Saya dan teman-teman yang menekuni psikologi dan mengajar di perguruan tinggi beberapa tahun terakhir ini merasa sangat prihatin sekaligus heran karena cukup sering berhadapan dengan mahasiswa yang mengalami masalah psikologis serius.
Pada masa sebelumnya mungkin juga ada, tetapi beberapa tahun terakhir ini jauh melonjak jumlah kasus serius di kalangan mahasiswa. Ada yang mengalami depresi, menarik diri, dan tidak mampu berhubungan sosial, ketakutan bila harus berhubungan langsung dengan orang lain, mengalami serangan panik hingga sesak napas, bahkan sebagian melukai diri dan mencoba bunuh diri.
Sementara itu, secara umum teramati adanya perubahan cukup mendasar. Hal ini tampaknya bermuara pada menurunnya minat sosial dan keterampilan sosial atau keduanya. Cukup banyak mahasiswa tidak ingat atau tidak tahu nama dosen yang mengajar di kelasnya, serta mengaku tidak memiliki teman sebaya yang cukup dekat dan dapat diandalkan untuk saling membantu dalam menghadapi kesulitan.
Kami sementara ini menyimpulkan bahwa hal di atas tidak dapat dilepaskan dari gabungan berbagai aspek yang membentuk situasi hidup yang kompleks saat ini. Tambahan lagi, ada cukup banyak orangtua yang tidak mampu menjalankan peran sebagai orangtua secara baik. Ini diperparah juga oleh perubahan hidup yang dihadirkan oleh internet.
Tak terbatas
Tidak seperti pada masa sebelumnya, saat ini kita kehilangan banyak kesempatan untuk berhubungan langsung dengan sesama manusia karena hampir semua bagian aktivitas hidup dijalani dengan perantaraan internet. Contoh saja, sekarang kita berbelanja melalui internet, mengucapkan selamat lewat internet, bermain, mengobrol, berdiskusi, juga cukup lewat dunia maya.
Hidup diperantarai internet membuka cara berada yang baru, yang seperti tak berbatas. Ada banyak hal positif yang muncul dengan kemajuan teknologi. Yang tak dapat menjangkau pendidikan formal dapat belajar dari internet, memilih saja apa yang diminati dan mempelajarinya dari dunia maya. Maka, hadir jugalah anak-anak muda yang sangat kreatif dan inovatif dalam menghadirkan temuan-temuan baru, yang tidak harus lahir dari keikutsertaan dalam pendidikan formal.
Internet sekaligus mengubah perilaku ekonomi. Semua hal dapat dilaksanakan dengan sangat efisien, cepat, dan murah. Mengingat karakteristik dasar dari bisnis yang harus kompetitif untuk dapat bertahan, yang sebelumnya ”dapat” akhirnya menjadi ”harus”. Kegiatan kerja dan ekonomi harus dijalankan dengan sangat cepat, sangat efisien, dan sangat murah.
Terkait dengan itu, beberapa lembaga pendidikan tinggi mulai membuka kelas daring yang meminimalkan tatap muka. Proses perkuliahan adalah daring, komunikasi dijalankan daring, termasuk diskusi, pengerjaan tugas, dan ujian.
Koneksi yang hilang
Kita belum–atau terlambat–untuk menyadari bahwa ada hal-hal mendasar dan sangat penting yang hilang, yakni koneksi langsung di antara sesama manusia. Kita mungkin duduk dengan keluarga atau pasangan di restoran menunggu makanan yang dipesan, tetapi masing-masing tidak terkoneksi karena sibuk dengan gawai masing-masing.
Orangtua sering mengeluh mengenai anak yang terlalu sibuk dengan gawai, tetapi sesungguhnya ibu dan ayah mungkin juga berperilaku sama. Ketika anak sakit ada yang mementingkan mengunggah keprihatinannya di media sosial (”sedih melihatmu seperti ini Nak. Cepat sembuh, ya, Mama-Papa sayang kamu,”) daripada mendampingi anak secara langsung.
Untuk generasi yang telah lahir sebelum adanya internet, situasi tidak terlalu sulit karena kelompok ini telah dilatih untuk dapat berkoneksi langsung dengan orang-orang lain. Situasi menjadi lebih sulit bagi anak dan generasi muda yang lahir saat dunia sudah dikuasai internet. Sebagiannya merasa bingung dan canggung untuk berhubungan langsung, apalagi bila orangtua dan keluarga tidak mendampingi untuk menghadirkan relasi yang riil dan mengajarkan keterampilan sosial.
Kita mendapati ada yang terbawa arus deras di dunia maya, kehilangan pijakan dari dunia nyata. Dunia maya dilihat sebagai realitas, atau menjadi pelarian dari kesulitan berelasi di dunia nyata. Karena tidak terampil secara sosial, mereka yang piawai di dunia maya bisa jadi kikuk di dunia nyata sehingga tidak punya kelompok riil yang dapat memberikan dukungan sosial saat menghadapi kesulitan.
Ketika internet membawa manusia berkelana ke dunia yang seolah tak berbatas, pada saat yang sama kita menemukan anak-anak muda yang kelelahan dan kewalahan karena bombardir limpah ruah informasi dari internet dan media sosial. Hiruk pikuk di dunia maya tidak diimbangi relasi di dunia nyata sehingga cukup banyak anak muda merasa kosong, bingung, dan tak punya teman.
Pembandingan sosial akibat melihat unggahan (postingan) teman sebaya di media sosial, tuntutan untuk menjadi ”yang terbaik”, dan pola pengasuhan yang buruk dari orangtua dapat makin menghadirkan rasa tidak aman, kekecewaan pada diri sendiri, kesepian, bahkan perasaan teralienasi.
Kemajuan teknologi, seperti juga kapitalisme, adalah hal yang tak terhindarkan. Bagaimanakah memastikan agar kompetisi dan perubahan radikal pada era digital ini dapat tetap memberikan tempat bagi mereka yang ”tidak sempurna”? Bagaimanakah memastikan agar sistem pendidikan dan cara hidup kita pada era post-human ini tetap dapat menghadirkan kebahagiaan dan kondisi sehat mental, khususnya bagi generasi muda? ***