan sistem noken, kepada daerahnya dipilih DPRD/atau ditunjuk pemerintahan pusat.

Inisiatif kedua adalah merumuskan formula untuk meningkatkan fungsi representasi politik dan kedekatan publik dengan partai. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperbolehkan pendirian parpol lokal seperti di Aceh, bisa melalui revisi UU Otsus, atau revisi UU partai politik. Keberadaan partai lokal juga dapat memoderasi permintaan referendum oleh aktor-aktor politik di Papua. Melalui partai lokal, faksi-faksi politik di Papua mungkin akan terlembaga, sehingga dialog antara pemerintahan Indonesia dan tokoh-tokoh separatis Papua dapat dilakukan dengan baik.

Keberadaan partai lokal juga dapat membuat masyarakat Papua merasa lebih dekat dengan parpol. Diharapkan dengan adanya partai lokal,  masyarakat Papua dapat lebih tertarik untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik. Hal itu, karena basis pembentukan partai yang mempertimbangkan aspek sosiologis, seperti kesamaan gagasan/ide, jaringan politik, atau agenda yang sama.

Inisiatif ketiga adalah perlunya pembentukan badan baru untuk mengontrol pelaksanaan UU Otsus Papua. Badan tersebut harus powerful dan langsung bertanggung jawab dan berada di bawah Presiden, serta melakukan tugas koordinasi dengan gubernur Papua dan Papua Barat. Dari sisi personel, badan harus didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni dan mempunyai pengalaman berinteraksi dengan isu dan aktor politik Papua. Dukungan anggaran perlu diperkuat dan dialokasikan secara khusus dan bukan mengambil dari alokasi kementerian tertentu.

Badan baru juga dapat menjadi hub yang mengoordinasikan semua divisi di kementerian/lembaga yang mengurusi Papua atau jika perlu mungkin semua divisi tersebut bisa dilebur pada badan baru yang akan dibuat. Banyaknya divisi yang mengurusi Papua, dikhawatirkan dapat memperumit koordinasi dan penyelesaian masalah Papua ke depan. Keberadaan badan baru tersebut perlu dirancang dan ditangani secara serius oleh pemerintah, mengingat masalah Papua perlu mendapatkan penanganan yang spesial dari pemerintah.

Sebelumnya, kita sudah punya badan yang pernah menangani Papua, seperti Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B), tetapi badan tersebut seperti tidak berdaya karena lemahnya dukungan politik dan anggaran dari pemerintah.

Tiga inisiatif politik kelembagaan tersebut bisa menjadi alternatif untuk didiskusikan dalam kerangka membangun situasi damai di Papua ke depan.


(Arya Fernandes, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS dan Anggota Pokja Papua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar