Saya duduk di sebuah rumah makan dan di depan saya tersedia menu yang saya pesan. Bebek panggang, udang mayones, sayur kailan bawang putih, nasi goreng ayam, telor dadar udang.
Berdoa
Minggu lalu, di kota singa, bersama seorang teman saya menyantap ayam rebus, sayur taoge dengan taburan ebi, dan nasi goreng udang. Satu hari sebelum itu, saya menyantap bakuteh dengan tuan rumah tempat saya tinggal selama berlibur di kota singa.
Cerita saya di atas akan menjadi sangat panjang kalau saya menuliskan makanan apa saja yang masuk ke dalam perut melalui mulut yang selalu siap untuk menyantap. Itu semua belum termasuk makanan penutup. Saya tak bermaksud untuk menceritakan apa yang saya makan, saya mau menceritakan sesuatu di luar semua itu.
Begini. Sebelum saya menyantap semua makanan di atas, saya berdoa. Konten doa saya ada tiga. Pertama, saya berterima kasih bisa makan hari itu. Kedua, saya berdoa agar mereka yang belum makan kiranya Tuhan menyediakan untuk mereka seperti Tuhan telah menyediakannya untuk saya. Butir tiga, yang selalu menjadi butir penutup adalah agar dengan makanan ini saya menjadi sehat.
Nah, butir tiga ini yang ingin saya ceritakan. Anda pasti sudah tahu bagaimana kondisi kesehatan saya. Saya sudah menceritakan hal itu berulang kali. Jadi, pada dasarnya saya tidak sehat dan saya tetap menyantap makanan seperti yang saya sebutkan di atas, dan berharap tetap sehat.
Saya tertawa sendiri. Saya ini mau sehat dari sebuah kondisi yang sudah tidak sehat, tetapi tetap makan berlebihan yang membuat saya semakin tidak sehat. Di atas segalanya itu, saya memohon (baca: memaksa) Tuhan agar apa yang masuk ke dalam perut membuat saya sehat.
Mungkin ada di antara Anda, pembaca, yang menganggap saya tak sungguh-sungguh berniat menjadi sehat. Saya sungguh berniat menjadi sehat, hanya saja dengan cara yang tidak sehat. Anda tahu mengapa saya berdoa sebelum makan? Bukan hanya karena tiga alasan yang saya jelaskan di atas, tetapi ada butir keempat yang nyaris lupa saya jelaskan.
Saya berdoa sebelum makan itu karena saya ingin cuci tangan kalau suatu hari saya jatuh sakit, saya merasa tidak bersalah. Saya sudah memohon dalam doa agar Tuhan memberkati makanan itu
”Sak enak udele dewe.”
Saya sungguh berniat ingin sehat, tetapi niat itu terjadi kalau sudah kepentok tak bisa jalan karena asam urat saya kumat seperti terjadi dua minggu yang lalu. Saya berniat untuk sehat kalau sudah menderita. Padahal, saya ini pernah mengenyam pendidikan kedokteran.
Selamat saya tak jadi dokter. Bayangkan kalau saya jadi dokter, saya adalah dokter yang mampu memberi nasihat untuk sehat pada pasien, tetapi tak mampu menasihati dirinya sendiri. Seorang dokter yang ironisnya maunya jadi sehat dengan cara yang tidak sehat.
Orang mengatakan kepada saya, hidup hanya sekali dan saya harus menikmati. Saya mau memberitahu kepada Anda, pembaca, jangan percaya kalimat atau nasihat itu. Ketika saya menjalankan nasihat itu melalui makan yang sungguh saya nikmati, kemudian kaki saya sakit tak bisa jalan, mereka yang berbicara dan menasihati saya itu tidak hadir waktu saya jalan terseok-seok. Mereka tak membiayai tusuk jarum saya yang Rp 400.000 itu. Mereka tidak datang menemani saat saya CT scan.
Waktu saya membuat artikel ini, saya membaca di media sosial kalau sebuah apotek di bilangan Jakarta Selatan dihantam mobil sehingga rusak berantakan dan membuat seorang satpamnya meninggal dunia. Setelah diusut, ternyata pengendara mobil kehilangan konsentrasi.
Saya sampai berpikir mengapa pengendara mobil tak memilih untuk tidak menyetir, kalau yang dimaksud dengan kehilangan konsentrasi itu mungkin gara-gara mengantuk atau mabuk atau alasan lainnya?
Kemudian nurani saya yang bawel melihat peluang untuk menghajar saya. ”Huh? Elo nanya gitu? Mending pertanyaan itu elo tanyain ke diri elo sendiri. Elo itu juga kehilangan konsentrasi. Gimana enggak? Udah tahu makanan yang elo makan membuat kepala cenut-cenut, tensi naik, kolesterol naik, asam urat naik. Kenapa juga masih aja makan makanan yang membuat elo sakit? Elo kebanyakan omong.”
Saya memang kebanyakan omong. Mungkin itu yang harus saya perbaiki supaya hidup saya itu bukan hanya berpikir selama ada obat antihipertensi, anti ini dan anti itu, dan karena saya sudah berolahraga, sudah lari dan jalan kaki sekian kilometer setiap hari, maka saya merasa layak untuk mengisi perut dengan segala macam makanan.
Saya itu selayaknya tak kehilangan konsentrasi dan selayaknya tak berdoa untuk cuci tangan. Saya mau sehat, tetapi tanpa berniat hati-hati. Saya mau pernikahan saya langgeng, tetapi berselingkuh sesekali. Saya mau korupsi, tetapi kalau bisa jangan ketahuan. Saya mau naik kelas, tapi malas belajar. Saya mau makan sembarangan, tapi tetap mau hasil laboratorium saya normal.
Selayaknya saya tidak memaksa Tuhan melalui doa yang saya panjatkan untuk berpartisipasi dalam menjaga pernikahan saya, menjaga kesehatan saya, menjaga konsentrasi saya, dengan cara yang saya ketahui sejak awal, itu keliru. Bukankah itu yang namanya sak enak udele dewe? ***