Rabu, 20 November 2019

Radikalisme ASN: ”Halu” atau Nyata

Radikalisme ASN: ”Halu” atau Nyata

Oleh :  SAIFUR ROHMAN

KOMPAS, 20 November 2019


Sebelas kementerian dan lembaga meluncurkan portal aduan untuk aparatur sipil negara, atau ASN pada Selasa (12/11/2019).

Menurut pemerintah, portal itu dimaksudkan sebagai respons terhadap pegawai negeri yang diduga terpapar radikalisme. Perlukah portal tersebut? Jika perlu, apakah langkah itu efektif untuk menangkal radikalisme?

Rasionalitas pemerintah dapat dipahami melalui sejumlah pernyataan tentang radikalisme. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) mengklaim sudah mengantongi data para pegawai yang terjangkit radikalisme. Data itu konon berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sebelumnya, Kementerian Pertahanan menyatakan 23,4 persen mahasiswa terpapar radikalisme.

Setara Institute menyatakan, sepuluh perguruan tinggi negeri (PTN) sudah terpapar radikalisme. Hal itu terbukti melalui kajian-kajian keagamaan yang dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu. Kesepuluh PTN itu adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), UIN Jakarta, UIN Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, dan Universitas Airlangga. Di beberapa institusi kepemerintahan, wacana radikalisme terus menyebar, bahkan dalam TNI dan polisi.

Produk berita palsu

Pernyataan tersebut memberikan bias informasi. Jika memang sudah terpapar dan terbukti, pemerintah dapat melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku radikal tersebut. Artinya, pemerintah dapat melakukan tindakan hukum yang adil dan terbuka. Sampai sejauh ini, pemerintah belum melakukan tindakan tersebut.

Sampai klaim itu belum terbukti, data itu bisa saja menjadi bagian dari kategori berita palsu. Di sisi lain, peluncuran portal itu dijadikan sebagai langkah antisipasi agar data tersebut tidak meningkat.

Dalam perspektif McLuhan, media adalah pesan dan portal aduan adalah sebuah pesan dari pemerintah kepada masyarakat. Melalui pemahaman Anthony Giddens, kita tahu, struktur interaksi sosial dapat dilihat berdasarkan tiga aspek, yakni komunikasi, modalitas, dan struktur (New Rules of Sociological Method, 1993: 129). Modalitas merupakan jembatan antara interaksi masyarakat dan struktur reproduksi makna. Dalam proses reproduksi makna, diperoleh tiga kemungkinan. Pertama, komunikasi akan menghasilkan proses penandaan untuk saling memahami. Kedua, komunikasi akan menghasilkan kesepakatan. Ketiga, komunikasi akan menghasilkan ancaman kekuasaan.

Bertolak dari gagasan Giddens dan McLuhan di atas, portal aduan tersebut jelas memberikan arti tentang adanya ”pesan ancaman” dari kekuasaan terhadap masyarakat. Jadi, media komunikasi yang hendak dibangun bukanlah didasarkan upaya saling memahami sebagai bagian dari proses penandaan, melainkan didasarkan pada proses tekanan dan ancaman.

Hal itu terbukti dalam fitur-fitur yang diperkenalkan dalam portal tersebut. Portal http://aduanasn.id sudah dapat dikunjungi dengan memberikan masukan berupa identitas dan isi laporan. Sekurang-kurangnya terdapat 11 poin yang dijadikan sebagai fokus aduan.

Antara lain, ujaran kebencian terhadap Pancasila dan UUD, ujaran kebencian terhadap SARA, penyebaran konten radikalisme, penyebaran berita menyesatkan, penyelenggaraan kegiatan yang menghina dasar negara, keikutsertaan di kegiatan penghinaan, tanggapan berupa like, dislike, love, retweet atas konten radikalisme, penggunaan atribut yang bertentangan dengan dasar filosofi negara, pelecehan terhadap simbol negara, dan perbuatan sadar pegawai atas 10 kategori itu.

Melihat fokus tersebut, tampak pemerintah memusatkan pada persoalan-persoalan tindak tutur negatif di media sosial. Karena aduan memuat hal-hal negatif, langkah itu membawa ekses terhadap kondisi psikologis. Misalnya, apakah melalui jempol ini saya sudah melakukan tindakan melecehkan, menghina, atau menyebarkan radikalisme?

Spontanitas dan emosional

Langkah negatif itu membawa lima ekses. Pertama, langkah penyediaan kanal untuk aduan itu, seperti menyebarkan ketakutan ke tengah kehidupan masyarakat. Masing-masing berpikir tentang pelbagai kemungkinan yang bisa saja mengancam kehidupan pribadi dan keluarga. Semboyan ”diam adalah emas” jadi pilihan daripada menyuarakan gagasan kritis yang bermanfaat untuk mengembangkan dialog kebangsaan dan kemanusiaan.

Kedua, menjadi ironi ketika kemajuan di bidang infrastruktur tak diikuti kemajuan suprastruktur. Pengembangan gagasan kebangsaan tak dilakukan secara terstruktur dan sistematis, tetapi justru berburu nilai- nilai negatif di tengah-tengah kehidupan berbangsa. Langkah pemerintah bersifat spontan dan emosional.

Ketiga, penciptaan portal aduan tidak bermanfaat banyak karena sudah ada mekanisme pengaduan, kritik, dan komunikasi antara masyarakat, aparatur sipil, dan pemerintah. Perangkat hukum dan penanganan kasus tersebut selama ini sudah terbangun melalui prosedur dan langkah yang jelas. Karena itu, revitalisasi lembaga-lembaga negara merupakan langkah yang jauh lebih mungkin daripada menciptakan mekanisme baru.

Keempat, fakta bahwa saluran media sosial yang berkembang selama ini lebih cepat menyebar daripada rekayasa media yang memerlukan perawatan, biaya, dan konsistensi dalam tindak lanjut. Sebagai bukti, kasus ujaran kebencian yang sampai di pengadilan selama ini justru menyebar tanpa kendali pemerintah. Pemerintah tampak lambat merespons. Hal itu tidak jauh berbeda dengan sikap pemerintah ke depan terhadap aduan masyarakat.

Kelima, portal aduan merupakan bentuk kelatahan dalam era teknologi informasi. Bahwa segala bentuk komunikasi telah didigitalisasi sedemikian rupa sebagai jawaban atas perubahan zaman. Akan tetapi, itu tidak dimanfaatkan sebagai upaya mengembangkan proses penandaan yang bermakna untuk mencapai nilai-nilai bersama. Pengembangan media informasi justru menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat.

Pendeknya, meningkatnya intoleransi tak bisa diatasi dengan pembatasan hak-hak berpendapat. Perlu proses penguraian pola pikir, pandangan, dan keyakinan secara terus-menerus. Hal yang dibutuhkan pada masa kini adalah mengembangkan sebuah program yang mengarah pada penyadaran filosofi bangsa, meningkatkan rasa kebangsaan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Program kebangsaan inilah yang perlu diluncurkan, bukan portal aduan.


Saifur Rohman , Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar