Sabtu, 16 November 2019

Yang Hilang d(ar)i Hari Pahlawan

MAKNA KEPAHLAWANAN
Yang Hilang d(ar)i Hari Pahlawan

Oleh :  A. WINDARTO

KOMPAS, 16 November 2019


Menarik bahwa belum lama ini seekor anjing pelacak dari Amerika Serikat dicap sebagai pahlawan. Pasalnya, karena anjing itulah yang telah mengejar pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi sebelum meledakkan bom bunuh diri di sebuah terowongan. Anjing itu sendiri selamat meski mengalami luka-luka (Sindonews, 29/10/2019)..

Pertanyaannya, tepatkah sebutan pahlawan seperti itu? Apakah sebutan itu merupakan bahasa yang benar-benar bermakna? Atau, jangan-jangan hal itu hanyalah bahasa kosong yang dimanfaatkan untuk menyembunyikan sesuatu yang mengerikan?

Dalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia. Keluarga Indonesia dalam Politik (KPG, 2001), Saya Sasaki Shiraisi menunjukkan bahwa pahlawan adalah bahasa yang secara politis diciptakan dalam sebuah keluarga. Yang dimaksud dengan keluarga bukan sekadar sosok-sosok yang dikenal berperan sebagai bapak, ibu atau anak. Tetapi, hal itu merupakan suatu sistem dari hubungan relasional antara orang-orang yang berperan dalam keluarga.

Sistem yang dibentuk dari sana dinamai dengan kekeluargaan atau “famili-isme”. Dalam sistem inilah, bapak diposisikan sebagai kepala yang bertanggungjawab terhadap para anggota keluarga. Sementara, ibu dan anak adalah mereka yang dituntut untuk selalu taat dan patuh pada segala aturan dan/atau ajaran yang dibuat bapak.

Di sanalah batas-batas antara yang tertib dan gaduh, antara yang jinak dan liar, dihadirkan demi keamanan dan kenyamanan hidup dalam keluarga. Itulah mengapa bapak yang dianggap tahu segalanya tidak pernah dipandang bersalah, meski telah melakukan korupsi misalnya. Sebaliknya justru bapak dipandang sebagai dermawan, meski ketahuan “mencuri” atau berbuat “skandal” sekalipun.

Dalam hal ini, bapak dapat bertindak toleran dan sewenang-wenang, tetapi dapat pula menjadi kenangan akan ketakutan. Itu artinya, bapak selalu menjadi pahlawan yang ditegakkan melalui bahasa yang tidak boleh ditentang oleh siapapun. Maka apapun yang diperbuat oleh bapak adalah sah dan resmi sehingga harus dijaga dan diselamatkan. Sementara, bagi yang menentang bapak, akan dipandang sebagai suatu kegaduhan yang perlu ditertibkan.

Penertiban lewat bahasa seperti pahlawan adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang melanggar, apalagi menantang, hukum dan peraturan jika sosok bapak begitu dihormati, dihargai dan disegani oleh para anak buahnya setara dengan seorang pahlawan.

Namun, di sinilah sesungguhnya bahasa yang tanpa makna alias bahasa kosong itu berada. Bahasa yang dibuat untuk menutupi kenyataan itu justru digunakan untuk menegakkan kebohongan, bahkan kejahatan, yang mengerikan dan berdarah.

Salah satu contohnya adalah Orde Baru yang dibangun hanya lewat sebuah surat sakti bernama Supersemar. Sebab berkat surat itu ratusan ribu nyawa melayang dalam sekejap tanpa dapat ditelusur lagi jejak langkahnya.

Belum lagi yang hingga kini masih menyimpan ingatan yang tidak mudah untuk dilupakan mengenai pembantaian orang-orang yang dicap “komunis”. Cap yang sampai saat ini selalu dijadikan “hantu” untuk membungkam siapapun yang melawan heroisme dari para penjagal komunisme.

Bukan kebetulan bahwa salah seorang penjagal “komunis” di Medan, Sumatera Utara, belum lama ini tutup usia. Namanya Anwar Congo yang sempat menjadi tokoh utama dalam sebuah film dokumenter berjudul “Jagal” (The Act of Killing) garapan Joshua Oppenheimer (2012).

Bagi para penjagal, seperti Anwar Congo, pembantaian terhadap orang-orang komunis adalah sebuah aksi heroik. Sebab apa yang mereka perbuat adalah demi menyelamatkan rejim yang telah memberi kekayaan meski dengan cara dan gaya kriminal sekalipun. Kendati “kepahlawanan” mereka tidak pernah diakui oleh negara, namun kenangan akan aksi heroik itu adalah kebanggaan atas kekebalan mereka dari peraturan dan hukum apapun.

Jadi, kepahlawanan yang kerap dibanggakan sebagai bahasa pengorbanan tanpa pamrih (nasionalisme) sesungguhnya perlu selalu diwaspadai dengan jeli. Kewaspadaan itu diperlukan agar tidak kehilangan saat dan tempat yang tepat untuk memaknai kepahlawanan secara lebih kritis dan tajam. Hal ini sekaligus merupakan perlawanan terhadap fosilisasi bahasa tentang kepahlawanan.

Dengan kata lain, kepahlawanan bukan sekadar ditunjukkan oleh adanya bintang jasa, taman makam pahlawan, atau monumen bersejarah tertentu. Melainkan, lebih dari itu adalah sumbangsih apa yang dapat dijadikan peringatan akan hilangnya semangat rela berkorban tanpa perlu mengorbankan orang lain.

Syair-syair dari puisi Wiji Thukul misalnya, dapat dijadikan contoh nyata betapa sumbangan kata-kata puitisnya masih dapat menjadi sumber kekuatan untuk menyuarakan kepentingan dari para korban. Salah satunya kata-kata yang berbunyi “Ini tanah airmu, di sini kita bukan turis.”

Dalam aksi demonstrasi terhadap RUU KPK, RUU KUHP, dll., kata-kata itu sempat viral lantaran tertera pada sebuah kaos yang dipakai oleh salah seorang peserta aksi. Meskipun bukan pahlawan, namun kata-kata yang diciptakan oleh salah seorang penyair dari Solo di era 1990-an itu toh lebih bermakna dan berdaya ketimbang kisah kepahlawanan dari anjing pelacak di atas. Bukankah demikian? ***


(A. Windarto ;  Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar