”Cuaca politik baik. Hangat tapi bersahabat.” Pesan itu sampai ke telepon seluler saya dari seorang politisi seusai pelantikan Kabinet Indonesia Maju, Rabu, 23 Oktober 2019. Saya menjawab, ”Syukur kalau memang demikian. Semoga semuanya baik untuk negeri.”
Percakapan dengan politisi itu mengambil latar politik pembentukan kabinet. Letjen (Purn) Prabowo Subianto diangkat sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Dengan masuknya Partai Gerindra, secara matematis politik, kekuasaan Presiden Jokowi kian solid.
Koalisi Presiden Jokowi mengontrol 427 kursi atau 74,26 persen dari total kursi DPR. Kontrol parlemen pada pemerintahan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin sudah hampir mirip dengan kontrol Presiden Soeharto. Pada masa Orde Baru (1971-1997), Golkar mengontrol 65-76 persen suara DPR. Bedanya, pada Orde Baru kontrol parlemen hanya oleh Golkar, ditambah birokrasi dan ABRI. Pada era pemerintahan Jokowi, kontrol DPR dilakukan bersama koalisi PDI-P, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, dan PPP.
Kabinet Indonesia Maju bisa ditafsirkan sebagai konsolidasi politik kekuasaan. Ada enam pensiunan jenderal TNI/Polri di sekitar Presiden. Ada Letjen (Purn) Prabowo Subianto, ada Letjen (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, ada Jenderal (Hor) Luhut Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, ada Letjen (Purn) Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan, ada Jenderal (Pol Purn) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri. Masih ada Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Partai pengusung yang tak mendapat kursi di parlemen dan sukarelawan pendukung, mantan aktivis LSM, diberi kursi wakil menteri, seperti Surya Chandra, kader Partai Solidaritas Indonesia yang ditunjuk sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang; Budi Arie Setiadi sukarelawan Projo diangkat menjadi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Ada Teten Masduki yang menjadi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Beberapa pemilik media berada di pusat kekuasaan.
Melihat fakta itu, konsolidasi politik berhasil dilakukan Presiden Jokowi. Namun, sejarah mengajarkan politik Indonesia itu sangat dinamis. Konfigurasi kekuasaan bisa berubah dengan cepat, tergantung kepentingan politik. Kekuasaan itu memang tremendum (menggetarkan) dan fascinosum (memesona). Namun, kekuasaan kadang memabukkan dan membuat lupa terhadap asal kekuasaan. Kekuasaan berasal dari rakyat dan seharusnya takhta untuk kepentingan rakyat, demikian buku Sultan Hamengku Buwono IX.
Pertanyaan yang patut diajukan, takhta kekuasaan itu mau diapakan? Dengan kerja sama politik pemerintah dan DPR, secara teoretis, Presiden Jokowi bisa melakukan apa saja. Mau mengegolkan omnibus law untuk memotong hambatan dalam investasi, bisa dilakukan. Mau merevisi UU Ketenagakerjaan guna memudahkan investasi, tapi meninggalkan buruh, bisa dilakukan. Mau mengusulkan UU Pemindahan Pusat Pemerintahan secara teoretis mendapat dukungan parlemen, apalagi pada era demokrasi jual beli. Bahkan, dengan 427 kursi DPR, koalisi pemerintah bisa menguasai 60 persen kursi MPR. MPR beranggotakan 711 kursi. Dengan kontrol 60 persen di MPR, mau mengubah konstitusi bisa dilakukan.
Itulah matematika politik. Namun, politik bukan urusan kalkulator. Kekuasaan politik harusnya didedikasikan untuk kepentingan rakyat. Ketika rakyat ditinggal, dia pun bisa bersikap. Kekuasaan politik harus dipakai untuk melindungi hak asasi manusia (HAM). Kekuasaan politik bukan untuk mengancam, seperti ungkapan jika tidak suka, silakan pergi dari sini, yang justru mengebiri kebebasan berpendapat. Kekuasaan politik harus didedikasikan untuk mengembangkan demokrasi.
Dengan kekuasaan di tangan, ada peluang bagi Presiden Jokowi membersihkan bangsa ini dari korupsi. Dengan kekuasaan di tangan, ada juga peluang bagi Presiden Jokowi untuk membayar lunas janji kampanye menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini, menuntaskan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dan memperkuat eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kekuasaan itu menggetarkan dan memesona sehingga semua orang memburunya. Namun, sejarah mengajarkan kekuasaan bisa memabukkan sehingga orang bisa lupa diri. Pepatah kuno mengatakan, honores mutant mores, saat orang mulai berkuasa, berubah pula tingkah lakunya. Dalam kaitannya dengan takhta untuk rakyat, ada peribahasa Jawa berbunyi; Curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Artinya, keris menyatu dengan sarungnya, sarung menyatu dengan kerisnya. Itulah gambaran ideal hubungan pemimpin dengan rakyatnya. Pemimpin memahami aspirasi rakyat. Sedangkan rakyat menghormati pemimpin. Takhta itu untuk rakyat, bukan untuk oligark. ***