ANALISIS EKONOMI
Neraca Pembayaran Indonesia
Oleh : ARI KUNCORO-- REKTOR UNIVERSITAS INDONESIA
KOMPAS, 19 November 2019
Indonesia
mengalami perbaikan kondisi eksternal pada triwulan III-2019. Secara
keseluruhan, neraca pembayaran memang masih defisit 46 juta dollar AS. Namun,
kondisi hal ini sudah lebih baik dibandingkan dengan defisit hampir dua miliar
dollar AS pada triwulan II-2019. Perbaikan ini terjadi terutama karena neraca
barang surplus 1,255 miliar dollar AS pada triwulan III-2019. Akibatnya,
defisit transaksi berjalan berkurang menjadi 7,685 miliar dollar AS, dari 8,151
miliar dollar AS pada triwulan II-2019.
Jangka pendek vs jangka panjang
Tren pada
Oktober 2019, sebagai bulan pertama pada triwulan IV-2019, juga terlihat
menjanjikan. Badan Pusat Statistik mengumumkan, nilai ekspor secara bulanan
tumbuh 5,92 persen. Sementara nilai ekspor secara tahunan turun 6,13 persen. Di
sisi lain, impor meningkat 3,57 persen secara bulanan, sedangkan secara tahunan
turun 16 persen. Secara keseluruhan pada bulan Oktober tercipta surplus 161,3
juta dollar AS.
Pertanyaan
awam, bagaimana menerjemahkan data di atas yang membingungkan. Ada beberapa
hal. Pertama, tren jangka pendek versus jangka panjang. Kedua, apakah kenaikan
impor itu baik. Jawabannya sangat kompleks, tidak sekadar ya atau tidak.
Pertumbuhan tahunan yang negatif menjelaskan situasi belum baik seperti sedia
kala. Situasi pada 2018 berbeda dengan 2019.
Pada 2018,
perang dagang masih dalam masa gertak-menggertak. Sudah terjadi tren penurunan
pertumbuhan perdagangan dunia sejak awal 2018, tetapi dampak yang menggigit
baru dirasakan dunia, termasuk Amerika Serikat dan China, sejak awal 2019.
Sejak Maret 2019, tren pelambatan ini sudah mulai dihubungkan dengan resesi
dunia, apalagi indikator tren perbedaan suku bunga jangka pendek dan jangka
panjang di AS—yang selama ini digunakan untuk mendeteksi resesi—sudah
menunjukkan lampu kuning.
Di lain pihak,
pertumbuhan ekspor bulan ke bulan yang positif menunjukkan dunia menyambut
prospek perdamaian dagang AS-China yang sebenarnya juga masih alot. Akan
tetapi, setelah sekian lama hanya mendengar berita yang negatif, apa pun yang
berbau positif hampir pasti akan mendapat sambutan hangat. Namun, hal ini
sekali lagi menunjukkan, ekspor Indonesia dengan basis komoditas masih
tergantung dari angin baik internasional. Kenaikan impor secara bulanan juga
merupakan cermin dari ketergantungan ekspor dan industri Indonesia terhadap
bahan-baku/penolong impor. Bahan baku impor diperlukan jika industri dalam
negeri belum dapat menghasilkannya.
Selama ini
substitusi dari bahan baku impor menuju bahan baku dalam negeri memang terjadi
sangat lambat. Pada 2006-2015, persentase produksi yang diekspor menurun dari
12,6 persen menjadi 10,4 persen. Pada saat yang sama, proporsi input industri
yang diimpor meningkat dari 8,3 persen menjadi 10 persen. Salah satu strategi
melakukan substitusi impor adalah dengan program B20 yang akan ditingkatkan
menjadi B30 yang berdampak nasional. Namun, perlu juga diperhitungkan melakukan
substitusi impor melalui perbaikan perizinan dan investasi yang mengubah
struktur industri Indonesia dengan fokus mendorong industri bahan baku industri
dan penghasil input industri yang lain. Salah satu contoh adalah industri mobil
listrik.
Bank of
America memperkirakan, dalam 10 tahun mendatang, permintaan minyak dunia akan
mencapai puncaknya kemudian menurun. Pada 2030, diperkirakan pertumbuhan
permintaan minyak dunia akan mencapai nol persen per tahun. Faktor penyebabnya
adalah penyebaran mobil listrik. Meski demikian, pertumbuhan kendaraan listrik
akan terhambat kelangkaan barang tambang langka yang digunakan untuk bahan baku
baterai, yaitu lithium dan kobalt. Lithium terkonsentrasi di beberapa negara
Amerika Latin, sedangkan kobalt ada di Republik Demokrasi Kongo yang
pemerintahannya tidak stabil.
Pada 2020,
kendaraan listrik hanya mengambil pangsa 5 persen dari penjualan kendaraan
bermotor dunia. Pangsa ini diramalkan akan meningkat menjadi 40 persen pada
2030 dan 95 persen pada 2050. Ditandatanganinya Peraturan Pemerintah tentang
Mobil Listrik memberi isyarat jalur ekspansi Indonesia di masa depan ke arah
industri yang mempunyai basis sumber daya dalam negeri. Nikel dan kobalt
merupakan hasil tambang Indonesia yang menjadi elemen utama industri baterai
mobil listrik.
Dengan
jumlah penduduk yang besar sebagai penyangga pasar, Indonesia mempunyai prospek
baik berperan dalam industri otomotif dunia di masa depan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar